SURAU.CO. Kantor Urusan Agama (KUA) selama ini dikenal sebagai institusi yang serius dengan tugasnya, mencatat pernikahan, melayani konsultasi keluarga, hingga membimbing calon pengantin. Namun, dalam beberapa bulan terakhir, wajah KUA muncul dengan nuansa berbeda. Bukan lagi sekadar tempat akad nikah yang sakral, melainkan “konten kreator” tak terduga yang membanjiri linimasa TikTok dan Instagram. Semua gara-gara satu hal yaitu Tepuk Sakinah.
Praktek tepuk sakinah dalam bentuk yel-yel ini pertama kali terekam dalam video kelas bimbingan perkawinan di KUA Menteng, KUA Pagu Kediri, dan beberapa daerah lainnya. Tak butuh waktu lama, potongan videonya langsung viral, ribuan komentar bermunculan, jutaan penonton ikut menyimak.
Isi yel-yelnya sederhana yang dalam prakteknya mirip dengan tepuk pramuka. “Berpasangan 3x (tepuk tangan). Janji kokoh 3x (tepuk tangan). Saling cinta, saling hormat, saling jaga, saling ridho, musyawarah untuk sakinah.”
Jika kita simak dengan baik, kalimat ini bukan sekadar permainan kata. Di baliknya tersimpan nilai mendalam tentang kehidupan rumah tangga Islami, yaitu qzawaj (berpasangan), mitsaqan ghalizan (janji kokoh), mu‘asyarah bil ma‘ruf (saling mencintai, menghormati, menjaga), taradhin (saling ridha), dan musyawarah. Semua prinsip ini berakar dari Al-Qur’an, khususnya QS. Ar-Rum ayat 21 yang menegaskan bahwa tujuan pernikahan adalah menghadirkan sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Dengan kata lain, tepuk sakinah merupakan cara sederhana untuk mengingatkan nilai luhur keluarga Islami. Namun, justru kesederhanaan itulah yang membuatnya meledak di dunia maya.
Dari Kelas Bimbingan ke FYP TikTok
Viralnya tepuk sakinah bukan karena pesan keagamaannya, melainkan karena formatnya yang unik sekaligus terdengar aneh oleh sebagian warganet. Apalagi oleh Gen Z yang terbiasa dengan konten singkat, penuh humor, dan sarkas, menyambutnya dengan beragam reaksi.
Ada yang menertawakan dengan komen “Pantesan saya belum nikah, belum hafal tepuk sakinah.” Ada pula yang menyindir, “Kalau beginian wajib, mending saya batal nikah.” Bahkan, tak sedikit yang membuat video parodi versi plesetan.
Namun, tidak semua komentar bernada miring. Ada sebagian yang justru menyambut positif. Mereka menganggap yel-yel ini menyenangkan, bisa mencairkan suasana, dan membuat kelas bimbingan perkawinan terasa tidak kaku. Calon pengantin yang terekam dalam beberapa video pun tampak tertawa lepas sambil ikut menepukkan tangan, seakan menemukan kenangan lucu menjelang hari besar mereka.
Fenomena ini memperlihatkan adanya reaksi dikotomis. Sebagian generasi muda merasa tidak nyambung, sebagian lain justru menikmatinya. Wajar saja, karena gaya komunikasi Gen Z memang berbeda. Mereka terbiasa dengan konten digital yang cepat, visual, dan menghibur. Sesuatu yang terasa seperti tepuk tangan ala pramuka sering kali dianggap kuno atau cringe.
Apa Yang Salah Dengan Tepuk Sakinah?
Secara substansi, tepuk sakinah sama sekali tidak bermasalah. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya justru inti dari keluarga Islami yaitu cinta, hormat, ridha, dan musyawarah. Dari sisi hukum Islam pun, ia tidak melanggar apa pun. Paling jauh hanya bersifat mubah, boleh saja melakukannya sebagai metode pengajaran selama calon pengantin menerimanya dengan lapang hati.
Maka, tidak adil jika fenomena ini hanya sebagai bahan olok-olok. Menghargai niat baik di baliknya akan lebih baik, alih-alih menganggapnya gimmick. Lebih bijak jika kita melihat tepuk sakinah sebagai salah satu upaya KUA untuk menyampaikan nilai agama dengan cara sederhana dan menyenangkan.
Namun, persoalan utamanya bukan pada isi, melainkan pada cara penyampaian. Gen Z membutuhkan bahasa komunikasi yang berbeda. Jika memaksakan metode lama tanpa adaptasi, pesan sakinah bisa kehilangan makna, bahkan hanya berakhir sebagai bahan parodi di media sosial.
Fenomena tepuk sakinah menyibakkan kenyataan bahwa ada gap generasi antara pengelola program di KUA yang kebanyakan dari generasi Boomer atau Gen X, dengan peserta edukasi perkawinan yang kini didominasi Gen Z, bahkan sebentar lagi Gen Alfa. Bagi generasi tua, yel-yel seperti ini terasa menyenangkan. Mereka tumbuh dalam tradisi tepuk tangan, nyanyian kelompok, dan hafalan kolektif. Bagi mereka, itu cara ampuh untuk menanamkan semangat dan memudahkan hafalan.
Sebaliknya, bagi generasi digital, format semacam itu mudah dianggap out of date. Mereka lebih tertarik dengan diskusi interaktif, konten visual kreatif, atau kisah nyata yang dikemas dengan gaya storytelling. Inilah yang disebut para ulama dengan prinsip muqtadha al-khitab yaitu pesan agama harus disampaikan sesuai dengan situasi audiens.
Rasulullah ﷺ pun mencontohkan cara berdakwah yang fleksibel, menyesuaikan tingkat pemahaman dan kondisi orang yang diajak bicara. Pepatah Arab menyebutkan: “Allimu auladakum bi qadri zamanihim”, ajarilah anak-anakmu sesuai dengan zamannya. Jika tepuk sakinah muncul dua dekade lalu, ia mungkin dianggap inovasi. Tapi di era TikTok, tentu perlu ada penyegaran agar tetap relevan.
Belajar dari Fenomena Viral
Viralnya tepuk sakinah sebenarnya bisa jadi cermin bagi KUA dan lembaga keagamaan lainnya. Viral tidak selalu berarti gagal. Justru ini bukti bahwa publik masih peduli, meski responnya beragam. Mungkin butuh evaluasi untuk membaca ulang cara KUA berkomunikasi dengan publik. Tantangan berikutnya terletak pada bagaimana momentum ini tidak dibiarkan lewat begitu saja, melainkan dikelola sebagai peluang edukasi yang segar dan relevan.
Alih-alih menghapus yel-yel tersebut, KUA bisa mempertahankannya sebagai selingan yang mencairkan suasana, sambil menghadirkan format lain yang lebih sesuai dengan generasi muda. Penyampaian materi dapat dikembangkan dalam bentuk diskusi interaktif yang membahas persoalan konkret calon pengantin. Mulai dari komunikasi suami istri, manajemen keuangan, hingga kesehatan mental.
Di sisi lain, optimalisasi media digital juga penting. Materi bimbingan bisa dikemas menjadi video pendek, carousel Instagram, atau podcast yang ringkas, ringan, dan relatable dengan keseharian Gen Z. Tidak kalah penting, KUA dapat melibatkan role model muda yang sukses membangun rumah tangga Islami agar menjadi teladan nyata sekaligus inspirasi bagi peserta.
Dengan cara ini, nilai sakinah tidak hanya berhenti di ruang kelas bimbingan perkawinan KUA, melainkan benar-benar masuk ke dalam kehidupan calon pengantin. Dengan harapan calon pengantin siap menghadapi realitas rumah tangga di era digital.
Mengajar dengan Bahasa Zaman
Jika KUA ingin menyapa Gen Z dan Gen Alfa, prinsip utamanya sederhana yaitu ajarkan dengan bahasa zamannya. Tepuk tangan boleh tetap ada, tapi jangan berhenti di sana. Yang lebih penting adalah bagaimana pesan sakinah bisa dirasakan, bukan sekadar dihafalkan.
Generasi digital membutuhkan pendekatan yang lebih visual, kreatif, dan relevan dengan keseharian mereka. Mereka lebih mudah tersentuh oleh kisah nyata, konten interaktif, atau testimoni langsung dari orang seusia mereka. Dalam hal ini, KUA perlu bertransformasi dari sekadar lembaga pencatat nikah menjadi lembaga literasi keluarga yang komunikatif dan adaptif.
Pada akhirnya, tepuk sakinah hanyalah satu dari sekian banyak cara mengajarkan nilai rumah tangga Islami. Ia bisa jadi bahan tawa, bisa juga jadi pengingat sederhana. Semua tergantung cara kita memaknainya.
Boleh jadi, sebagian orang menertawakan. Tapi siapa tahu, justru karena viral inilah banyak anak muda kembali berpikir tentang makna sakinah, mawaddah, dan rahmah. Kadang-kadang, jalan menuju kesadaran memang berliku, bahkan lewat sebuah yel-yel yang sempat jadi bahan olok-olok di FYP.
Dan di situlah letak hikmahnya, setiap zaman punya bahasanya sendiri. Yang terpenting bukanlah tepuk tangannya, melainkan bagaimana kita semua, baik KUA maupun generasi muda saling belajar untuk menjaga janji suci pernikahan dengan cinta, hormat, ridha, dan musyawarah.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
