Surau.co.Internal senses—mata batin yang menghubungkan dunia luar dengan ruang batin manusia—menjadi salah satu konsep penting dalam psikologi Al-Fārābī, khususnya dalam Risāla fī al-Nafs. Di sini, filsuf Muslim itu menekankan bahwa hidup manusia tidak hanya ditentukan oleh kemampuan indera fisik, tetapi juga oleh cara jiwa memproses, mengolah, dan memaknai apa yang ditangkap oleh tubuh. Fenomena sehari-hari memberi bukti: manusia yang seimbang adalah mereka yang mampu menjaga harmoni antara penglihatan, pendengaran, perasaan batin, dan refleksi akal.
Jembatan Antara Indra dan Akal
Menurut Al-Fārābī, al-hawās al-bāṭiniyya (internal senses) bekerja sebagai jembatan. Ia menghimpun apa yang ditangkap tubuh, lalu menyalurkannya kepada akal untuk ditimbang dan diolah. Dalam risalahnya, ia menulis:
“وَالحَوَاسُّ الدَّاخِلِيَّةُ تَجْمَعُ بَيْنَ مَا يَدْرِكُهُ الْجَسَدُ وَمَا يُفَكِّرُ فِيهِ الْعَقْلُ”
“Internal senses mengumpulkan apa yang diterima tubuh dan apa yang dipikirkan oleh akal.” (Risāla fī al-Nafs)
Ungkapan ini sederhana tapi mendalam: tanpa mata batin, tubuh hanya menjadi mesin penerima kesan, dan akal hanya menjadi ruang kosong tanpa bahan renungan.
Fenomena Sehari-hari: Intuisi dan Kebijaksanaan
Dalam kehidupan nyata, internal senses terlihat dalam cara seseorang menilai situasi yang rumit. Misalnya, ketika seorang sahabat berbicara, kita tidak hanya mendengar suaranya. Ada intuisi yang ikut bekerja—membaca kesungguhan, menangkap emosi, menafsirkan maksud tersembunyi. Al-Fārābī menggambarkannya demikian:
“وَالنَّفْسُ تَتَصَوَّرُ مَا يَلْتَقِطُهُ الْجَسَدُ وَتُحَلِّلُهُ بِالْعَقْلِ وَتَصْنَعُ مِنْهُ فَهْمًا”
“Jiwa membentuk gambaran dari apa yang ditangkap tubuh, menganalisisnya dengan akal, dan menghasilkan pemahaman.” (Risāla fī al-Nafs)
Inilah kerja senyap mata batin: ia merajut yang kasatmata dan yang tak terlihat menjadi pemahaman yang utuh.
Integrasi: Akal, Indra, dan Spiritualitas
Internal senses bukan hanya bagian dari tubuh, melainkan kompas jiwa. Guru yang memahami muridnya, pemimpin yang bijak membaca suasana, atau orang tua yang peka terhadap anaknya—semua mengandalkan keterpaduan indra, akal, dan mata batin. Al-Fārābī menegaskan:
“وَالحَوَاسُّ الدَّاخِلِيَّةُ تَهْدِي النَّفْسَ إِلَى الصَّحِيحِ وَتُعِينُ الْعَقْلَ فِي التَّمْيِيزِ”
“Internal senses membimbing jiwa kepada yang benar dan membantu akal dalam membedakan.” (Risāla fī al-Nafs)
Dalam Al-Qur’an, gema prinsip ini hadir dalam ayat:
“Ala bi dhikrillāh tatmainnul qulūb” — “Hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
Artinya, ketenangan bukan hanya urusan pikiran logis, melainkan perpaduan antara indra, akal, dan spiritualitas.
Kebajikan dan Kebahagiaan Jiwa
Bagi Al-Fārābī, pengasahan mata batin selalu terkait erat dengan kebajikan. Internal senses yang tajam akan menuntun manusia memilih kebaikan, menghindari kesalahan, dan pada akhirnya menggapai sa‘ādah (kebahagiaan). Ia menulis:
“وَتَصْقُلُ النَّفْسُ بِالْحَوَاسِّ الدَّاخِلِيَّةِ وَالْعَقْلِ فَيَصِلُ إِلَى الْخَيْرِ وَالسَّعَادَةِ”
“Jiwa diasah oleh internal senses dan akal sehingga mencapai kebaikan dan kebahagiaan.” (Risāla fī al-Nafs)
Praktiknya nyata dalam keseharian: merenung sebelum bertindak, menimbang dengan intuisi sekaligus akal sehat, lalu bertindak dengan penuh tanggung jawab.
Cara Mengasah Internal Senses
Al-Fārābī memberi jalan praktis bagaimana manusia bisa melatih mata batinnya:
-
Refleksi diri: menengok kembali niat, motivasi, dan langkah hidup.
-
Observasi sadar: tidak hanya melihat, tapi benar-benar memperhatikan.
-
Belajar berkelanjutan: menggabungkan pengalaman indrawi dengan pengetahuan baru.
-
Meditasi spiritual: memperbanyak ingat kepada Allah untuk menajamkan kesadaran.
-
Tindakan bermoral: meneguhkan pilihan pada keadilan dan kebaikan universal.
Dengan jalan ini, mata batin tidak lagi kabur, melainkan menjadi lentera yang menuntun.
Penutup: Relevansi untuk Zaman Kini
Internal senses, mata batin yang menjadi inti psikologi Al-Fārābī, adalah kunci untuk memahami manusia seutuhnya. Ia membantu kita membaca dunia, mengenali diri, dan berjalan menuju kebahagiaan yang sejati. Hingga kini, warisan Al-Fārābī tetap terasa relevan: manusia modern, di tengah banjir informasi dan distraksi, membutuhkan mata batin yang jernih untuk memilah, merenung, dan menemukan arah hidup.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
