Surau.co. Setiap manusia pasti pernah bertanya dalam hati: Apa yang membuat hidup benar-benar bermakna? Ada yang mengejarnya lewat harta, ada yang mencarinya lewat kedudukan, dan ada pula yang menemukannya melalui ilmu. Bagi Al-Fārābī, filsuf Muslim yang dijuluki “Guru Kedua” setelah Aristoteles, kebahagiaan sejati hanya mungkin tercapai melalui proses aktualisasi akal. Pandangan ini ia uraikan dalam Risāla fī al-Nafs, kitab yang membahas hakikat jiwa, akal, dan keterkaitannya dengan tujuan akhir manusia.
Sejak halaman pertama, Al-Fārābī menegaskan bahwa akal bukan hanya alat berpikir logis, melainkan jalan menuju kesempurnaan jiwa. Proses aktualisasi akal menuntun manusia bergerak dari potensi menuju realitas intelektual, dari sekadar kemampuan berpikir menuju pengetahuan yang menyelamatkan.
Akal sebagai Potensi yang Menunggu Dibuka
Al-Fārābī menggambarkan akal manusia seperti lahan subur yang belum ditanami. Potensi itu ada, tetapi ia menuntut bimbingan, pengalaman, dan latihan agar bisa menghasilkan buah.
Dalam Risāla fī al-Nafs, ia menulis:
“العقل بالقوة كالبذر، يحتاج إلى فعل حتى يصير عقلاً بالفعل.”
“Akal dalam potensinya seperti benih, ia memerlukan tindakan agar menjadi akal dalam kenyataan.”
Pesan ini terasa sangat relevan. Kecerdasan bawaan tidak akan tumbuh tanpa usaha belajar. Seperti benih yang dibiarkan kering tanpa air, potensi itu bisa mati sebelum berkembang menjadi pohon pengetahuan.
Al-Qur’an pun menegaskan bahwa akal diberikan bukan untuk disia-siakan, melainkan untuk merenungi tanda-tanda kebesaran Allah:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لِأُولِي الألْبَابِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, serta pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imran: 190)
Proses Berjenjang Menuju Akal Aktif
Menurut Al-Fārābī, akal berkembang secara bertahap. Ia berawal dari akal potensial yang hanya memiliki kemungkinan, lalu naik menjadi akal aktual yang benar-benar mengetahui, hingga mencapai akal mustafād—yakni akal yang tercerahkan oleh kebenaran universal.
Ia menulis:
“إذا اتصل العقل بالقوة بالعقل الفعال، انتقل إلى الفعل وصار عالماً بالمعقولات.”
“Ketika akal potensial bersambung dengan akal aktif, ia beralih menjadi aktual dan mengetahui hal-hal yang dapat dipahami.”
Sebagai analogi modern, bayangkan seorang anak yang belajar membaca. Pada mulanya ia hanya memiliki potensi (akal potensial). Setelah mengenal huruf dan kata melalui pengajaran, ia mulai bisa membaca sendiri (akal aktual). Dengan latihan berulang, ia akhirnya mampu memahami makna terdalam dari sebuah teks (akal mustafād).
Imajinasi, Indra, dan Jalan Menuju Akal
Proses aktualisasi tidak berlangsung seketika. Menurut Al-Fārābī, indra, ingatan, dan imajinasi berperan sebagai jembatan sebelum manusia mencapai pemahaman rasional.
Ia menulis:
“الحواس تزود العقل بالصور، والخيال يصوغها، ثم يأتي العقل ليحكم فيها.”
“Indra membekali akal dengan bentuk-bentuk, imajinasi menyusunnya, lalu akal memberi penilaian padanya.”
Contoh paling sederhana dapat kita lihat pada seorang pelukis. Ia menggunakan mata untuk melihat, imajinasi untuk mengolah bentuk, lalu akal untuk menilai harmoni. Begitu juga seorang ilmuwan: pengamatan menjadi bahan mentah, imajinasi merancang hipotesis, dan akal mengujinya hingga melahirkan teori.
Aktualisasi Akal dan Kebahagiaan Intelektual
Mengapa Al-Fārābī menekankan pentingnya aktualisasi akal? Karena kebahagiaan sejati, menurutnya, tidak terletak pada kenikmatan jasmani, melainkan pada kesempurnaan jiwa yang menyatu dengan kebenaran.
Ia menegaskan:
“السعادة ليست في اللذات الحسية، بل في اتحاد العقل بالمعقولات.”
“Kebahagiaan bukanlah pada kenikmatan indrawi, melainkan dalam bersatunya akal dengan hal-hal yang dapat dipahami.”
Dengan demikian, seorang kaya raya tetapi tanpa perkembangan akal bisa merasa kosong. Sebaliknya, seorang pencari ilmu yang terus mengasah akalnya bisa hidup tenang meski sederhana.
Rasulullah ﷺ pun bersabda:
«من يرد الله به خيراً يفقهه في الدين»
“Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, maka Dia akan memahamkannya dalam agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini sejalan dengan gagasan Al-Fārābī: pemahaman mendalam adalah jalan menuju kebahagiaan hakiki.
Relevansi Aktualisasi Akal di Era Modern
Di tengah banjir informasi, manusia tidak otomatis menjadi bijak. Tanpa proses aktualisasi, data hanya menumpuk tanpa arah. Karena itu, Al-Fārābī mengajarkan agar akal digunakan sebagai kompas.
Dalam praktik sehari-hari, aktualisasi akal mendorong kita untuk:
-
Memilah informasi dengan sikap kritis.
-
Menggunakan imajinasi secara kreatif, bukan sekadar hiburan.
-
Menghubungkan pengalaman lama dengan pengetahuan baru.
-
Menjadikan akal sebagai penuntun, bukan sekadar budak hawa nafsu.
Jika prinsip ini dihidupkan, kebahagiaan intelektual tidak lagi abstrak. Ia hadir nyata dalam bentuk hidup yang terarah, tenang, dan penuh makna.
Refleksi: Menyirami Benih Akal dalam Diri
Setiap manusia membawa benih akal sejak lahir. Benih itu bisa layu bila dibiarkan, tetapi juga bisa tumbuh subur bila disiram dengan ilmu, refleksi, dan pengalaman. Aktualisasi akal karena itu bukan perjalanan singkat, melainkan laku seumur hidup—jalan yang menuntut kesabaran, disiplin, dan kerendahan hati untuk terus belajar.
Dengan meneladani Al-Fārābī, kita diajak untuk tidak berhenti pada kenikmatan sesaat. Sebaliknya, kita didorong untuk mendaki menuju kebahagiaan intelektual: hidup yang penuh pemahaman, pencerahan, dan kedekatan dengan kebenaran.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
