Surau.co. Ketika manusia menyalakan pelita di tengah malam, ia tidak sedang mencipta cahaya, melainkan membuka jalan agar cahaya menyentuh matanya. Begitulah posisi logika dalam pandangan Ibn Sīnā. Dalam Al-Ishrāt wa al-Tanbīhāt, kitab terakhir yang ia tulis dengan hati tenang menjelang wafatnya, ia menaruh logika sebagai isyarat pertama. Logika bukan sekadar alat berpikir kaku, tetapi lentera yang menerangi jalan jiwa mencari hakikat.
Kitab ini terbagi menjadi dua bagian besar: logika dan filsafat. Pada bagian logika, Ibn Sīnā berbicara dengan bahasa yang singkat, seakan-akan ia hanya memberi tanda bagi yang mau berjalan lebih jauh. Seperti Rūmī yang menari dengan kata, Ibn Sīnā pun menari dengan konsep. Ia mengingatkan bahwa siapa pun yang ingin mencapai kebenaran, harus menundukkan hati di hadapan aturan berpikir yang benar.
Mengapa logika disebut lentera?
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mengambil keputusan tergesa-gesa. Kita menilai seseorang hanya dari kulit luar, atau menerima kabar tanpa tabayyun. Ibn Sīnā mengingatkan: tanpa logika, pikiran hanyalah kuda liar yang berlari tanpa arah. Logika menata langkah, agar akal tidak tersesat di lorong ilusi.
Di antara kalimat singkatnya, Ibn Sīnā menulis:
«اِعْلَمْ أَنَّ الْمَنْطِقَ هُوَ الْآلَةُ الَّتِي تَحْفَظُ الْفِكْرَ مِنَ الْغَلَطِ»
“Ketahuilah, logika adalah alat yang menjaga pikiran dari kesalahan.”
Kalimat itu seperti seorang guru yang meletakkan tongkat di tanah dan berkata: “Jangan melangkah sebelum engkau tahu arahnya.”
Definisi bukan hanya kata, tetapi pintu
Ibn Sīnā menekankan pentingnya taʿrīf (definisi). Baginya, mendefinisikan bukan sekadar merangkai kata indah, melainkan menemukan inti dari sesuatu. Ia menulis:
«إِنَّ التَّعْرِيفَ هُوَ رُجُوعٌ إِلَى الذَّاتِ بِأَقْرَبِ مَا يُمْكِنُ»
“Definisi adalah kembali pada hakikat sesuatu dengan cara yang paling dekat.”
Seperti seseorang yang menamai bunga bukan karena kelopak luarnya, melainkan karena harum yang memancar dari dalam. Maka definisi sejati bukan kulit, tetapi aroma hakikat.
Proposisi sebagai doa yang terucap
Dalam bab tentang proposisi, Ibn Sīnā berbicara tentang pernyataan benar dan salah. Tetapi ia tidak mengurung diri dalam teknis. Ia melihat proposisi sebagai kalimat yang menyingkap isi hati.
«اَلْقَضَايَا هِيَ أَلْفَاظٌ تُظْهِرُ مَا فِي النُّفُوسِ»
“Proposisi adalah ungkapan yang menampakkan apa yang ada dalam jiwa.”
Betapa indah ungkapan ini. Setiap kali kita berkata jujur, kita sedang menyalakan cahaya. Setiap kali kita berdusta, kita sedang menutup jendela. Ibn Sīnā mengingatkan: kalimat bukan sekadar bunyi, ia adalah jendela jiwa.
Syllogisme dan cinta yang menyambungkan
Salah satu topik utama logika adalah silogisme. Dua premis dipertemukan, dan dari sana lahirlah kesimpulan. Ibn Sīnā melihat ini sebagai pola keteraturan pikiran.
«اَلْقِيَاسُ هُوَ تَرْكِيبٌ يُنْتِجُ عِلْمًا جَدِيدًا»
“Syllogisme adalah susunan yang melahirkan pengetahuan baru.”
Jika direnungkan, silogisme adalah pertemuan dua jiwa. Seperti dua mata yang bertemu lalu melahirkan senyum. Pengetahuan baru tidak jatuh dari langit begitu saja, tetapi lahir dari pertemuan-pertemuan makna.
Peringatan tentang bahasa yang menipu
Bahasa bisa indah, bisa pula berbahaya. Ibn Sīnā memberi tanbīh bahwa banyak orang tersesat karena terpikat pada bunyi kata, tetapi lupa pada hakikatnya. Dalam dunia modern, ini serupa dengan fenomena media sosial: kata-kata viral, tetapi sering kehilangan kedalaman.
Di sinilah logika menjadi penuntun. Ia menajamkan pisau akal, agar kita bisa memisahkan ilusi dari kenyataan. Sebab kata-kata tanpa hati ibarat bunga plastik—indah dipandang, tetapi tak pernah berbau.
Logika dalam cahaya Al-Qur’an
Ibn Sīnā bukan menulis di ruang kosong. Ia menulis dengan kesadaran iman. Al-Qur’an sendiri sering mengingatkan manusia agar menggunakan akal secara benar.
Allah berfirman:
﴿أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا﴾
“Apakah mereka tidak merenungkan Al-Qur’an, ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad: 24)
Ayat ini seakan bergema dalam setiap isyarat Ibn Sīnā. Logika adalah kunci untuk membuka gembok hati, bukan sekadar permainan intelektual.
Dari logika menuju kebahagiaan
Bagi Ibn Sīnā, logika bukan tujuan akhir. Ia hanya jembatan menuju pemahaman hakikat. Tujuan sejati adalah saʿādah—kebahagiaan jiwa yang mengenal kebenaran.
Hidup kita pun demikian. Orang yang hanya berhenti pada logika akan kehilangan manisnya iman. Tetapi orang yang menolak logika akan terjerat kebingungan. Jalan tengahnya adalah menggunakan logika sebagai lentera, lalu berjalan dengan hati menuju cahaya yang lebih besar.
Refleksi untuk kita hari ini
Di era penuh informasi, logika Ibn Sīnā terasa semakin relevan. Ia mengingatkan kita agar tidak menelan mentah-mentah setiap kabar, agar hati tidak dikuasai oleh kebohongan. Logika bukan untuk berdebat demi menang, melainkan untuk menjaga jiwa tetap lurus.
Jika kita membaca Al-Ishrāt wa al-Tanbīhāt dengan hati yang tunduk, kita menemukan bahwa setiap isyaratnya adalah undangan untuk hidup lebih sadar. Seperti Rūmī berkata: jangan hanya menghitung langkah, rasakan juga arah angin yang membawa kita.
Penutup
Logika adalah lentera. Ibn Sīnā memberi kita cahaya, bukan untuk dipuja, tetapi untuk dipakai berjalan. Siapa pun yang menundukkan hati di hadapan isyarat ini, akan melihat jalan yang lebih luas—jalan yang menghubungkan akal dan jiwa, logika dan cinta, pikiran dan doa.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
