Takziah merupakan bentuk empati dan solidaritas sosial yang sangat dianjurkan dalam Islam. Namun, ketika konteksnya melibatkan non-muslim, muncul pertanyaan mendasar: bagaimana Islam memandang takziah kepada mereka? Artikel ini akan mengupas tuntas perspektif Islam mengenai takziah kepada non-muslim, menyeimbangkan antara toleransi sosial dan prinsip akidah yang kokoh.
Islam sangat menjunjung tinggi pentingnya menjaga hubungan baik dengan sesama manusia, termasuk non-muslim. Al-Qur’an dan sunah Nabi Muhammad SAW secara eksplisit mendorong umat Muslim untuk berbuat baik, bersikap adil, dan menunjukkan empati kepada siapa pun, tanpa memandang latar belakang agama mereka. Hubungan sosial yang harmonis adalah fondasi masyarakat yang kuat dan damai. Nabi Muhammad SAW sendiri telah memberikan contoh nyata bagaimana menjalin interaksi sosial yang baik dengan pemeluk agama lain, bahkan dalam keadaan duka. Kehadiran dalam momen duka cita, seperti takziah, adalah salah satu wujud nyata dari penghormatan dan empati tersebut. Ini bukan hanya sekadar etika, tetapi sebuah ajaran fundamental dalam Islam.
Secara syariat, takziah didefinisikan sebagai tindakan menghibur keluarga yang sedang berduka atas meninggalnya salah satu anggota keluarga mereka. Tujuan utamanya adalah meringankan beban kesedihan mereka, mendoakan almarhum, dan mengingatkan tentang kesabaran serta takdir Allah SWT. Dalam konteks takziah kepada sesama Muslim, kita mendoakan ampunan dan rahmat bagi yang meninggal, serta ketabahan bagi keluarga yang ditinggalkan. Pertanyaannya kemudian, bagaimana jika yang meninggal adalah non-muslim? Apakah esensi takziah tetap sama? Para ulama telah membahas hal ini secara mendalam, memberikan panduan yang jelas.
Perspektif Ulama tentang Takziah Non-Muslim
Mayoritas ulama berpendapat bahwa takziah kepada non-muslim hukumnya adalah mubah (dibolehkan), bahkan bisa menjadi sunah apabila dapat mempererat tali silaturahmi dan menunjukkan akhlak mulia Islam. Namun, ada beberapa batasan yang harus kita perhatikan.
-
Tujuan dan Niat: Niat utama kita adalah untuk menunjukkan simpati, empati, dan menjaga hubungan baik sebagai sesama manusia. Kita tidak boleh berniat untuk membenarkan keyakinan mereka atau berdoa bagi ampunan mereka dalam pengertian Islam.
-
Doa dan Permohonan: Kita tidak diperkenankan mendoakan ampunan atau rahmat Allah SWT bagi non-muslim yang meninggal, karena konsep ampunan dan rahmat dalam Islam hanya berlaku bagi mereka yang meninggal dalam keadaan beriman. Namun, kita dapat mendoakan agar keluarga yang ditinggalkan diberikan kesabaran dan ketabahan dalam menghadapi cobaan ini. Kita bisa mengucapkan kalimat yang mengandung simpati kemanusiaan, seperti “Turut berduka cita”, atau “Semoga keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan.”
-
Menghindari Kesyirikan: Saat bertakziah, kita harus menghindari tindakan atau ucapan yang mengarah pada kesyirikan atau bertentangan dengan prinsip tauhid. Misalnya, kita tidak ikut serta dalam ritual keagamaan mereka yang bertentangan dengan syariat Islam. Cukup dengan kehadiran kita sebagai bentuk solidaritas kemanusiaan.
-
Pentingnya Batasan Akidah: Meskipun diperbolehkan, seorang Muslim harus selalu menjaga akidahnya dan tidak terpengaruh oleh keyakinan lain. Batasan ini penting agar toleransi tidak mengikis prinsip dasar keimanan. Kehadiran kita adalah bentuk pengakuan atas kemanusiaan, bukan pengakuan atas keyakinan agama mereka.
Dasar Hukum dan Contoh dari Sunah Nabi
Dalil mengenai kebolehan bertakziah kepada non-muslim dapat kita tarik dari beberapa hadis dan sirah Nabi Muhammad SAW. Salah satunya adalah kisah ketika Nabi Muhammad SAW menjenguk tetangganya yang Yahudi yang sedang sakit. Ini menunjukkan kepedulian beliau terhadap non-muslim, dan menjenguk orang sakit memiliki kemiripan dengan takziah dalam konteks menunjukkan empati.
“Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah menjenguk orang Yahudi yang sakit, lalu beliau duduk di sisi kepalanya seraya berkata kepadanya: “Masuk Islamlah.” (HR. Bukhari).
Dari hadis ini, kita memahami bahwa interaksi sosial dengan non-muslim, bahkan dalam momen personal seperti sakit, adalah hal yang diajarkan. Takziah adalah bagian dari interaksi sosial yang lebih luas. Selain itu, dalam sebuah hadis lain, disebutkan bahwa jenazah pernah lewat di hadapan Nabi Muhammad SAW, lalu beliau berdiri. Ketika ditanyakan apakah jenazah tersebut adalah seorang Yahudi, beliau menjawab, “Bukankah itu adalah jiwa?” (HR. Bukhari). Ini menunjukkan penghormatan terhadap kemanusiaan universal.
Melakukan takziah kepada non-muslim bukan hanya sekadar menunjukkan etika, tetapi juga dapat menjadi sarana dakwah bil hal (dakwah melalui perbuatan). Dengan menunjukkan sikap yang baik, ramah, dan empatik, seorang Muslim dapat mempresentasikan keindahan Islam kepada non-muslim. Hal ini dapat menghilangkan stigma negatif dan membangun citra positif Islam di mata mereka. Hubungan yang baik akan membuka pintu komunikasi dan pemahaman yang lebih luas. Dalam jangka panjang, ini dapat memperkuat ukhuwah insaniyah (persaudaraan kemanusiaan) yang sangat ditekankan dalam Islam. Toleransi dan empati adalah kunci untuk hidup berdampingan secara damai.
Keseimbangan antara Toleransi dan Akidah: Sebuah Penutup
Pada akhirnya, takziah kepada non-muslim adalah sebuah tindakan yang diperbolehkan dalam Islam, asalkan kita memahami batas-batasnya. Kita wajib menjaga toleransi sosial dan persaudaraan kemanusiaan, namun tanpa mengkompromikan prinsip-prinsip akidah kita. Muslim harus menunjukkan empati, simpati, dan dukungan kemanusiaan kepada siapa pun yang berduka, termasuk non-muslim. Dengan demikian, kita dapat menjadi duta Islam yang membawa rahmat bagi seluruh alam, sekaligus tetap teguh pada keyakinan kita. Kita bisa hidup berdampingan secara damai, saling menghormati, dan berbagi kebahagiaan serta kesedihan sebagai sesama makhluk Tuhan. Islam mengajarkan kita untuk menjadi rahmat bagi semesta, dan takziah kepada non-muslim adalah salah satu manifestasinya.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
