Khazanah
Beranda » Berita » Mengurai Mania, Delusi, dan Ketakutan: Pandangan Ilmiah Al-Rāzī

Mengurai Mania, Delusi, dan Ketakutan: Pandangan Ilmiah Al-Rāzī

Ilustrasi al-Rāzī menjelaskan tentang mania, delusi, dan ketakutan dalam Kitāb al-Ḥāwī.
Gambaran filosofis al-Rāzī sebagai tabib yang memadukan sains dan kelembutan hati dalam merawat pasien.

Surau.co. Salah satu karya medis terbesar dalam peradaban Islam. Buku ini bukan sekadar ensiklopedia kedokteran, melainkan juga menjadi akar dari pemahaman awal tentang psikiatri Islam. Dalam jilid-jilidnya, al-Rāzī membahas berbagai kondisi kejiwaan seperti mania, delusi, dan rasa takut yang berlebihan. Frasa kunci “Kitāb al-Ḥāwī” muncul berulang kali ketika para sejarawan medis membicarakan warisan pemikiran Islam dalam bidang kesehatan jiwa.

Fenomena sehari-hari seperti stres karena pekerjaan, rasa cemas berlebihan, atau gangguan tidur sebenarnya memiliki akar kajian sejak berabad-abad lalu. Al-Rāzī tidak hanya menuliskan resep obat, tetapi juga menaruh perhatian pada keseimbangan jiwa. Ia menegaskan bahwa gangguan mental sama pentingnya dengan gangguan fisik, dan keduanya perlu diperhatikan secara seimbang.

Ketika Mania Menjadi Ledakan Energi

Dalam kehidupan modern, mania sering dipahami sebagai kondisi energi berlebih yang tidak terkendali, bisa membuat seseorang hiperaktif atau berbicara tanpa henti. Al-Rāzī sudah mengamati fenomena ini jauh sebelum istilah “bipolar” populer. Ia menulis dalam Kitāb al-Ḥāwī:

“المصاب بالهوس يتكلم كثيراً بلا نظام ويضحك من غير سبب.”
Orang yang mengalami mania berbicara banyak tanpa aturan dan tertawa tanpa sebab.

Pengamatan ini begitu dekat dengan realitas hari ini. Kita sering melihat seseorang yang tampak penuh energi, namun perilakunya sulit dipahami. Al-Rāzī mengingatkan bahwa kondisi tersebut bukan sekadar “aneh”, melainkan bagian dari penyakit jiwa yang membutuhkan perhatian medis dan kelembutan dalam pendekatan.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Delusi dan Dunia yang Diciptakan Pikiran

Delusi, atau keyakinan yang salah dan bertahan kuat meski bertentangan dengan kenyataan, juga menjadi perhatian al-Rāzī. Ia tidak menertawakan penderita delusi, melainkan mencoba menjelaskan mekanismenya.

Dalam Kitāb al-Ḥāwī ia menuliskan:

“المتوهم يرى ما ليس في الخارج ويعتقده حقاً.”
Orang yang berhalusinasi melihat sesuatu yang tidak ada di luar dirinya, dan ia meyakininya sebagai kebenaran.

Fenomena ini mengingatkan kita pada kisah orang-orang yang terjebak dalam ilusi pikirannya sendiri, baik karena trauma, kecemasan, atau penyakit. Pandangan al-Rāzī menunjukkan kepekaan yang jarang ditemukan pada zamannya: bahwa penderita delusi membutuhkan pemahaman, bukan sekadar penolakan.

Al-Qur’an pun memberi pengingat:

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
“Mereka hanya mengikuti persangkaan, padahal persangkaan itu tidak berguna sedikit pun untuk mencapai kebenaran.” (QS. an-Najm: 28).

Ayat ini memberi gambaran betapa rapuhnya akal jika tidak dituntun oleh cahaya kebenaran.

Rasa Takut yang Melumpuhkan

Ketakutan adalah emosi alami, tetapi ketika ia menjadi berlebihan, hidup seseorang bisa lumpuh. Al-Rāzī menaruh perhatian khusus pada rasa takut yang tidak rasional. Ia menulis:

“الخوف إذا جاوز الحد صار عذاباً للنفس ومرضا للجسد.”
Ketakutan jika melampaui batas menjadi siksaan bagi jiwa dan penyakit bagi tubuh.

Kutipan ini sangat relevan dengan fenomena kecemasan modern. Banyak orang yang hidupnya dikuasai rasa takut: takut gagal, takut ditolak, takut kehilangan. Dalam jangka panjang, rasa takut itu bisa memicu gangguan fisik, seperti tekanan darah tinggi atau gangguan tidur.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Islam sendiri mengajarkan keseimbangan. Rasa takut kepada Allah harus melahirkan ketenangan, bukan kepanikan. Sebagaimana firman Allah:

فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“Maka janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kalian benar-benar beriman.” (QS. Āli ‘Imrān: 175).

Takut yang tepat melahirkan ketenangan, bukan kehancuran batin.

Jalan Ketenangan sebagai Terapi

Selain menganalisis gejala, al-Rāzī juga menawarkan arah pemulihan. Ia percaya bahwa ketenangan batin adalah fondasi terapi jiwa. Dalam Kitāb al-Ḥāwī ia menulis:

“العلاج النافع للروح القلقة هو السكون ومجالسة الحكماء.”
Terapi yang bermanfaat bagi jiwa gelisah adalah ketenangan dan duduk bersama orang-orang bijak.

Betapa dalam pesan ini. Kita mungkin tak selalu mampu menghindari kesibukan dunia, tetapi kita bisa memilih cara menenangkan jiwa: dengan dzikir, doa, membaca buku yang memberi inspirasi, atau berbincang dengan sahabat yang penuh kebijaksanaan.

Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

المرء على دين خليله فلينظر أحدكم من يخالل
“Seseorang itu mengikuti agama temannya, maka hendaklah salah seorang dari kalian memperhatikan siapa yang dijadikan teman dekatnya.” (HR. Abū Dāwūd dan at-Tirmiżī).

Teman yang baik menjadi bagian dari obat bagi jiwa yang gundah.

Relevansi Kitāb al-Ḥāwī Bagi Zaman Kini

Mengurai mania, delusi, dan ketakutan dari perspektif al-Rāzī membuat kita menyadari bahwa psikiatri Islam telah memiliki fondasi ilmiah dan humanis sejak lama. Ia tidak hanya membicarakan obat fisik, tetapi juga menekankan kelembutan, pemahaman, dan spiritualitas sebagai bagian dari pengobatan.

Hari ini, ketika angka depresi dan gangguan kecemasan meningkat, pesan al-Rāzī terasa makin relevan. Bahwa manusia bukan sekadar tubuh, melainkan juga jiwa yang rapuh dan butuh dirawat dengan cinta.

Membaca Kitāb al-Ḥāwī mengingatkan kita bahwa merawat jiwa adalah bagian dari ibadah, sebab jiwa yang sehat akan menuntun tubuh pada kebaikan.

 

*Sugianto Al-Jawi 

Budayawan Kontenporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement