Dalam dunia kedokteran klasik, Kitāb al-Ḥāwī karya al-Rāzī menjadi salah satu mahakarya yang tidak lekang oleh zaman. Buku ini tidak hanya mengulas resep obat, gejala penyakit, atau terapi fisik, tetapi juga menyentuh sisi paling manusiawi dari pengobatan: etika dalam merawat pasien jiwa. Al-Rāzī menegaskan bahwa gangguan mental bukanlah kutukan atau aib, melainkan bagian dari kondisi manusia yang butuh kasih sayang, perhatian, dan pemahaman.
Sejak paragraf pertama dalam pembahasan gangguan jiwa, al-Rāzī menggunakan bahasa yang tegas namun penuh empati. Frasa kunci seperti etika al-Rāzī dalam merawat pasien jiwa muncul berulang untuk menekankan bahwa dunia medis, bahkan seribu tahun lalu, sudah memikirkan martabat penderita. Ia mengkritik cara sebagian masyarakat memperlakukan pasien jiwa dengan hinaan atau pengucilan.
Pasien Jiwa sebagai Manusia yang Utuh
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, kita sering lupa bahwa orang dengan gangguan jiwa masih memiliki hak untuk dihargai. Al-Rāzī sudah menuliskan hal ini berabad-abad lalu:
“المجنون إنما هو مريض، فلا ينبغي أن يُهان ولا يُترك، بل يُعالج كما يُعالج سائر المرضى.”
“Orang gila sejatinya adalah orang sakit. Ia tidak pantas dihina atau ditelantarkan, tetapi harus diobati sebagaimana pasien lain.”
Kutipan ini memperlihatkan betapa jauhnya visi etis al-Rāzī dibanding masyarakat zamannya. Ia menolak stigma dan mengajak tabib memperlakukan pasien jiwa dengan penuh martabat.
Di masyarakat hari ini, banyak orang masih menyebut penderita gangguan jiwa dengan istilah kasar atau bahkan memasungnya. Padahal, warisan etika al-Rāzī bisa menjadi refleksi bahwa merawat dengan hormat adalah kebutuhan mendasar, bukan sekadar pilihan.
Al-Qur’an tentang Kasih Sayang dan Kesabaran
Al-Rāzī menekankan pentingnya kelembutan dalam merawat pasien jiwa, sejalan dengan pesan Al-Qur’an:
وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا
“Dan ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia” (QS. Al-Baqarah [2]: 83).
Ayat ini menunjukkan bahwa berbicara dengan baik bukan hanya etika sosial biasa, tetapi juga bentuk terapi psikologis. Kata-kata lembut dapat menjadi obat yang menenangkan hati pasien.
Terapi yang Tidak Hanya Fisik
Dalam Kitāb al-Ḥāwī, al-Rāzī membedakan antara obat untuk tubuh dan terapi untuk jiwa. Ia menuliskan:
“قد ينفع المريض بالكلمة الطيبة أكثر مما ينفعه الدواء.”
“Terkadang, pasien memperoleh manfaat dari kata-kata yang baik lebih besar dibandingkan obat.”
Pesan ini sangat relevan dalam praktik medis modern. Psikoterapi, konseling, atau sekadar kehadiran yang tulus bisa sama pentingnya dengan resep kimiawi.
Bayangkan seseorang yang sedang gelisah atau merasa putus asa. Sebotol obat mungkin bisa menenangkan sarafnya, tetapi sapaan penuh kasih dapat menguatkan jiwanya. Al-Rāzī menyadari hal ini jauh sebelum psikologi modern berkembang.
Hadits tentang Rahmat dalam Merawat
Rasulullah ﷺ juga menekankan perlunya kasih sayang dalam segala aspek kehidupan, termasuk merawat yang sakit:
الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ، ارْحَمُوا مَنْ فِي الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ
“Orang-orang penyayang akan disayangi oleh Allah Yang Maha Pengasih. Sayangilah yang ada di bumi, maka Yang di langit akan menyayangimu.” (HR. Tirmidzi).
Hadits ini memberi dasar spiritual bahwa merawat pasien dengan kasih sayang bukan sekadar etika, melainkan ibadah.
Menghargai Martabat Pasien
Al-Rāzī juga memperingatkan agar tabib tidak merendahkan pasien jiwa dalam percakapan atau tindakan:
“لا يُعاب المريض بعاهته، فإن ذلك يزيد في علته ويثقل على نفسه.”
“Janganlah seorang pasien dicela karena penyakitnya, sebab celaan itu hanya akan menambah sakitnya dan memberatkan jiwanya.”
Betapa sering kita mendengar orang menyebut penderita gangguan jiwa dengan istilah kasar yang merendahkan. Al-Rāzī menolak keras sikap ini. Ia menegaskan bahwa kata-kata negatif justru memperburuk kondisi pasien.
Refleksi untuk Dunia Medis dan Sosial Modern
Etika al-Rāzī dalam merawat pasien jiwa mengingatkan kita bahwa ilmu kesehatan tidak pernah terlepas dari moralitas. Obat yang mujarab bisa gagal jika diberikan dengan sikap merendahkan. Sebaliknya, sikap hormat dan lembut bisa menjadi penyembuh yang kuat.
Hari ini, banyak rumah sakit dan lembaga kesehatan mental mulai menekankan pendekatan humanis. Namun, stigma sosial terhadap gangguan jiwa masih tinggi. Di sinilah pesan al-Rāzī kembali relevan: pasien jiwa tetap manusia utuh yang layak dihormati.
Penutup: Warisan Etis yang Tak Lekang Zaman
Kitāb al-Ḥāwī bukan sekadar ensiklopedia medis, melainkan juga warisan etis yang mendalam. Etika al-Rāzī dalam merawat pasien jiwa memberi kita pelajaran bahwa ilmu tanpa empati hanyalah kering. Dalam dunia yang serba cepat hari ini, mungkin kita perlu kembali mendengar suara lembut dari abad ke-10 itu—bahwa mengobati harus selalu dibarengi dengan menghormati.
*Sugianto Al-Jawi
Budayawan Kontenporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
