Khazanah
Beranda » Berita » Junun Menurut al-Rāzī: Catatan Awal tentang “Gila” dalam Tradisi Kedokteran Islam

Junun Menurut al-Rāzī: Catatan Awal tentang “Gila” dalam Tradisi Kedokteran Islam

Al-Rāzī merawat pasien gangguan mental dengan pendekatan medis dan empati.
Ilustrasi realis menggambarkan interaksi penuh empati antara al-Rāzī dan seorang pasien dengan gangguan mental, dalam nuansa ruang ilmiah klasik.

Gangguan mental atau yang dikenal dengan istilah junūn dalam tradisi Islam, bukanlah sesuatu yang asing dalam sejarah pemikiran kedokteran. Salah satu tokoh besar yang menyinggung hal ini secara serius adalah Abū Bakr Muhammad ibn Zakariyyā al-Rāzī, atau yang dikenal di Barat sebagai Rhazes. Dalam karya monumentalnya, Kitāb al-Ḥāwī fī al-Ṭibb (Kompendium Kedokteran), ia membahas persoalan gangguan jiwa dengan kedalaman yang melampaui zamannya.

Menariknya, al-Rāzī tidak hanya melihat “kegilaan” sebagai fenomena supranatural, tetapi juga sebagai kondisi medis yang bisa ditelusuri, dipahami, dan diobati. Pemikirannya ini menjadikan Kitāb al-Ḥāwī sebagai jembatan antara pendekatan filosofis, medis, dan spiritual.

Dari Kehidupan Sehari-hari ke Dunia Medis

Kita mungkin sering melihat di sekitar kita, orang yang bicara sendiri di jalanan, atau tetangga yang tiba-tiba marah tanpa sebab. Fenomena ini, di masa lalu, sering dikaitkan dengan gangguan makhluk halus. Namun, al-Rāzī sudah berusaha memandangnya dengan cara lain: ada sebab-sebab medis yang melatarbelakangi.

Dalam Kitāb al-Ḥāwī, ia menulis:

«إِذَا اخْتَلَّ مِزَاجُ الدِّمَاغِ بِسَبَبٍ مَا، حَدَثَ الْجُنُونُ وَالِاضْطِرَابُ فِي الْفِكْرِ»

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Apabila keseimbangan otak terganggu karena suatu sebab, maka timbullah kegilaan dan kekacauan dalam pikiran.

Kalimat ini terasa relevan dengan diskursus medis modern. Ia memahami bahwa gangguan jiwa berhubungan erat dengan otak dan bukan sekadar fenomena gaib.

Al-Qur’an, Jiwa, dan Ketenangan

Islam juga memberikan dasar spiritual tentang pentingnya kesehatan jiwa. Allah berfirman:

﴿أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ﴾

Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram. (QS. ar-Ra‘d: 28)

Meredam Polarisasi Bangsa Melalui Esensi Bab “Mendamaikan Manusia”

Ayat ini menunjukkan bahwa aspek ruhani memiliki pengaruh besar pada kesehatan batin. Al-Rāzī seakan menyatukan dua dimensi ini: medis dan spiritual. Ia mengakui pentingnya makanan, tidur, dan keseimbangan tubuh, tetapi juga tidak menafikan peran ibadah, doa, dan ketenangan hati.

Bab-Bab tentang Gangguan Mental dalam Kitāb al-Ḥāwī

Dalam pembahasan tentang junūn, al-Rāzī menuliskan berbagai bentuk gangguan mental, antara lain:

Junūn Syarī‘ (kegilaan akut yang datang mendadak).

Junūn Muṭbaq (kegilaan kronis atau permanen).

Waswās (bisikan pikiran yang tak terkendali, mirip dengan obsesi).

Mengapa Allah Menolak Taubat Iblis?

Sawdā’iyyah (melankolia akibat dominasi cairan empedu hitam).

Ia menulis:

«وَقَدْ يَكُونُ الْجُنُونُ مُؤَقَّتًا إِذَا زَالَ سَبَبُهُ، كَمَا يَكُونُ دَائِمًا مَعَ بَقَاءِ الْعِلَّةِ فِي الدِّمَاغِ»

Kegilaan kadang bersifat sementara bila penyebabnya hilang, dan bisa bersifat menetap selama penyakit di otak masih ada.

Dengan demikian, al-Rāzī sudah memiliki pemahaman awal yang mirip dengan psikiatri modern tentang adanya gangguan sementara dan permanen.

Obat, Perawatan, dan Sentuhan Kemanusiaan

Al-Rāzī juga menekankan pentingnya perawatan penuh kasih sayang. Ia menulis:

«عَلَى الطَّبِيبِ أَنْ يُرَاعِيَ الْمَرِيضَ فِي كَلَامِهِ وَيُسَكِّنَ نَفْسَهُ بِاللُّطْفِ وَالْمُدَارَاةِ»

Seorang tabib harus memperhatikan ucapan pasiennya, menenangkan jiwanya dengan kelembutan dan sikap penuh pengertian.

Kalimat ini mengajarkan kepada kita bahwa kesehatan mental tidak hanya butuh obat, tapi juga butuh empati. Sesuatu yang bahkan di era modern seringkali terabaikan.

Al-Rāzī menganjurkan penggunaan obat herbal, pengaturan pola makan, dan terapi musik untuk meredakan kecemasan. Pandangannya terasa progresif untuk ukuran abad ke-9 M.

Refleksi Kehidupan Modern

Di era sekarang, banyak orang menghadapi tekanan mental akibat pekerjaan, masalah ekonomi, hingga media sosial. Kegelisahan, insomnia, hingga depresi menjadi fenomena sehari-hari. Pemikiran al-Rāzī bisa memberi inspirasi: memahami gangguan mental tidak cukup dengan label “stres” atau “lemah iman”, tetapi butuh pendekatan medis, sosial, dan spiritual.

Nabi Muhammad ﷺ juga menegaskan pentingnya menjaga kesehatan tubuh dan jiwa:

«إِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا»

Sesungguhnya tubuhmu memiliki hak atas dirimu. (HR. Bukhārī)

Hadis ini mengingatkan bahwa kesehatan mental adalah bagian dari hak tubuh yang harus dijaga.

Penutup: Warisan Al-Rāzī untuk Zaman Kini

Warisan al-Rāzī dalam Kitāb al-Ḥāwī menunjukkan bahwa perbincangan tentang gangguan mental dalam tradisi Islam sudah berlangsung sejak berabad-abad lalu. Dari penggolongan jenis junūn, pemahaman medis otak, hingga terapi penuh kasih sayang, ia membuka jalan bagi lahirnya psikiatri Islam.

Sebagaimana ia menulis:

«إِذَا عُولِجَ الْمَرِيضُ بِالصَّبْرِ وَالتَّأَنِّي، رُجِيَ لَهُ الشِّفَاءُ وَإِنْ طَالَ زَمَانُهُ»

Jika pasien ditangani dengan kesabaran dan ketenangan, maka diharapkan kesembuhan meski memakan waktu lama.

Pesan ini, sederhana tapi mendalam, masih relevan hingga kini. Bahwa manusia bukan hanya tubuh, tetapi juga jiwa yang harus dirawat dengan sabar, kasih, dan ilmu.

 

*Sugianto Al-Jawi

Budayawan Kontenporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement