Khazanah
Beranda » Berita » Kitāb al-Ḥāwī dan Akar Ilmu Psikiatri Islam

Kitāb al-Ḥāwī dan Akar Ilmu Psikiatri Islam

Ilustrasi al-Rāzī menulis Kitāb al-Ḥāwī dengan nuansa psikiatri Islam.
Ilustrasi realis-filosofis menggambarkan al-Rāzī sebagai tabib yang memperhatikan kesehatan tubuh sekaligus jiwa.

Dalam sejarah pemikiran Islam, Kitāb al-Ḥāwī karya Abū Bakr Muhammad ibn Zakariyyā al-Rāzī (w. 925 M) adalah salah satu karya medis paling berpengaruh. Buku ini bukan hanya berisi uraian tentang anatomi dan penyakit fisik, tetapi juga menyentuh wilayah yang kini kita sebut psikiatri: kesehatan jiwa, perilaku, dan hubungan antara tubuh dengan pikiran. Frasa kunci “Kitāb al-Ḥāwī” selalu lekat dengan pembahasan akar psikiatri Islam, sebab karya monumental ini menjadi rujukan selama berabad-abad, baik di dunia Islam maupun Eropa.

Fenomena sehari-hari seperti kecemasan, depresi, atau sakit kepala karena tekanan pikiran ternyata sudah diperhatikan oleh al-Rāzī seribu tahun lalu. Banyak orang modern mengira psikiatri lahir di Barat, padahal tradisi Islam telah lama meletakkan dasar ilmiah dan spiritualnya. Kitāb al-Ḥāwī adalah saksi bagaimana ilmu kedokteran Islam tidak memisahkan tubuh dan jiwa, tetapi menenun keduanya dalam satu keutuhan manusia.

Dari Ruang Pasien ke Ruang Renungan

Al-Rāzī adalah seorang dokter yang terjun langsung ke rumah sakit, merawat pasien dari berbagai latar belakang. Ia mencatat keluhan pasien secara detail, termasuk gejala emosional seperti gelisah, takut, atau sulit tidur. Catatan itu kemudian ia rangkum dalam Kitāb al-Ḥāwī, sebuah ensiklopedia medis setebal 23 jilid.

Di salah satu bagian ia menulis:

“النفس المريضة لا تُداوى بالأدوية وحدها، بل تحتاج إلى الحكمة والرفق.”
Jiwa yang sakit tidak cukup diobati dengan obat-obatan, melainkan juga memerlukan kebijaksanaan dan kelembutan.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Kalimat ini memberi pesan sederhana namun dalam: kesehatan jiwa tidak bisa hanya disembuhkan dengan resep fisik, melainkan butuh pendekatan humanis. Kita sering menjumpai fenomena ini hari-hari ini, ketika seseorang kelelahan bekerja bukan hanya tubuhnya yang drop, tetapi mentalnya ikut tertekan.

Psikiatri dalam Bingkai Islam

Dalam Kitāb al-Ḥāwī, al-Rāzī menekankan pentingnya memahami keterhubungan tubuh dan jiwa. Baginya, stres, kesedihan, atau amarah dapat memperparah penyakit fisik. Pandangan ini sangat dekat dengan konsep psikosomatik modern.

Ia menuliskan:

“الغضب الشديد يُحدث حرارة في القلب ويُفسد الدم.”
Amarah yang berlebihan menimbulkan panas dalam jantung dan merusak kualitas darah.

Menariknya, ungkapan ini senada dengan Al-Qur’an yang menganjurkan kesabaran sebagai obat hati:

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلَّا بِاللَّهِ
“Bersabarlah, dan kesabaranmu itu tiada lain kecuali dengan pertolongan Allah.” (QS. An-Naḥl: 127).

Dari sini tampak bahwa pendekatan psikiatri Islam bukan hanya klinis, tapi juga spiritual.

Antara Depresi dan Harapan

Salah satu bab penting dalam Kitāb al-Ḥāwī adalah tentang melankolia, istilah klasik yang merujuk pada depresi berat. Al-Rāzī tidak menyalahkan pasien yang mengalami kondisi ini, justru ia menyarankan dokter untuk memperlakukan mereka dengan empati.

Ia menulis:

“المكتئب يحتاج إلى مؤانسة الأصدقاء وحديث يبعث الأمل.”
Orang yang depresi membutuhkan kehangatan teman dan percakapan yang membangkitkan harapan.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Betapa relevan nasihat ini dengan kehidupan modern. Banyak orang yang merasa tertekan justru karena kesepian. Dukungan sosial—keluarga, sahabat, komunitas—ternyata merupakan obat mujarab yang sudah lama disarankan dalam khazanah Islam.

Rasulullah ﷺ bersabda:

المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضا
“Seorang mukmin bagi mukmin lainnya seperti bangunan, saling menguatkan satu sama lain.” (HR. al-Bukhārī dan Muslim).

Ketenangan Sebagai Terapi

Al-Rāzī juga membicarakan tentang pentingnya ketenangan batin. Ia percaya bahwa doa, dzikir, dan keyakinan pada Tuhan dapat menjadi penopang bagi jiwa yang rapuh. Dalam Kitāb al-Ḥāwī ia mencatat:

“السكون والطمأنينة دواءٌ يُعيد للنفس توازنها.”
Ketenangan dan ketenteraman adalah obat yang mengembalikan keseimbangan jiwa.

Ayat Al-Qur’an meneguhkan hal ini:

أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (QS. ar-Ra‘d: 28).

Fenomena sehari-hari seperti meditasi, relaksasi, atau sekadar duduk hening sambil berzikir merupakan bentuk terapi jiwa yang sudah terbukti menenangkan.

Relevansi Kitāb al-Ḥāwī Hari Ini

Mengapa Kitāb al-Ḥāwī penting untuk dibicarakan saat ini? Sebab, di era modern, angka gangguan mental terus meningkat. Depresi, kecemasan, burnout kerja—semuanya menjadi masalah global. Di sisi lain, masyarakat modern sering kali memisahkan antara perawatan medis dan spiritual.

Al-Rāzī memberi kita pelajaran berharga: jangan pisahkan jiwa dari raga. Ia menekankan keseimbangan, kehangatan sosial, dan spiritualitas sebagai bagian dari pengobatan. Prinsip inilah yang membuat Kitāb al-Ḥāwī layak disebut akar ilmu psikiatri Islam.

Refleksi untuk Kehidupan Modern

Membaca ulang al-Rāzī mengingatkan kita bahwa masalah kejiwaan bukan aib. Justru ia bagian dari kemanusiaan kita yang rapuh. Menghadapinya butuh pendekatan medis, psikologis, sekaligus spiritual.

Hari ini, mungkin kita tidak sedang membuka jilid-jilid Kitāb al-Ḥāwī, tetapi pesan-pesan utamanya tetap hidup: bersikap lembut pada diri sendiri, membangun jejaring sosial yang sehat, serta menjaga hubungan dengan Tuhan.

Sebagaimana al-Rāzī mengajarkan, penyembuhan sejati tidak hanya soal obat, tapi juga soal kasih sayang dan makna hidup.

 

*Sugianto Al-Jawi

Budayawan Kontenporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement