Dalam kehidupan sehari-hari, kita seringkali dihadapkan pada situasi di mana uang kembalian dalam transaksi jual beli tidak tersedia. Sebagai gantinya, penjual terkadang menawarkan permen atau barang kecil lainnya. Fenomena ini memunculkan pertanyaan seputar keabsahan praktik tersebut dalam perspektif hukum Islam, khususnya fiqih muamalah. Apakah penggantian uang kembalian dengan permen ini diperbolehkan? Bagaimana Islam memandang hak-hak konsumen dalam konteks ini? Artikel ini akan mengupas tuntas isu tersebut, menyoroti pandangan ulama, dan menawarkan solusi praktis yang sesuai dengan syariat.
Islam sangat menekankan keadilan dan transparansi dalam setiap transaksi. Akad jual beli merupakan fondasi utama dalam muamalah yang harus dipenuhi. Rukun dan syarat sah jual beli harus terpenuhi agar transaksi menjadi valid. Ketika seorang pembeli menyerahkan sejumlah uang untuk membeli barang, ia berharap menerima barang tersebut dan sisa uangnya (kembalian) jika ada. Kembalian ini adalah hak pembeli yang harus dipenuhi oleh penjual.
Perspektif Fiqih Mengenai Kembalian yang Diganti Permen
Para ulama memiliki pandangan yang beragam mengenai masalah uang kembalian yang diganti permen. Mayoritas ulama berpendapat bahwa secara prinsip, penggantian uang kembalian dengan permen tidak serta merta membatalkan transaksi utama jika dilakukan atas dasar kerelaan kedua belah pihak. Namun, terdapat beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan.
Pertama, mengenai konsep rida (kerelaan). Jika pembeli secara sukarela menerima permen sebagai pengganti uang kembalian, maka transaksi tukar menukar tersebut dianggap sah. Akan tetapi, kerelaan ini haruslah kerelaan yang murni, bukan karena terpaksa atau tidak ada pilihan lain. Seringkali, pembeli merasa sungkan atau terburu-buru sehingga menerima permen meskipun sebenarnya ia menginginkan uang tunai. Dalam situasi ini, kerelaan tersebut patut dipertanyakan.
Kedua, masalah riba. Beberapa ulama mengkhawatirkan adanya unsur riba jika nilai permen tidak setara dengan nilai uang kembalian yang seharusnya diterima. Pertukaran barang sejenis (uang dengan uang) atau barang tidak sejenis (uang dengan permen) harus memperhatikan prinsip kesetaraan nilai. Jika satu pihak merasa dirugikan karena perbedaan nilai, maka praktik ini bisa mengarah pada ketidakadilan.
Ketiga, aspek Khiyar al-Ghabn (hak memilih karena adanya penipuan/kerugian). Jika pembeli merasa dirugikan karena permen yang diberikan tidak sesuai dengan nilai kembaliannya, atau permen tersebut ternyata tidak bermanfaat baginya, ia memiliki hak untuk membatalkan transaksi (atau menuntut ganti rugi) atas dasar ghabn jika kerugian tersebut signifikan dan disengaja oleh penjual.
Kutipan dari Artikel Sumber
“Uang kembalian yang diganti permen diperbolehkan selama pembeli ridha. Hal tersebut sebagaimana kaidah fiqih,
الأصل في المعاملات الإباحة إلا ما دل الدليل على تحريمها
Artinya, “Hukum asal dalam bermuamalah adalah kebolehan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” (Lihat Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nazhair, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 1990 M, halaman 60).
Pada prinsipnya, segala bentuk transaksi jual beli dianggap sah selama tidak ada dalil yang secara eksplisit melarangnya. Kaidah ini menjadi landasan kuat dalam muamalah. Namun, perlu dicermati bahwa kerelaan pembeli adalah kunci. Penjual memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa pembeli benar-benar rela.
Solusi Praktis dan Etika Berjual Beli
Untuk menghindari keraguan dan menjaga keberkahan transaksi, baik penjual maupun pembeli dapat menerapkan beberapa solusi praktis:
-
Penjual Selalu Siapkan Uang Receh: Penjual harus proaktif menyiapkan uang receh yang cukup. Ini adalah tanggung jawab utama penjual untuk menyediakan kembalian yang sesuai. Kemampuan memberikan kembalian yang tepat juga menunjukkan profesionalisme dan penghormatan kepada hak konsumen.
-
Tawarkan Alternatif yang Jelas: Jika memang uang kembalian tidak ada, penjual sebaiknya tidak langsung memberikan permen. Penjual wajib bertanya kepada pembeli apakah ia bersedia menerima permen atau barang lain yang setara nilainya. Penjual juga bisa menawarkan untuk membulatkan harga ke atas atau ke bawah dengan persetujuan pembeli.
-
Pembeli Bersikap Tegas dan Transparan: Pembeli berhak menolak permen jika ia tidak menginginkannya. Pembeli dapat meminta penjual untuk mencari uang receh atau menunggu hingga penjual memiliki kembalian yang sesuai. Komunikasi yang terbuka antara kedua belah pihak sangat penting.
-
Sistem Non-Tunai: Penggunaan sistem pembayaran non-tunai seperti dompet digital atau transfer bank dapat menjadi solusi efektif untuk menghindari masalah uang kembalian. Sistem ini tidak hanya praktis tetapi juga mengurangi risiko ketidaksesuaian kembalian.
-
Pilih Nilai yang Setara: Jika pembeli memang sepakat menerima permen, pastikan permen tersebut memiliki nilai yang setara atau bahkan lebih dari uang kembalian yang seharusnya diterima. Ini menunjukkan kebaikan hati penjual.
Kesimpulan
Praktik penggantian uang kembalian dengan permen bukanlah masalah hitam-putih dalam fiqih. Kebolehannya sangat bergantung pada kerelaan murni dari pembeli. Meskipun hukum asalnya adalah boleh, penjual memiliki kewajiban moral dan syar’i untuk menyediakan kembalian yang tepat. Pembeli juga memiliki hak untuk menuntut kembalian dalam bentuk uang tunai. Dengan menjunjung tinggi prinsip keadilan, transparansi, dan saling ridha, setiap transaksi jual beli dapat berjalan dengan berkah dan sesuai syariat Islam. Penjual yang baik akan selalu mengutamakan kepuasan dan hak konsumen, sementara pembeli yang cerdas akan memahami hak-haknya serta berkomunikasi secara efektif.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
