Surau.co. Psikologi Islam klasik membuka wawasan yang relevan bagi ilmu jiwa modern. Konsep-konsep yang dibahas para filsuf Muslim, terutama Al-Fārābī dalam Risāla fī al-Nafs, menegaskan bahwa pemahaman tentang jiwa tidak berhenti pada tataran teoritis, melainkan menjangkau sisi praktis dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, psikologi Islam klasik dapat dipahami sebagai jembatan yang mengaitkan pengalaman inderawi, imajinasi, akal, dan perilaku manusia—sebuah kerangka yang ternyata sejalan dengan temuan psikologi modern mengenai kognisi, emosi, dan motivasi.
Tingkatan Jiwa Menurut Al-Fārābī
Al-Fārābī membagi jiwa ke dalam beberapa lapisan: vegetatif, sensori, dan rasional. Setiap lapisan memiliki fungsi yang khas. Dalam kehidupan nyata, hal ini tampak misalnya saat seseorang merasakan lapar (fungsi vegetatif), merespons rangsangan dari lingkungan (fungsi sensori), lalu mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan (fungsi rasional). Ia menulis:
“وَيُوجَدُ فِي النَّفْسِ مَا يُمَكِّنُهَا مِنْ تَصْوِيرِ مَا تَلْحِقُ بِهِ مِنَ الْمُدْرَكَاتِ”
“Dalam jiwa terdapat kemampuan untuk membentuk gambaran dari apa yang diterima oleh indera.” (Risāla fī al-Nafs)
Kutipan ini menegaskan bahwa imajinasi berfungsi sebagai penghubung antara pengalaman inderawi dan akal. Dalam istilah modern, konsep tersebut mirip dengan proses visualisasi dalam psikologi kognitif yang digunakan untuk memahami, merencanakan, dan memecahkan masalah.
Memahami Diri Melalui Imajinasi
Imajinasi memiliki peran penting dalam mengenali diri dan merespons lingkungan. Dalam keseharian, seseorang yang menghadapi masalah pekerjaan biasanya membayangkan berbagai kemungkinan solusi sebelum memilih langkah terbaik. Al-Fārābī menuliskan:
“وَالْخَيَالُ يُسَاعِدُ النَّفْسَ عَلَى تَرْتِيبِ مَا تُدْرِكُهُ الْحَواسُّ وَتَحْلِيلِهِ”
“Imajinasi membantu jiwa menyusun apa yang diterima oleh indera dan menganalisisnya.” (Risāla fī al-Nafs)
Dengan demikian, imajinasi bukan sekadar hiburan mental. Ia justru menjadi instrumen refleksi dan perencanaan. Karena itu, konsep klasik ini selaras dengan teori modern seperti mental simulation atau scenario planning, yang membantu manusia mengantisipasi konsekuensi dari setiap keputusan.
Integrasi Akal dan Imajinasi
Al-Fārābī menekankan bahwa akal dan imajinasi tidak berjalan sendiri-sendiri, melainkan bekerja sama untuk membimbing tindakan manusia. Fenomena ini mudah ditemukan, misalnya ketika seorang guru merancang metode pengajaran atau seorang pengusaha memprediksi arah pasar. Ia menulis:
“وَيَتَعَاوَنُ الْخَيَالُ مَعَ الْعَقْلِ لِيُفَسِّرَ الْمُدْرَكَاتِ وَيَهْدِي النَّفْسَ إِلَى الْحُكْمِ الصَّحِيحِ”
“Imajinasi bekerja sama dengan akal untuk menafsirkan apa yang diterima dan membimbing jiwa menuju penilaian yang benar.” (Risāla fī al-Nafs)
Dalam psikologi modern, sinergi ini sejalan dengan konsep executive function—proses otak yang menimbang informasi, mengevaluasi kemungkinan, lalu menghasilkan keputusan adaptif.
Imajinasi, Kreativitas, dan Spiritualitas
Lebih jauh, imajinasi juga berkontribusi pada kreativitas dan spiritualitas. Menurut Al-Fārābī, imajinasi memungkinkan manusia menerima keindahan, memahami kebaikan, serta menuntun diri menuju hidup yang bermakna. Ia menulis:
“وَالْخَيَالُ يُمَكِّنُ النَّفْسَ مِنْ تَقَبُّلِ الْجَمِيلِ وَالْخَيْرِ وَالْهُدَى”
“Imajinasi memungkinkan jiwa menerima keindahan, kebaikan, dan petunjuk.” (Risāla fī al-Nafs)
Fenomena ini nyata dalam aktivitas seni, menulis, maupun dzikir. Secara modern, praktik semacam itu terbukti meningkatkan well-being sekaligus menumbuhkan empati serta kesadaran diri.
Al-Qur’an pun menekankan pentingnya kesadaran batin:
“وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ” (QS. Qaf: 16)
“Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya.”
Ayat ini memperlihatkan bahwa refleksi dan imajinasi adalah bagian dari fitrah yang semestinya diarahkan menuju kebaikan.
Menjadikan Psikologi Klasik Panduan Aksi
Salah satu pelajaran paling berharga dari psikologi Islam klasik terletak pada penerapan nyata. Imajinasi tidak berhenti pada aktivitas mental, melainkan mendorong tindakan yang bijak. Al-Fārābī menegaskan:
“وَالْخَيَالُ أَيْضًا يُرْشِدُ النَّفْسَ إِلَى التَّصَرُّفِ الْحَكِيمِ فِي الْأُمُورِ الْيَوْمِيَّةِ”
“Imajinasi juga membimbing jiwa untuk bertindak bijak dalam urusan sehari-hari.” (Risāla fī al-Nafs)
Kita bisa melihat relevansinya pada guru yang merancang metode kreatif, desainer yang menciptakan produk inovatif, atau orang tua yang memilih cara mendidik anak dengan bijak. Karena itu, penerapan prinsip psikologi klasik menjadikan hidup lebih terstruktur, reflektif, dan bermakna.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
