Korupsi, sebuah penyakit sosial yang menggerogoti sendi-sendi peradaban, ternyata bukan fenomena baru. Jauh sebelum era modern, praktik-praktik yang mengarah pada penyalahgunaan wewenang demi keuntungan pribadi sudah ada. Namun, bagaimana Islam, agama yang mengedepankan keadilan dan integritas, menyikapi hal ini sejak awal pembentukannya? Kisah-kisah di zaman Rasulullah Muhammad SAW memberikan gambaran yang jelas mengenai komitmen beliau dan para sahabat dalam memberantas korupsi, jauh sebelum istilah “good governance” dikenal luas.
Rasulullah SAW adalah teladan utama dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam urusan pemerintahan dan kepemimpinan. Beliau menanamkan nilai-nilai kejujuran, transparansi, dan akuntabilitas sejak dini kepada para pengikutnya. Prinsip-prinsip ini tidak hanya berlaku untuk rakyat biasa, tetapi justru lebih ditekankan kepada mereka yang mengemban amanah kekuasaan. Integritas seorang pemimpin menjadi kunci utama dalam membangun masyarakat yang adil dan makmur.
Kasus Ibnu Al-Lutbiyyah: Peringatan Keras terhadap Gratifikasi
Salah satu kisah paling terkenal yang menunjukkan sikap tegas Rasulullah terhadap korupsi adalah kasus Ibnu Al-Lutbiyyah. Beliau adalah seorang sahabat yang diutus oleh Rasulullah untuk mengumpulkan zakat dari Bani Sulaim. Setelah menyelesaikan tugasnya, Ibnu Al-Lutbiyyah kembali dengan membawa laporan penghasilan.
“Ini adalah harta kalian,” katanya, “sementara ini adalah hadiah yang diberikan kepadaku.”
Mendengar hal tersebut, Rasulullah SAW berdiri di atas mimbar, menyampaikan khutbah yang penuh makna. Beliau bersabda:
“Maa baalu rijaal nasta’miluhum ‘alaa a’maal mimmaa wallaahullahu ataitahum, fayquuluu: haadzaa lakum wa haadzaa uhdiya ilayya. Afalaa qa’ada fi bayti ummihi aw bayti abiihi fayanzhuru: ayuhdaa ilayhi am laa? Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh tidaklah seseorang mengambil sesuatu dari padanya (harta zakat) melainkan dia akan datang padanya pada hari kiamat dengan memikulnya di atas tengkuknya, apakah itu unta yang bersuara, sapi yang melenguh atau kambing yang mengembik.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sabda Rasulullah ini merupakan peringatan keras. Beliau menegaskan bahwa setiap harta yang diterima seorang pejabat karena jabatannya, meskipun diklaim sebagai “hadiah,” sebenarnya adalah milik umat atau negara. Hadiah tersebut berpotensi menjadi bentuk gratifikasi atau suap terselubung. Rasulullah menantang, “Mengapa dia tidak duduk saja di rumah ibu atau bapaknya, lalu melihat apakah ada yang memberinya hadiah atau tidak?” Kalimat ini sangat menohok, menyoroti bahwa hadiah itu diberikan semata-mata karena jabatannya, bukan karena hubungan personal. Implikasi di hari kiamat dengan memikul harta tersebut di atas tengkuknya adalah gambaran azab yang mengerikan bagi pelaku korupsi.
Kasus Budak Karkarah: Bahkan Harta Rampasan Perang pun Harus Jelas Statusnya
Kisah lain yang tak kalah penting adalah insiden yang melibatkan budak bernama Karkarah. Budak ini meninggal dunia di tengah medan perang Khaibar. Para sahabat, yang melihat kematiannya di jalan Allah, segera berkomentar, “Sungguh beruntung Karkarah, ia mati syahid!”
Namun, Rasulullah SAW memberikan tanggapan yang mengejutkan. Beliau bersabda:
“Tidak, bahkan ia berada di neraka, karena mengambil burdah (jubah) dari ghanimah (harta rampasan perang) sebelum dibagikan.”
Para sahabat terkejut. Bagaimana mungkin seseorang yang meninggal di medan perang bisa berakhir di neraka? Rasulullah kemudian menjelaskan bahwa Karkarah telah mengambil sehelai burdah dari harta rampasan perang sebelum pembagiannya dilakukan secara adil sesuai syariat. Kisah ini mengajarkan bahwa bahkan dalam situasi perang, di mana mungkin banyak godaan untuk mengambil barang tanpa izin, prinsip keadilan dan transparansi harus tetap ditegakkan. Mengambil sehelai jubah yang belum menjadi haknya dianggap sebagai pengkhianatan terhadap amanah dan kepemilikan bersama, yang berujung pada konsekuensi serius di akhirat.
Pelajaran Berharga dari Era Rasulullah untuk Masa Kini
Dari dua kisah di atas, kita dapat memetik beberapa pelajaran fundamental tentang pemberantasan korupsi dalam Islam:
-
Tidak Ada Ruang untuk Gratifikasi: Islam secara tegas menolak segala bentuk hadiah yang diberikan kepada pejabat atau petugas yang berpotensi memengaruhi keputusan atau pelayanan mereka. Apa pun bentuknya, “hadiah” tersebut dianggap bagian dari harta umat atau negara.
-
Akuntabilitas Sepenuhnya: Setiap orang yang memegang jabatan publik memiliki tanggung jawab penuh terhadap setiap aset atau sumber daya yang dikelola. Tidak ada yang luput dari pengawasan, baik di dunia maupun di akhirat.
-
Hukuman yang Tegas: Ancaman hukuman di akhirat bagi pelaku korupsi sangat berat. Ini berfungsi sebagai pencegahan yang kuat bagi mereka yang tergoda untuk menyalahgunakan wewenang.
-
Keadilan dalam Pembagian: Setiap harta, termasuk harta rampasan perang atau hasil zakat, harus dibagikan secara adil sesuai syariat. Tidak ada yang boleh mengambil hak orang lain sebelum pembagian resmi.
-
Integritas Dimulai dari Pemimpin: Keteladanan Rasulullah SAW menunjukkan bahwa integritas harus dimulai dari puncak kepemimpinan. Pemimpin yang bersih akan menularkan nilai-nilai tersebut kepada bawahannya dan seluruh elemen masyarakat.
Relevansi di Era Kontemporer
Prinsip-prinsip anti-korupsi yang diajarkan Rasulullah SAW tetap relevan dan urgen di era kontemporer ini. Di tengah tantangan global dan kompleksitas pemerintahan modern, integritas pemimpin dan transparansi dalam pengelolaan sumber daya menjadi semakin krusial. Sistem “good governance” yang banyak dianut saat ini sebenarnya memiliki akar yang kuat dalam ajaran Islam tentang keadilan, kejujuran, dan akuntabilitas.
Pemerintah yang bersih dan bebas korupsi akan mampu menciptakan kepercayaan publik, mendorong investasi, serta memastikan pembangunan yang merata dan berkelanjutan. Sebaliknya, korupsi akan menghambat kemajuan, memperlebar jurang kesenjangan sosial, dan merusak moral bangsa.
Maka, kisah-kisah dari zaman Rasulullah SAW ini bukan sekadar narasi sejarah, melainkan petunjuk jalan yang terang bagi kita semua. Ini adalah pengingat bahwa memerangi korupsi adalah bagian integral dari upaya membangun masyarakat yang berlandaskan keadilan dan ketakwaan. Umat Islam, khususnya para pemimpin, memiliki tanggung jawab besar untuk meneladani Rasulullah dalam menjaga amanah dan memberantas praktik korupsi demi kemaslahatan bersama.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
