SURAU.CO. Pepatah Jawa yang bijak, “urip mung wang sinawang,” memberikan pandangan mendalam tentang kehidupan. Ungkapan ini berarti “hidup hanya tampak-tampakan.” Artinya, apa yang kita lihat belum tentu sesuai dengan kenyataan. Di era digital, makna pepatah ini semakin relevan. Media sosial menjadi panggung di mana orang-orang berlomba menampilkan sisi terbaik mereka.
Pepatah ini lahir dari pengamatan panjang orang Jawa terhadap kehidupan sekitar. Mereka melihat ada yang tampak kaya, padahal terlilit hutang; tampak rukun, padahal sering bertengkar; tampak bahagia, padahal menyimpan luka. Dari pengalaman-pengalaman itu lahirlah ungkapan sederhana tapi penuh makna: hidup hanyalah sinawang, sekadar tampilan luar yang belum tentu sejalan dengan isi hati dan kenyataan sebenarnya.
Dunia Maya: Panggung Pencitraan Diri
Media sosial adalah panggung digital. Di sini, kita melihat foto liburan mewah, barang-barang mahal, dan momen kebersamaan yang sempurna. Layar ponsel menjadi etalase kebahagiaan semu. Fenomena “pamer tetapi kosong” semakin meluas. Orang tampak kaya di Instagram, tetapi miskin dalam kenyataan. Mereka bahagia di story, tetapi hampa di hati.
Inilah wujud nyata dari pepatah Jawa urip mung wang sinawang. Hidup hanya tampak-tampakan: apa yang terlihat mata sering kali tidak sama dengan kenyataan yang tersembunyi. Dunia maya memperbesar ilusi itu, membuat manusia sibuk menciptakan citra, tetapi lupa merawat jiwa. Kita kerap lupa bahwa esensi hidup bukan pada sorotan kamera atau jumlah “like,” melainkan pada ketulusan hati yang tak perlu dipamerkan.
Mengapa Terjebak dalam Pencitraan?
Manusia cenderung menilai dari apa yang terlihat. Kita jarang bisa menembus lapisan dalam kehidupan seseorang. Kita sering membandingkan diri dengan orang lain. Perbandingan sosial ini membuat kita merasa kurang beruntung. Padahal, yang kita bandingkan seringkali hanyalah hasil editan, bukan kenyataan.
Di sinilah letak bahayanya ilusi digital. Kita merasa tertinggal hanya karena melihat pencitraan orang lain, padahal kita tidak tahu luka, beban, atau kekosongan hati yang mereka sembunyikan. Pepatah Jawa urip mung wang sinawang kembali mengingatkan: jangan terjebak pada apa yang tampak. Kehidupan sejati ada pada kejujuran hati, rasa syukur, dan kesadaran bahwa kebahagiaan tidak ditentukan oleh sorotan kamera.
Ajaran Islam: Cahaya dalam Kegelapan
Islam memberikan panduan untuk mengatasi jebakan “wang sinawang”. Nabi Muhammad Saw bersabda:
“انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَلَّا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ”
Artinya, “Lihatlah kepada orang yang berada di bawah kalian, dan jangan melihat kepada orang yang berada di atas kalian. Hal itu lebih pantas agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah.” (HR. Muslim).
Hadis ini sejalan dengan pepatah Jawa. Kita diajak bersyukur atas apa yang kita miliki. Kita tidak perlu membandingkan diri dengan orang lain. Islam juga mengajarkan bahwa makna hidup tidak terletak pada harta. Nabi Muhammad Saw bersabda:
“لَيْسَ الغِنَى عَنْ كَثْرَةِ العَرَضِ، وَلَكِنَّ الغِنَى غِنَى النَّفْسِ”
Artinya, “Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya harta, tetapi kekayaan sejati adalah kekayaan jiwa.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Pepatah Jawa dan hadis Nabi memiliki landasan yang sama. Jangan mudah tertipu oleh apa yang tampak. Kebahagiaan untuk dirasakan, bukan dipamerkan. Kekayaan untuk dimanfaatkan, bukan untuk pencitraan. Hidup adalah perjalanan menuju makna di hadapan Allah Swt.
Perangkap Citra Semu: Realita yang Memilukan
Banyak orang kini terperangkap dalam citra semu. Seperti apa
- Mereka rela berhutang demi terlihat mewah.
- Mereka memaksakan pesta agar tidak dianggap rendah.
- Mereka mengejar “likes” serta komentar, padahal hati mereka kosong.
- Mereka menukar ketenangan dengan sorak sorai semu.
- Mereka menyembunyikan luka dengan senyum palsu di layar.
- Mereka kehilangan diri sendiri demi pengakuan orang lain.
Inilah wajah manusia modern yang terjebak dalam ilusi. Semua tampak indah di permukaan, tetapi rapuh di dalam. Pepatah Jawa urip mung wang sinawang hadir sebagai cermin: hidup hanyalah tampak-tampakan, sementara hakikatnya sering tersembunyi jauh di balik tirai pencitraan. Hidup sejati bukanlah tentang bagaimana kita tampak di mata orang, melainkan bagaimana kita menjaga makna di hadapan Allah Swt dan sesama manusia.
Meraih Kehidupan yang Bermakna
Kehidupan yang bernilai tidak hanya tentang penampilan di media sosial. Kehidupan yang bermakna terletak pada hati yang ridha. Sederhana namun tulus lebih berharga daripada tampak mewah tetapi kosong. Jadikan pepatah Jawa dan ajaran Nabi sebagai cermin diri. Mari jangan terlalu sibuk menampilkan kebahagiaan palsu. Jangan terlalu sibuk mengejar tampilan kaya. Keindahan hidup ada pada hati yang bersyukur. (kareemustofa)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
