Ekonomi
Beranda » Berita » Menjadikan Upaya Mencari Nafkah sebagai Jalan Ibadah

Menjadikan Upaya Mencari Nafkah sebagai Jalan Ibadah

Pekerjaan sebagai ibadah
Ilustrasi berbagai cara dalam mencari nafkah sebagai jalan ibadah. Foto: perplexity

SURAU.CO. Banyak orang menganggap bekerja hanya soal gaji, jabatan, atau sekadar mengisi waktu. Bangun pagi, berangkat kerja, macet di jalan, lalu pulang sore dengan tubuh lelah. Siklus itu hampir semua orang jalani setiap hari. Coba renungkan, berapa jam dalam sehari yang kita habiskan untuk bekerja? Delapan, sepuluh, bahkan lebih. Jika kerja hanya dipandang sebagai rutinitas duniawi, tentu terasa melelahkan.

Tapi tahukah kita, rutinitas ini bisa berubah menjadi ibadah mulia jika dilakukan dengan ikhlas? Rasulullah ﷺ mengajarkan bahwa mencari rezeki halal tidak hanya menjaga martabat diri, tapi juga bernilai jihad di jalan Allah. Artinya, bekerja bukan cuma soal gaji bulanan, melainkan juga soal bekal akhirat. Dengan niat ikhlas, pekerjaan sehari-hari yang terlihat sederhana justru menjadi jalan menuju surga.

Bekerja Sebagai Jihad Fii Sabilillah

Dalam pandangan Islam, bekerja bukan sekadar aktivitas duniawi, melainkan ibadah yang nilainya bisa setara dengan jihad di jalan Allah. Bahkan, Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa mencari rezeki halal bisa menjadi penghapus dosa yang tidak gugur dengan salat, puasa, atau haji.

Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda: ‘Sesungguhnya di antara dosa-dosa itu terdapat suatu dosa yang tidak dapat diampuni dengan salat, puasa, haji dan juga umrah.” Sahabat bertanya, “Apa yang bisa menghapuskannya wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab, “Semangat dalam mencari rezeki”. (HR at-Thabrani, dalam Al-Mu’jam Al-Ausath I/38)

Hadis tersebut menjelaskan bahwa ketika seorang hamba bersungguh-sungguh mencari nafkah halal, maka usaha itu bisa menggugurkan dosa-dosanya. Rasulullah ﷺ bahkan menyebut bekerja untuk memberi nafkah kepada keluarga, menjaga orang tua yang sudah renta, atau sekadar agar tidak bergantung pada orang lain, semuanya termasuk jihad fii sabilillah. Ini artinya, Islam memandang kerja bukan sekadar ekonomi, tapi juga spiritualitas.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Dari Ka’ab bin Umrah berkata, “Ada seseorang yang berjalan melalui tempat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. Orang itu sedang bekerja dengan sangat giat dan tangkas. Para sahabat lalu berkata, ‘Ya Rasulullah, andaikata bekerja seperti dia dapat digolongkan Fii Sabilillah, alangkah baiknya.’ Lalu Rasulullah bersabda, ‘Jika ia bekerja untuk mengidupi anak-anaknya yang masih kecil, itu adalah Fii Sabilillah; Jika ia bekerja untuk membela kedua orang tuanya yang sudah lanjut usia, itu adalah Fii Sabilillah; dan jika ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak meminta-minta, maka itu adalah Fii Sabilillah…” (HR at-Thabrani)

Kerja sebagai Wujud Iman

Mengapa Islam begitu memuliakan kerja? Karena kerja adalah sarana manusia menjaga kehormatannya. Dengan bekerja, seorang Muslim tidak hanya menghidupi diri sendiri dan keluarganya, tetapi juga bisa memberi manfaat lebih luas. Seperti membayar zakat, membantu sesama, atau mendukung kegiatan sosial.

Allah ﷻ berfirman, “Dan Katakanlah: ‘Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan’.” (QS. At-Taubah: 105).

Ayat ini menegaskan bahwa kerja adalah bagian dari iman. Seorang Muslim yang malas, bergantung pada orang lain padahal ia mampu bekerja, tidak sejalan dengan ajaran Islam. Rasulullah ﷺ bahkan pernah mencium tangan sahabat yang kasar karena bekerja keras, lalu beliau berkata: “Ini adalah tangan yang dicintai Allah.”

Etika Bekerja dalam Islam

Agar kerja bernilai ibadah, Islam mengajarkan adab dan etika yang harus dijaga oleh setiap Muslim. Tidak cukup hanya sekadar bekerja keras, tapi juga bagaimana sikap, niat, dan perilaku saat bekerja. Berikut beberapa prinsip pentingnya:

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

1. Niat Ikhlas karena Allah

Kunci utama ibadah adalah niat. Begitu pula dalam bekerja, niatnya harus ikhlas karena Allah, bukan semata-mata mencari materi. Dengan niat ini, setiap aktivitas, bahkan yang terlihat biasa saja, akan berubah menjadi ibadah. Misalnya, seorang ayah yang bekerja untuk memberi makan keluarganya, sesungguhnya ia sedang menunaikan kewajiban syariat. Hendaklah ia memulai pekerjaan dengan bismillah dan zikir kepada Allah SWT.

2. Itqan: Tekun dan Profesional

Islam tidak mengenal kerja asal-asalan. Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah mencintai seorang hamba yang ketika bekerja, ia menyempurnakan pekerjaannya.” (HR. at-Thabrani).

Itqan berarti bekerja dengan sungguh-sungguh, tepat waktu, dan penuh tanggung jawab. Dalam konteks modern, itqan bisa berarti disiplin, profesional, dan berorientasi pada kualitas.

3. Jujur dan Amanah

Kejujuran adalah ruh dari setiap pekerjaan. Dalam dunia kerja, jujur berarti tidak curang, tidak mengambil yang bukan haknya, dan mampu menjaga rahasia pekerjaan. Amanah berarti bisa dipercaya, baik oleh atasan maupun bawahan.

Nabi ﷺ menegaskan bahwa pedagang yang jujur dan amanah akan dikumpulkan bersama para nabi, shiddiqin, dan syuhada. Rasulullah ﷺ bersabda, “Pebisnis yang jujur lagi dipercaya (anamah) akan bersama para Nabi, shiddiqin dan syuhada.” (HR. at-Tirmidzi).

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

4. Menjaga Akhlak dan Etika

Seorang Muslim tidak hanya dinilai dari prestasi kerjanya, tetapi juga dari akhlaknya. Islam mengajarkan adab berbicara yang santun, menghargai rekan kerja, berpakaian sopan, hingga berinteraksi dengan pelanggan dengan penuh keramahan.

Rasulullah ﷺ bersabda: “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. at-Tirmidzi). Bahkan dalam hadis lain riwayat at-Tirmidzi, Rasulullah ﷺ menggambarkan bahwa terdapat dua sifat yang tidak mungkin terkumpul dalam diri seorang mu’min, yaitu bakhil dan akhlak yang buruk.

5. Menjauhi Hal yang Haram

Rezeki yang halal adalah kunci keberkahan. Karena itu, Islam melarang umatnya bekerja di bidang yang diharamkan, seperti riba, judi, minuman keras, atau hal-hal yang merusak moral masyarakat. Bekerja di bidang haram, tidak hanya menyebabkan dosa, tetapi juga bisa menghilangkan pahala kerja keras yang sudah dilakukan.

Allah ﷻ mengingatkan: “Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu.” (QS. Muhammad: 33).

6. Menghindari Syubhat

Dalam dunia kerja modern, sering muncul hal-hal yang samar, antara halal dan haram. Misalnya, gratifikasi atau bonus yang terkait kepentingan tertentu. Seorang Muslim dituntut untuk berhati-hati agar tidak terjerumus pada perkara syubhat, karena itu bisa menyeret kepada yang haram.

Rasulullah ﷺ bersabda: “Halal itu jelas, haram itu jelas, dan di antara keduanya ada perkara yang samar (syubhat). Maka barang siapa yang terjerumus dalam perkara yang syubhat, maka ia terjerumus pada yang diharamkan…” (HR. Muslim).

7. Menjaga Ukhuwah Islamiyah

Dalam bekerja, sering kali muncul persaingan. Namun, Islam menekankan agar persaingan itu sehat dan tidak merusak ukhuwah. Dalam dunia kerja atau bisnis yang berhubungan dengan uang akan sangat sensitif dan dapat menimbulkan perpecahan. Maka setiap muslim harus mampu menjaga agar tidak terjadi perpecahan.

Rasulullah ﷺ bersabda: “Janganlah salah seorang di antara kalian menjual sesuatu yang sudah dijual kepada saudaranya.” (HR. Muslim). Artinya, jangan melakukan praktik curang yang bisa menimbulkan kebencian di antara sesama Muslim. Persaudaraan lebih mulia daripada sekadar keuntungan dunia.

Kerja dan Tantangan Zaman Modern

Di era globalisasi, konsep bekerja tidak hanya berkaitan dengan bertani, berdagang, atau menjadi pegawai. Dunia digital membuka peluang baru seperti bisnis online, freelancer, bahkan pekerjaan kreatif yang dulu tidak dikenal. Meski bentuknya berbeda, prinsip Islam tetap relevan: niat ikhlas, profesional, jujur, dan menjauhi yang haram.

Tantangan modern juga melahirkan fenomena workaholic (gila kerja), di mana seseorang mengejar karier sampai melupakan keluarga dan ibadah. Padahal, Islam mengajarkan keseimbangan. Kita boleh berkerja keras, tapi tidak melupakan kewajiban spiritual. Rasulullah ﷺ adalah contoh terbaik. Beliau bekerja, berdagang, memimpin umat, tapi tetap menjaga waktu untuk salat, keluarga, dan umatnya.

Bekerja untuk Dunia, Berbuah Akhirat

Bekerja bukan hanya tentang gaji, jabatan, atau prestise. Lebih dari itu, ia adalah jalan menuju keridaan Allah. Dengan bekerja yang halal, seorang Muslim bisa menafkahi keluarga, membantu orang lain, menjaga harga diri, dan berkontribusi untuk masyarakat. Semua itu bernilai pahala, bahkan bisa setara dengan jihad fii sabilillah.

Kita bisa belajar dari para sahabat Nabi. Abdurrahman bin Auf, misalnya, seorang pengusaha sukses yang justru menjadikan hartanya sebagai jalan kebaikan. Ia tidak sekadar bekerja untuk memperkaya diri, tetapi menjadikan kekayaannya sebagai sarana menolong umat.

Islam memandang kerja bukan sekadar aktivitas ekonomi, tapi juga ibadah. Setiap keringat yang jatuh karena mencari nafkah halal bisa bernilai pahala besar. Syaratnya, niat harus lurus, etika dijaga, dan prinsip syariah tidak dilanggar.

Jadi, mari kita luruskan kembali cara pandang kita terhadap pekerjaan. Jangan hanya melihatnya sebagai beban hidup, tetapi jadikan ia sebagai jalan menuju keberkahan. Dengan begitu, gaji bulanan bukan sekadar angka di rekening, melainkan bekal menuju surga.

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement