Ketika Kesedihan Menjadi Pengalaman yang Mendalam
Melancholia, atau dalam istilah klasik disebut sawdā’ (humor hitam), sering digambarkan sebagai kesedihan mendalam yang sulit dijelaskan. Sejak masa Yunani hingga tradisi kedokteran Islam, kondisi ini dipahami bukan hanya sebagai penyakit jiwa, tetapi juga hasil ketidakseimbangan tubuh. Abū Bakr al-Rāzī (w. 925 M) dalam karyanya monumental, Kitāb al-Ḥāwī, membicarakan melancholia dengan bahasa yang memadukan sains dan kemanusiaan.
Dari perspektif Al-Rāzī, tubuh dan jiwa adalah satu kesatuan. Ketika cairan tubuh tidak seimbang, jiwa ikut terguncang. Pandangan ini terasa relevan hari ini, saat kita melihat hubungan erat antara kesehatan fisik dan kesehatan mental. Melancholia bukan hanya soal perasaan murung, melainkan kondisi medis yang harus dipahami dengan cermat.
Al-Rāzī menulis dalam Kitāb al-Ḥāwī:
“السوداء إذا غلبت أورثت حزناً شديداً ووساوس متتابعة”
“Ketika humor hitam mendominasi, ia menimbulkan kesedihan mendalam dan bisikan pikiran yang terus-menerus.”
Kutipan ini menunjukkan betapa jauh pandangan medis Islam telah menembus lapisan psikologis manusia.
Melancholia dalam Kehidupan Sehari-hari
Pernahkah kita merasa hati kosong tanpa sebab, atau pikiran dipenuhi kekhawatiran yang berulang? Kondisi ini digambarkan Al-Rāzī sebagai buah dari dominasi humor hitam. Ia mengamati pasien yang bukan hanya mengeluh sakit tubuh, tetapi juga dihantui rasa takut, khawatir, dan bayangan buruk.
Dalam Kitāb al-Ḥāwī, ia berkata:
“المصاب بالسوداء يرى الأشياء على غير حقيقتها ويعظم الوهم في قلبه”
“Orang yang terkena sawdā’ melihat sesuatu bukan pada hakikatnya, dan khayalan membesar dalam hatinya.”
Ini mirip dengan fenomena overthinking yang sering kita dengar hari ini. Pikiran memperbesar masalah kecil hingga terasa tak terkendali. Al-Rāzī dengan jernih menuliskan kondisi ini lebih dari seribu tahun lalu.
Dimensi Spiritualitas dalam Kesedihan
Islam tidak menolak eksistensi kesedihan, bahkan mengakuinya sebagai bagian alami dari hidup. Namun, agama memberikan panduan agar kesedihan tidak menenggelamkan manusia. Allah ﷻ berfirman:
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا. إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 5–6)
Ayat ini mengajarkan bahwa di balik setiap kesedihan, ada peluang untuk bangkit. Melancholia, dalam pandangan Al-Rāzī, memang berakar pada tubuh, tetapi dapat diperingan dengan dukungan spiritual, doa, dan pergaulan baik.
Terapi Fisik dan Psikologis Menurut Al-Rāzī
Al-Rāzī tidak hanya mendiagnosis, tetapi juga menawarkan jalan keluar. Ia mengusulkan kombinasi antara pengobatan fisik dan psikologis. Ramuan herbal, makanan ringan yang menyehatkan, dan olahraga ringan menjadi rekomendasinya.
Dalam Kitāb al-Ḥāwī, ia menulis:
“من علاج السوداء الرياضة المعتدلة والهواء النقي ومجالسة من يسرّ النفس”
“Di antara pengobatan sawdā’ adalah olahraga ringan, udara segar, dan duduk bersama orang-orang yang menyenangkan jiwa.”
Kalimat ini memperlihatkan betapa manusiawi pendekatan Al-Rāzī. Ia tidak hanya berbicara soal obat kimia, tetapi juga tentang lingkungan sosial dan kebahagiaan sederhana.
Lebih jauh, ia menekankan kekuatan kata-kata:
“الحديث الطيب ينفع المريض ويبعث فيه الأمل”
“Percakapan yang baik bermanfaat bagi orang sakit dan menumbuhkan harapan dalam dirinya.”
Terlihat jelas bahwa Al-Rāzī memahami terapi percakapan sebagai bentuk penyembuhan jiwa, yang kini menjadi pilar utama psikoterapi modern.
Melancholia sebagai Cermin Kemanusiaan
Melancholia bukan sekadar penyakit. Ia adalah bagian dari pengalaman manusia untuk memahami diri, kelemahan, dan kebutuhan akan keseimbangan. Al-Rāzī melihatnya bukan sebagai aib, tetapi sebagai kondisi yang dapat dipahami, ditangani, bahkan diatasi dengan ilmu dan kasih sayang.
Nabi ﷺ bersabda:
ما أنزل الله داءً إلا أنزل له شفاءً
“Allah tidak menurunkan penyakit melainkan Dia juga menurunkan obatnya.” (HR. Bukhari)
Hadis ini sejalan dengan prinsip Al-Rāzī bahwa melancholia pun memiliki jalan keluar. Kesedihan mendalam bisa disembuhkan, baik melalui pengobatan medis maupun terapi sosial dan spiritual.
Relevansi untuk Dunia Modern
Di era kini, kita mengenal istilah depresi, kecemasan, dan gangguan mood. Meski istilah berbeda, esensinya sama: manusia membutuhkan keseimbangan antara tubuh, pikiran, dan jiwa.
Al-Rāzī memberi inspirasi bahwa pengobatan jiwa tidak harus rumit. Terkadang, olahraga ringan, udara segar, makanan sehat, obrolan penuh empati, dan doa yang khusyuk sudah menjadi terapi yang ampuh.
Kesedihan memang bagian dari hidup, tetapi ia tidak harus menjadi penjara. Dengan memadukan sains, kemanusiaan, dan spiritualitas, kita bisa menemukan cara untuk tetap bertahan, bahkan tumbuh dari luka.
Penutup: Belajar dari Al-Rāzī tentang Jiwa yang Seimbang
Melancholia dalam pandangan Al-Rāzī adalah jendela untuk melihat manusia sebagai makhluk utuh: tubuh, jiwa, dan ruh. Ia mengajarkan bahwa memahami penyakit jiwa bukan hanya soal medis, melainkan juga soal kemanusiaan.
Hari ini, kita dapat mengambil pelajaran bahwa percakapan yang hangat, gaya hidup seimbang, serta iman yang kokoh adalah bagian dari terapi jiwa yang telah diajarkan lebih dari seribu tahun lalu.
*Sugianto Al-Jawi
Budayawan Kontenporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
