Khazanah
Beranda » Berita » Antara Epilepsi dan Gangguan Jiwa: Upaya Al-Rāzī Memisahkan Gejalanya

Antara Epilepsi dan Gangguan Jiwa: Upaya Al-Rāzī Memisahkan Gejalanya

Al-Rāzī merawat pasien epilepsi dengan penuh empati dan pemahaman medis.
Ilustrasi realis menggambarkan interaksi al-Rāzī dengan seorang pasien epilepsi, menunjukkan suasana medis yang penuh penghormatan.

Dalam sejarah kedokteran Islam, Kitāb al-Ḥāwī karya Abū Bakr Muhammad ibn Zakariyyā al-Rāzī menjadi salah satu tonggak penting. Buku besar ini tidak hanya membahas penyakit fisik, tetapi juga gangguan jiwa dan saraf. Salah satu tema menarik di dalamnya adalah upaya al-Rāzī memisahkan gejala epilepsi (ṣar‘) dari gangguan jiwa (junūn).

Sejak paragraf pertama, kita bisa melihat bagaimana al-Rāzī mencoba menjelaskan fenomena medis dengan logika dan observasi. Ia menolak pandangan populer kala itu yang cenderung mencampuradukkan keduanya. Menurutnya, epilepsi tidak selalu berarti “gila”, dan gangguan jiwa tidak otomatis identik dengan kejang-kejang. Pandangan ini menandai awal dari pemahaman medis yang lebih rasional.

Fenomena Sehari-hari yang Masih Relevan

Di sekitar kita, masih sering terdengar anggapan bahwa epilepsi adalah penyakit “orang gila” atau “kerasukan”. Stigma ini tidak hanya melukai penderita, tetapi juga menghambat pengobatan. Padahal, al-Rāzī sudah lebih dari seribu tahun lalu menegaskan bahwa epilepsi adalah kelainan saraf, sementara gangguan jiwa merupakan kondisi berbeda.

Ia menulis dalam Kitāb al-Ḥāwī:

«الصَّرْعُ إِنَّمَا يَكُونُ بِانْقِطَاعِ الْقُوَّةِ عَنِ الدِّمَاغِ فَتَحْدُثُ الرَّعْشَةُ وَالسُّقُوطُ»

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Epilepsi terjadi karena terputusnya kekuatan dari otak, sehingga timbul gemetar dan jatuh.

Penjelasan ini sangat dekat dengan konsep neurologi modern. Epilepsi bukanlah gejala kegilaan, melainkan gangguan sistem saraf pusat.

Jiwa, Raga, dan Keseimbangan dalam Islam

Dalam Al-Qur’an, manusia dipandang sebagai makhluk yang utuh, terdiri dari jiwa dan raga. Allah berfirman:

﴿وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ﴾
Dan Kami turunkan dari Al-Quran sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. (QS. al-Isrā’: 82)

Ayat ini memberi dasar bahwa penyakit, baik fisik maupun mental, bisa didekati dengan cara pengobatan medis sekaligus spiritual. Al-Rāzī memahami pentingnya menjaga keseimbangan tubuh dan jiwa.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Pemisahan Konseptual: Junun dan Epilepsi

Al-Rāzī membedakan dengan jelas antara junūn (gangguan jiwa) dan epilepsi. Ia menulis:

«الْجُنُونُ هُوَ اضْطِرَابُ الْفِكْرِ وَتَغَيُّرُ الْعَقْلِ، وَأَمَّا الصَّرْعُ فَهُوَ انْقِطَاعُ الْإِدْرَاكِ حِينًا ثُمَّ يَعُودُ»

Kegilaan adalah kekacauan pikiran dan perubahan akal, sedangkan epilepsi adalah terputusnya kesadaran untuk sementara lalu kembali.

Kutipan ini menegaskan bahwa epilepsi bersifat episodik, sementara gangguan jiwa bisa berlangsung lebih lama dan memengaruhi pola pikir. Pandangan ini mendahului pemahaman psikiatri modern yang juga membedakan epilepsi (neurologis) dari skizofrenia atau psikosis (psikiatris).

Menyentuh Sisi Kemanusiaan Pasien

Lebih dari sekadar diagnosis, al-Rāzī juga menekankan empati dalam merawat penderita. Ia berpesan:

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

«لَا يَنْبَغِي أَنْ يُسْتَهْزَأَ بِصَاحِبِ الصَّرْعِ أَوْ يُتَّهَمَ بِالْجُنُونِ، فَإِنَّ ذَلِكَ يُضَاعِفُ أَلَمَهُ»

Tidak pantas mencemooh penderita epilepsi atau menuduhnya gila, sebab hal itu hanya menambah deritanya.

Pesan ini terasa sangat manusiawi. Al-Rāzī mengingatkan bahwa pasien berhak atas penghormatan, bukan stigma. Sesuatu yang bahkan di era modern masih kita perjuangkan.

Hadis Nabi tentang Hak Tubuh

Nabi Muhammad ﷺ juga mengajarkan pentingnya memperhatikan kesehatan tubuh dan jiwa. Beliau bersabda:

«إِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا»

Sesungguhnya tubuhmu memiliki hak atas dirimu. (HR. Bukhārī)

Hadis ini menguatkan pandangan al-Rāzī bahwa penyakit tidak boleh dipandang remeh. Baik epilepsi maupun gangguan mental, keduanya adalah bagian dari ujian manusia yang perlu ditangani dengan ilmu dan kasih sayang.

Refleksi bagi Dunia Modern

Hari ini, ilmu kedokteran sudah membuktikan kebenaran sebagian pandangan al-Rāzī. Epilepsi jelas masuk ranah neurologi, sementara gangguan mental ditangani dalam psikiatri. Namun, stigma masih terus menghantui. Banyak keluarga yang malu mengakui ada anggota yang epilepsi atau depresi, padahal pengobatan tersedia.

Pemikiran al-Rāzī mengingatkan kita untuk berani membuka mata: jangan mencampuradukkan, jangan pula merendahkan. Ilmu pengetahuan dan empati adalah dua sayap yang harus berjalan bersama.

Ia menulis dengan penuh optimisme:

«إِذَا أُحْسِنَ التَّدْبِيرُ وَالْمُعَالَجَةُ، فَإِنَّ كَثِيرًا مِنْ أَهْلِ الصَّرْعِ يَنْجُونَ وَيَعِيشُونَ حَيَاةً طَبِيعِيَّةً»

Jika pengaturan dan pengobatan dilakukan dengan baik, banyak penderita epilepsi dapat selamat dan hidup normal.

Kalimat ini sangat modern: epilepsi bukan akhir dunia, dan gangguan mental bukan kehancuran abadi. Ada jalan untuk pulih, selama ada ilmu, sabar, dan dukungan.

Penutup

Kitāb al-Ḥāwī karya al-Rāzī adalah bukti bahwa tradisi kedokteran Islam sudah sejak awal menaruh perhatian serius pada pemisahan gejala medis. Dengan membedakan epilepsi dari gangguan jiwa, ia tidak hanya memberi kontribusi ilmiah, tetapi juga warisan etika: menghormati pasien.

Di era modern, pesan itu tetap hidup. Bahwa ilmu harus berpadu dengan kasih, dan setiap manusia berhak hidup bermartabat, meskipun dengan kondisi yang berbeda.

 

*Sugianto Al-Jawi 

Bidayawan Kontenporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement