Ketika kita membicarakan sejarah kedokteran jiwa, nama al-Rāzī selalu muncul dengan penuh wibawa. Dalam karyanya yang monumental, Kitāb al-Ḥāwī, ia tidak hanya menuliskan resep obat, tetapi juga merekam denyut kehidupan sehari-hari pasien di bimaristan—rumah sakit pada era klasik Islam. Artikel ini akan menyoroti bagaimana bimaristan tidak sekadar menjadi tempat penyembuhan fisik, tetapi juga ruang bagi terapi mental yang menyentuh sisi manusiawi.
Bimaristan Sebagai Ruang Kehidupan
Di era modern, rumah sakit sering terasa dingin dan formal. Namun, bimaristan pada masa al-Rāzī memiliki wajah yang berbeda. Ia adalah tempat pasien jiwa dirawat dengan perhatian yang lebih lembut, melalui diet, obat, bahkan hiburan musik. Al-Rāzī mencatat bahwa pasien tidak boleh diperlakukan sebagai objek percobaan, melainkan manusia yang memiliki harga diri.
Dalam Kitāb al-Ḥāwī, al-Rāzī menulis:
“يجب على الطبيب أن ينظر إلى المريض بعين الشفقة، ولا يجعله موضعًا للتجربة.”
“Seorang tabib harus memandang pasien dengan kasih sayang, dan jangan menjadikannya sebagai objek percobaan.”
Kalimat itu terdengar sederhana, tetapi memiliki kekuatan besar. Ia menunjukkan bahwa etika kedokteran Islam telah menekankan human touch sejak berabad-abad lalu.
Keseharian Pasien Jiwa dan Fenomena yang Dekat dengan Kita
Bayangkan seseorang yang hari ini mengalami gangguan cemas, insomnia, atau depresi. Fenomena ini bukan hal baru. Di masa al-Rāzī, pasien jiwa juga mengalami hal serupa. Mereka kerap dilanda ketakutan tanpa sebab, berhalusinasi, atau merasa dirinya terus diawasi.
Al-Rāzī menulis sebuah pengamatan yang menarik:
“رأيت من المرضى من يظن أن الناس كلهم يتآمرون عليه، فإذا ترك وحده سكنت حاله.”
“Aku melihat di antara pasien ada yang mengira bahwa semua orang bersekongkol melawannya. Namun, ketika dibiarkan sendiri, kondisinya menjadi tenang.”
Pengamatan itu mengingatkan kita pada realitas sehari-hari: terkadang orang yang mengalami gangguan mental butuh ruang tenang, bukan kerumunan yang justru menambah beban pikirannya.
Al-Qur’an dan Hadis: Sentuhan Spiritualitas dalam Terapi
Selain diet dan obat, dimensi spiritual tidak pernah ditinggalkan dalam pengobatan. Al-Rāzī sendiri tidak menolak doa sebagai bagian dari terapi jiwa. Hal ini sejalan dengan firman Allah:
﴿أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ﴾
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (QS. ar-Ra‘d: 28)
Bagi pasien, dzikir atau bacaan doa dapat menjadi jangkar batin di tengah badai pikiran. Nabi ﷺ juga bersabda:
“تَدَاوَوْا عِبَادَ اللَّهِ، فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ دَوَاءً”
“Berobatlah wahai hamba-hamba Allah, karena sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit kecuali Dia juga menurunkan obatnya.” (HR. Abu Dawud)
Hadis ini memberi pesan kuat: pengobatan fisik dan spiritual berjalan beriringan.
Kombinasi Diet, Obat, dan Lingkungan yang Menenangkan
Salah satu pilar penting dalam terapi pasien jiwa menurut al-Rāzī adalah diet. Ia menekankan pentingnya makanan yang seimbang, sebab tubuh dan jiwa saling berkaitan. Ia menulis:
“إن الطعام إذا اعتدل أصلح النفس، وإذا فسد أفسدها.”
“Apabila makanan seimbang, ia memperbaiki jiwa; dan bila rusak, ia pun merusaknya.”
Pasien di bimaristan diberi makanan yang menyehatkan, serta minuman yang dapat menenangkan saraf. Suasana bimaristan pun diatur: ada taman, suara gemericik air, hingga musik lembut. Semua itu menjadi terapi non-obat yang memperkuat proses penyembuhan.
Humanisme dalam Kitāb al-Ḥāwī
Salah satu yang paling menyentuh dari catatan al-Rāzī adalah perhatiannya terhadap martabat pasien. Ia menegaskan:
“الطبيب الحكيم لا يعالج الجسد وحده، بل يعالج النفس معه.”
“Seorang tabib yang bijaksana tidak hanya mengobati tubuh, tetapi juga jiwa bersamanya.”
Pernyataan ini selaras dengan tren modern psikoterapi yang memandang manusia sebagai kesatuan bio-psiko-sosial-spiritual.
Refleksi Kehidupan Kita Hari Ini
Jika kita melihat kondisi sekarang, masih banyak orang yang malu berobat ke psikiater karena stigma. Padahal, sejak abad pertengahan, al-Rāzī sudah menulis bahwa pasien jiwa berhak mendapat perlakuan manusiawi. Kita bisa belajar bahwa perhatian sederhana, makanan bergizi, lingkungan tenang, doa, dan obat adalah pilar yang menyokong kesehatan jiwa.
Bimaristan bukan sekadar rumah sakit, melainkan laboratorium kehidupan, tempat manusia dipandang secara utuh—badan, jiwa, dan ruhnya.
Penutup: Warisan yang Relevan Sepanjang Zaman
Kitāb al-Ḥāwī bukan hanya buku medis. Ia adalah catatan peradaban, tempat ilmu kedokteran bertemu dengan humanisme dan spiritualitas. Dari bimaristan, kita belajar bahwa pasien jiwa bukan sekadar “orang sakit”, melainkan manusia yang membutuhkan pemahaman dan kasih sayang.
Warisan al-Rāzī ini seakan berpesan pada kita: menjaga kesehatan mental bukan hanya soal obat, tetapi juga bagaimana kita memperlakukan diri sendiri dan orang lain dengan kelembutan.
*Sugianto Al-Jawi
Budayawan Kontenporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
