Khazanah
Beranda » Berita » Melampaui Zaman: Mengapa Gagasan Al-Rāzī tentang Jiwa Masih Relevan

Melampaui Zaman: Mengapa Gagasan Al-Rāzī tentang Jiwa Masih Relevan

al-Rāzī menulis Kitāb al-Ḥāwī tentang jiwa dan kesehatan mental.
Ilustrasi seorang ilmuwan Muslim klasik menulis kitab medis dengan pasien jiwa di sekitarnya.

Berbicara tentang kesehatan jiwa sering kali terasa seperti membicarakan sesuatu yang “baru” dalam dunia modern. Namun, faktanya, perbincangan itu sudah muncul sejak ratusan tahun lalu. Salah satu tokoh penting dalam tradisi Islam kuno yang serius membahas persoalan ini adalah Abū Bakr al-Rāzī (865–925 M). Karya monumentalnya, Kitāb al-Ḥāwī, bukan sekadar catatan medis, tetapi juga refleksi mendalam tentang tubuh, pikiran, dan hubungan keduanya. Di tengah riuhnya dunia digital saat ini, gagasan al-Rāzī tentang jiwa terasa masih relevan dan menyentuh kehidupan kita sehari-hari.

Keseharian dan Luka yang Tak Terlihat

Kita sering kali memberi perhatian besar pada sakit fisik: demam, flu, atau bahkan migrain. Tetapi bagaimana dengan rasa cemas, letih batin, atau gelisah yang tidak terlihat? Al-Rāzī sejak lama mengingatkan bahwa jiwa dan tubuh saling terhubung. Ia menulis dalam Kitāb al-Ḥāwī:

“النفس تؤثر في البدن كما يؤثر البدن في النفس”
Jiwa memengaruhi tubuh sebagaimana tubuh memengaruhi jiwa.

Kalimat sederhana ini menunjukkan pandangan yang mendahului zamannya. Ia memahami bahwa kesehatan mental tidak bisa dipisahkan dari kesehatan fisik. Bagi kita hari ini, gagasan itu mengingatkan betapa pentingnya istirahat, keseimbangan hidup, dan menjaga pikiran tetap jernih.

Jiwa, Ujian, dan Keimanan

Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

﴿أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ﴾ (QS. ar-Ra‘d: 28)
Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.

Ayat ini sejalan dengan pandangan al-Rāzī bahwa kebahagiaan batin tidak hanya berakar pada obat atau ramuan, tetapi juga pada ketenangan spiritual. Dalam Kitāb al-Ḥāwī ia menulis:

“القلق الدائم يورث أمراضاً لا دواء لها إلا السكون والطمأنينة”
Kecemasan yang terus-menerus melahirkan penyakit yang tidak ada obatnya kecuali ketenangan dan ketenteraman.

Betapa dekat kalimat ini dengan fenomena modern. Banyak orang berlari mengejar karier, harta, atau validasi sosial di media, tetapi melupakan kebutuhan jiwa untuk hening.

Dari Rumah Sakit Kuno ke Kehidupan Modern

Al-Rāzī juga dikenal sebagai seorang kepala bīmāristān (rumah sakit) di Baghdad. Ia menaruh perhatian khusus pada pasien yang mengalami gangguan pikiran atau mental. Dalam catatannya, ia menekankan:

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

“المجنون يحتاج إلى رحمة أكثر من العقوبة”
Orang yang terganggu jiwanya lebih membutuhkan kasih sayang daripada hukuman.

Pandangan ini sangat progresif, bahkan jika dibandingkan dengan beberapa cara masyarakat modern memperlakukan penderita gangguan mental. Kita masih sering mendengar stigma, ejekan, bahkan diskriminasi. Padahal, sebagaimana ditegaskan al-Rāzī, penyembuhan memerlukan belas kasih.

Obat, Pikiran, dan Spiritualitas

Salah satu hal yang membuat Kitāb al-Ḥāwī begitu istimewa adalah keberaniannya menyatukan ilmu kedokteran dengan pengamatan filosofis. Al-Rāzī tidak sekadar menuliskan resep obat, tetapi juga menyelipkan pandangan hidup. Ia menulis:

“الدواء لا ينفع من غير إرادة المريض في الشفاء”
Obat tidak akan bermanfaat tanpa adanya kehendak pasien untuk sembuh.

Kata-kata ini terasa hidup hingga sekarang. Betapa sering kita menemukan bahwa seseorang baru benar-benar pulih ketika ia sendiri menginginkan kesembuhan. Artinya, kekuatan jiwa, doa, dan dukungan sosial sama pentingnya dengan obat medis.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Relevansi untuk Kita Hari Ini

Merenungkan gagasan al-Rāzī membuat kita sadar bahwa isu kesehatan mental bukanlah fenomena baru. Ia adalah bagian dari sejarah panjang manusia. Bedanya, hari ini kita memiliki akses teknologi, informasi, dan layanan kesehatan yang lebih luas. Namun, akar kebijaksanaan itu tetap sama: menjaga jiwa berarti menjaga tubuh, dan menjaga tubuh berarti menenangkan jiwa.

Islam mengajarkan keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara fisik dan spiritual. Rasulullah ﷺ bersabda:

“إِنَّ لِبَدَنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا”
(HR. al-Bukhārī)
Sesungguhnya tubuhmu memiliki hak atasmu, matamu memiliki hak atasmu, dan jiwamu memiliki hak atasmu.

Hadis ini seakan menjadi penguat pandangan al-Rāzī. Kita tidak bisa memaksakan diri tanpa henti, melupakan hak tubuh dan jiwa untuk beristirahat.

Menutup dengan Refleksi

Membaca ulang Kitāb al-Ḥāwī seolah mengingatkan kita bahwa ilmu pengetahuan sejati bukan hanya tentang menumpuk informasi, melainkan tentang merawat kehidupan. Gagasan al-Rāzī, meski ditulis seribu tahun lalu, tetap relevan: kesehatan bukan sekadar soal tubuh, melainkan juga tentang jiwa, cinta, dan kasih sayang.

Jika hari ini kita menghadapi kecemasan, depresi, atau tekanan hidup, mungkin salah satu jalannya adalah kembali pada keseimbangan itu: menjaga diri, menenangkan hati, dan mengingat bahwa jiwa yang sehat adalah pondasi dari segalanya.

 

*Sugianto Al-Jawi 

Budayawan Kontenporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement