Menggali Kesehatan dari Kitāb al-Ḥāwī
Humor hitam atau black bile sering diasosiasikan dengan kesedihan mendalam, bahkan depresi. Dalam pandangan medis kuno, termasuk dalam Kitāb al-Ḥāwī karya Abū Bakr al-Rāzī (w. 925 M), tubuh manusia terbentuk dari empat cairan utama: darah, empedu kuning, empedu hitam, dan dahak. Keseimbangan keempat humor ini menentukan kesehatan fisik sekaligus jiwa.
Fenomena ini sebenarnya sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Pernahkah kita merasa hati begitu berat, pikiran muram, dan tubuh lemas tanpa sebab yang jelas? Al-Rāzī menyebut keadaan ini sering terkait dengan dominasi humor hitam yang berlebihan. Ia menyebut humor hitam tidak hanya memengaruhi tubuh, tetapi juga membentuk suasana jiwa.
Dalam Kitāb al-Ḥāwī, al-Rāzī menulis:
“السوداء إذا غلبت أورثت حزناً ووهناً في البدن وعقلاً مشوشاً”
“Ketika humor hitam (as-sawdā’) mendominasi, ia melahirkan kesedihan, kelemahan tubuh, dan akal yang kacau.”
Ungkapan ini memberi gambaran bahwa kesehatan manusia bukan hanya soal fisik, tetapi juga tentang keseimbangan jiwa.
Humor Hitam dalam Sehari-hari
Bayangkan seseorang yang setiap pagi bangun dengan rasa gelisah tanpa alasan, tubuh terasa berat, dan enggan berinteraksi dengan orang lain. Dalam bahasa medis modern, kita mungkin menyebutnya depresi. Namun, dalam kerangka humoral, kondisi ini muncul karena kelebihan as-sawdā’.
Al-Rāzī mencoba menjembatani ilmu kedokteran dengan realitas hidup. Ia mengakui bahwa manusia bisa jatuh dalam kesedihan bukan hanya karena peristiwa, melainkan juga karena tubuh yang tak seimbang. Ia berkata:
“الحزن قد يكون من علل في البدن كما يكون من المصائب”
“Kesedihan bisa berasal dari penyakit tubuh sebagaimana bisa datang dari musibah.”
Pandangan ini sangat relevan hari ini. Kita sering menyalahkan keadaan eksternal atas kesedihan yang kita alami, padahal bisa jadi tubuh kita sendiri memberi sinyal ketidakseimbangan.
Dimensi Spiritual Kesedihan
Islam tidak menafikan adanya kesedihan, bahkan Nabi Ya‘qub pernah menangis hingga matanya putih karena rindu pada Yusuf. Namun, Islam memberi arah agar kesedihan tidak menenggelamkan.
Allah berfirman:
وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan jangan (pula) bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi derajatnya jika kamu orang-orang beriman.” (QS. Āli ‘Imrān: 139)
Ayat ini menunjukkan bahwa kesedihan memang ada, tetapi jangan sampai melumpuhkan. Al-Rāzī memandang, menjaga keseimbangan humor adalah salah satu cara merawat jiwa agar tidak terlalu lama terjebak dalam kesuraman.
Obat Kesedihan Menurut Al-Rāzī
Dalam Kitāb al-Ḥāwī, al-Rāzī mengusulkan kombinasi pengobatan fisik dan psikologis. Ia menyarankan makanan, ramuan herbal, dan juga kebiasaan hidup yang sehat.
“من الدواء للسوداء الرياضة المعتدلة والطعام السهل الهضم والهواء الطيب”
“Salah satu obat untuk humor hitam adalah olahraga ringan, makanan yang mudah dicerna, dan udara yang baik.”
Hal ini terasa begitu sederhana, tetapi sangat praktis. Bukankah kita sering mendengar saran serupa dari dokter modern? Bahwa olahraga, nutrisi seimbang, dan udara segar mampu membantu kesehatan mental.
Selain itu, al-Rāzī juga menekankan pentingnya hiburan jiwa: musik, percakapan baik, dan sahabat yang menyenangkan. Ia menulis:
“النفس تحتاج إلى أنس الأصدقاء واللذة بالمحادثة لتسكن من غلبة السوداء”
“Jiwa membutuhkan keakraban dengan teman dan kenikmatan berbincang agar reda dari dominasi humor hitam.”
Betapa manusiawi pandangan ini. Kita bisa merasakan betapa ngobrol santai dengan teman, bercanda, atau sekadar menikmati suara alam, dapat menjadi obat kesedihan.
Kesedihan, Duka, dan Jalan Keluar
Kesedihan adalah bagian dari hidup. Namun, al-Rāzī membantu kita melihatnya bukan sekadar beban psikologis, tetapi juga sebagai fenomena medis yang bisa ditangani. Ia tidak menolak dimensi spiritual, tetapi juga mengingatkan bahwa tubuh yang sehat menopang jiwa yang kuat.
Nabi ﷺ bersabda:
لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ فَإِذَا أُصِيبَ دَوَاءُ الدَّاءِ بَرَأَ بِإِذْنِ اللَّهِ
“Setiap penyakit ada obatnya. Jika obat itu mengenai penyakitnya, maka ia akan sembuh dengan izin Allah.” (HR. Muslim)
Hadis ini seakan menegaskan prinsip al-Rāzī bahwa kesedihan akibat humor hitam pun bisa dicari jalan keluarnya, baik dengan pengobatan fisik maupun perawatan jiwa.
Menyambungkan Ilmu Lama dengan Kehidupan Modern
Hari ini, kita mengenal psikologi, psikiatri, dan nutrisi sebagai cabang ilmu modern. Namun, gagasan al-Rāzī dalam Kitāb al-Ḥāwī tetap berharga. Ia menyadarkan bahwa manusia bukan hanya tubuh, bukan hanya pikiran, tetapi keduanya saling terkait.
Kesedihan bukanlah aib, melainkan sinyal. Ia bisa berarti tubuh kelelahan, pikiran terguncang, atau jiwa sedang diuji. Keseimbangan humor hitam dengan gaya hidup sehat, ditopang doa dan keimanan, adalah warisan pemikiran yang masih relevan untuk kita resapi.
Refleksi: Menjaga Jiwa, Menjaga Raga
Mungkin kita tidak lagi memakai istilah “humor hitam” dalam dunia medis modern, tetapi intinya tetap sama: kesehatan tubuh dan jiwa saling terhubung. Saat sedih, jangan buru-buru menyalahkan diri atau nasib. Bisa jadi tubuh kita yang sedang meminta perhatian.
Belajar dari al-Rāzī, mari rawat jiwa dengan kebaikan, seimbangkan tubuh dengan pola hidup sehat, dan jangan lupa menguatkan hati dengan iman. Dengan begitu, kita bisa menghadapi kesedihan bukan sebagai musuh, tetapi sebagai guru yang mengajarkan keseimbangan.
*Sugianto Al-Jawi
Budayawan Kontenporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
