Pernikahan dalam Islam adalah sebuah ikatan suci yang dibangun atas dasar cinta, kasih sayang, dan kerelaan kedua belah pihak. Namun, tidak jarang kita mendengar tentang praktik perjodohan yang kerap menimbulkan dilema, terutama bagi perempuan. Pertanyaan krusial yang muncul adalah, “Apakah wanita berhak menolak perjodohan?” Artikel ini akan mengupas tuntas hak-hak perempuan dalam Islam terkait perjodohan, menilik dalil-dalil syariah, serta relevansinya dalam konteks kehidupan modern.
Landasan Hukum Islam: Pentingnya Kerelaan dan Pilihan
Islam sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat perempuan. Dalam urusan pernikahan, kerelaan atau persetujuan mempelai perempuan menjadi syarat fundamental sahnya suatu ikatan. Konsep ini secara eksplisit dijelaskan dalam banyak dalil, baik dari Al-Qur’an maupun Hadis Nabi Muhammad SAW.
Salah satu hadis sahih yang sering dijadikan rujukan adalah sabda Rasulullah SAW:
“Seorang janda tidak boleh dinikahkan sehingga ia diajak bermusyawarah, dan seorang perawan tidak boleh dinikahkan sehingga ia diminta persetujuannya.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana kami mengetahui persetujuannya?” Beliau menjawab, “Dia diam (tidak menolak).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini dengan jelas menunjukkan bahwa persetujuan dari pihak perempuan, baik janda maupun perawan, adalah sebuah keharusan. Bahkan, bagi seorang perawan, diamnya dianggap sebagai tanda persetujuan. Namun, keheningan ini tidak boleh ditafsirkan sebagai paksaan, melainkan bentuk rasa malu alami seorang perawan yang tidak secara verbal menyatakan persetujuan. Jika ia menolak, penolakannya wajib dihormati.
Imam Muslim juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Perawan harus dimintai izinnya.” Kemudian mereka (para sahabat) bertanya: “Bagaimana kalau ia diam?” Beliau menjawab: “Itu adalah izinnya (persetujuannya).”
Dalil-dalil ini menegaskan prinsip syariah bahwa perempuan memiliki hak penuh atas keputusan pernikahannya. Wali (wali nikah) yang bertanggung jawab menikahkan seorang perempuan, tidak memiliki hak absolut untuk memaksakan kehendaknya tanpa persetujuan perempuan yang bersangkutan.
Peran Wali dan Batasan Wewenangnya
Dalam Islam, keberadaan wali adalah syarat sah nikah. Wali memiliki peran penting untuk menjaga kemaslahatan perempuan, memastikan calon suami adalah sosok yang baik agamanya, akhlaknya, dan mampu bertanggung jawab. Namun, peran wali bukanlah untuk membatasi kebebasan memilih, melainkan untuk membimbing dan memberikan pertimbangan.
Seorang wali yang baik akan selalu mengedepankan keinginan dan kenyamanan perempuan yang berada di bawah perwaliannya. Ia tidak akan memaksakan perjodohan yang tidak diinginkan, apalagi jika hal tersebut berpotensi menimbulkan kemudaratan. Jika seorang wali bersikeras memaksakan perjodohan tanpa persetujuan, maka pernikahannya berpotensi tidak sah menurut sebagian ulama, karena hilangnya syarat kerelaan.
Dampak Perjodohan Paksa: Perspektif Syariah dan Sosial
Perjodohan paksa dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, baik secara psikologis maupun sosial. Dalam perspektif syariah, pernikahan yang tidak didasari kerelaan akan kehilangan esensi sakinah (ketenangan), mawaddah (cinta), dan rahmah (kasih sayang) yang menjadi tujuan utama pernikahan. Pasangan yang menikah dalam keterpaksaan cenderung sulit membangun ikatan emosional yang kuat, bahkan berujung pada kekecewaan dan perceraian.
Secara sosial, perjodohan paksa dapat menghambat potensi perempuan untuk berkembang, memilih jalan hidupnya sendiri, dan berkontribusi secara optimal dalam masyarakat. Hal ini bertentangan dengan semangat Islam yang mendorong kemandirian dan kemajuan umat.
Penting untuk membedakan antara perjodohan paksa dengan proses perkenalan yang diinisiasi oleh orang tua atau keluarga. Perjodohan dalam konteks positif adalah upaya keluarga membantu menemukan calon pasangan yang baik, dengan tetap memberikan ruang penuh bagi perempuan untuk memilih dan memutuskan. Dalam proses ini, keluarga berperan sebagai fasilitator, bukan pemaksa.
Jika orang tua atau wali mengajukan seorang calon, perempuan memiliki hak penuh untuk mempertimbangkan, bertemu, mengenal lebih jauh, dan pada akhirnya, menerima atau menolak. Keputusan akhir sepenuhnya berada di tangan perempuan yang akan menikah.
Relevansi Hak Menolak Perjodohan di Era Modern
Di era modern, hak perempuan untuk memilih pasangan hidup semakin diakui dan dilindungi, tidak hanya oleh hukum agama tetapi juga hukum positif. Kesadaran akan pentingnya kesetaraan gender dan hak asasi manusia semakin meningkat. Oleh karena itu, prinsip Islam yang memberikan hak tolak bagi perempuan dalam perjodohan menjadi sangat relevan dan sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal.
Perempuan saat ini memiliki akses pendidikan dan karier yang luas, membuat mereka semakin mandiri dan memiliki pandangan hidup yang jelas. Memaksa mereka menikah dengan seseorang yang tidak mereka pilih dapat merenggut hak-hak fundamental mereka sebagai individu. Islam, dengan ajarannya yang progresif, telah memberikan landasan kuat bagi kebebasan memilih ini sejak lama.
Kesimpulan
Berdasarkan dalil-dalil syariah yang kuat, dapat disimpulkan bahwa perempuan memiliki hak penuh untuk menolak perjodohan yang tidak dikehendakinya. Kerelaan dan persetujuan perempuan adalah pilar utama dalam sahnya sebuah pernikahan. Wali memiliki tanggung jawab untuk membimbing, bukan memaksakan kehendak.
Masyarakat muslim perlu terus menyebarkan pemahaman ini agar tidak terjadi praktik perjodohan paksa yang merugikan. Pernikahan yang berkah adalah pernikahan yang dibangun atas dasar cinta, kerelaan, dan rida Allah SWT, dimulai dari pilihan hati yang tulus dari kedua mempelai. Oleh karena itu, setiap perempuan harus berani menyuarakan pilihannya, dan setiap keluarga harus menghormati hak tersebut demi terwujudnya rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
