Sejarah kedokteran klasik mencatat banyak nama besar, tetapi Abū Bakr Muhammad ibn Zakariyyā al-Rāzī (865–925 M) termasuk yang paling menonjol. Melalui karya monumentalnya, Kitāb al-Ḥāwī, ia tidak hanya membahas penyakit fisik, tetapi juga menyusun catatan klinis tentang gangguan mental. Ulasan tentang “penyakit kepala” dan “penyakit jiwa” dalam kitab itu memperlihatkan cara pandang al-Rāzī yang unik: memadukan sains, pengamatan klinis, serta sisi kemanusiaan yang hangat.
Fenomena yang ia soroti sebenarnya sangat dekat dengan kehidupan modern. Banyak orang yang tampak sehat secara fisik, namun hatinya penuh beban. Ia bisa tersenyum, tetapi pikirannya gelap. Itulah yang oleh al-Rāzī dikategorikan sebagai “penyakit jiwa,” sesuatu yang tidak bisa diremehkan karena bisa melemahkan tubuh dan kehidupan seseorang secara menyeluruh.
Luka yang Tidak Terlihat
Dalam salah satu catatannya, al-Rāzī menulis tentang gangguan yang kini bisa kita sebut sebagai depresi atau kecemasan.
“من غلبتْ عليه السوداءُ رأى أحوالًا لم تقع، واشتدّ به الفكرُ حتى أضعفَ بدنَه.”
“Barangsiapa dikuasai oleh kelebihan empedu hitam (melancholia), ia melihat hal-hal yang tidak terjadi, pikirannya bekerja terlalu keras hingga melemahkan tubuhnya.” (Kitāb al-Ḥāwī)
Pernyataan ini menunjukkan bahwa al-Rāzī memahami hubungan erat antara pikiran dan tubuh. Gangguan mental bukan hanya soal ilusi atau emosi, tetapi nyata berimbas pada fisik. Hari ini kita bisa menyebutnya sebagai psikosomatis—bukti bahwa pemikiran klasiknya selaras dengan konsep medis modern.
Antara Tidur, Pikiran, dan Gangguan Jiwa
Gangguan mental menurut al-Rāzī juga berkaitan dengan tidur. Ia mengamati pasien yang sulit beristirahat karena pikirannya penuh kecemasan.
“المبتلى بالوسواس لا ينام ليلًا، ويقوم نهارَه كأنّه لم ينَم، فيضعفُ قلبُه وجسدُه.”
“Orang yang dilanda waswas tidak dapat tidur di malam hari, dan menjalani siang seakan tidak tidur, hingga melemah hati dan tubuhnya.” (Kitāb al-Ḥāwī)
Siapa di antara kita yang belum pernah mengalami gelisah hingga mata tak bisa terpejam? Fenomena ini begitu manusiawi. Namun, al-Rāzī menunjukkan bahwa insomnia akibat kecemasan bukan sekadar “kurang tidur,” melainkan tanda gangguan mental yang membutuhkan perhatian serius.
Obat Kata-Kata dan Pendekatan Manusiawi
Tidak berhenti pada teori, al-Rāzī memberi perhatian besar pada aspek kemanusiaan. Ia menekankan pentingnya komunikasi hangat dalam penyembuhan.
“إذا طيّبتَ نفسَ المريض بالكلمة، صار قبولُه للدواء أيسرَ وشفاؤه أسرع.”
“Jika engkau menenangkan jiwa pasien dengan kata yang baik, penerimaannya terhadap obat menjadi lebih mudah dan kesembuhannya lebih cepat.” (Kitāb al-Ḥāwī)
Konsep ini sejalan dengan pendekatan terapi modern: supportive psychotherapy. Kadang pasien bukan hanya membutuhkan resep, tetapi juga butuh didengar, disapa dengan lembut, dan dirangkul secara emosional.
Perspektif Qur’ani tentang Kesedihan
Al-Rāzī menulis dari sudut medis, tetapi dalam Islam kesedihan dipandang sebagai bagian dari perjalanan hidup. Allah berfirman:
﴿فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا﴾
“Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS. al-Insyirah [94]: 5–6)
Ayat ini menyiratkan bahwa luka batin bukanlah akhir dari segalanya. Ada harapan yang menyertai setiap kesulitan. Bagi pasien jiwa, pesan spiritual ini memberi ketenangan bahwa hidup masih menyimpan peluang untuk pulih.
Jalan Panjang Pasien Jiwa
Catatan al-Rāzī juga merekam betapa beratnya penderitaan pasien dengan gangguan mental.
“صاحب السوداء يرى الليلَ لا ينقضي، والنهارَ أثقلَ من جبلٍ على صدره.”
“Penderita melancholia melihat malam tak kunjung berakhir, dan siang terasa lebih berat daripada gunung di dadanya.” (Kitāb al-Ḥāwī)
Kalimat ini menunjukkan empati mendalam. Ia tidak menertawakan pasien, tidak pula menganggapnya lemah iman. Sebaliknya, ia berusaha memahami beban yang mereka pikul, lalu menyusun strategi medis dan humanis untuk membantu.
Relevansi untuk Zaman Kini
Dari Kitāb al-Ḥāwī, kita belajar bahwa kesehatan mental bukan isu modern semata. Ia sudah menjadi perhatian sejak ribuan tahun lalu. Al-Rāzī memadukan sains, pengalaman klinis, dan rasa kemanusiaan dalam menyusun bab tentang gangguan jiwa.
Hari ini, ketika stigma masih membayangi pasien mental, kita bisa meneladani cara al-Rāzī: menulis, mendengar, merawat, dan menenangkan. Karena penyembuhan jiwa bukan hanya soal obat, melainkan juga soal penerimaan dan kasih sayang.
*Sugianto Al-Jawi
Budayawan Kontenporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
