Surau.co. Setiap orang pernah merasakan kebingungan dalam hidup: ada kalanya hati terasa hampa, pikiran kalut, dan tubuh seakan tak mau bekerja sama. Fenomena ini membuat kita sadar bahwa manusia bukan hanya sekadar tubuh. Ada sesuatu yang lebih dalam, yaitu jiwa.
Ketika membicarakan psikologi modern, banyak orang lupa bahwa dalam tradisi Islam, pembahasan tentang jiwa sudah hadir sejak berabad-abad lalu. Salah satu tokoh yang membahasnya adalah Al-Fārābī melalui kitabnya Risāla fī al-Nafs (Risalah tentang Jiwa). Karya ini menjadi tonggak penting dalam memahami dasar-dasar psikologi Islam klasik.
Di paragraf awal ini, kita langsung menekankan frasa kunci “Memahami Jiwa Menurut Al-Fārābī”, karena inti gagasan artikel ini adalah melihat bagaimana Al-Fārābī menjelaskan jiwa sebagai fondasi kesehatan batin dan akal.
Pandangan Al-Fārābī tentang Hakikat Jiwa
Dalam Risāla fī al-Nafs, Al-Fārābī menulis:
«النفس هي مبدأ الحياة في الإنسان، بها يدرك ويميز ويتحرك»
“Jiwa adalah prinsip kehidupan pada manusia; dengannya ia dapat memahami, membedakan, dan bergerak.”
Definisi ini sederhana namun mendalam. Jiwa bukan sekadar “nyawa”, melainkan pusat aktivitas intelektual dan moral manusia. Jiwa membuat kita bisa merasakan sedih, gembira, rindu, atau bahkan gelisah. Ia juga menjadi dasar dari pengetahuan dan kebijaksanaan.
Dengan kata lain, memahami jiwa menurut Al-Fārābī berarti kita mencoba mengerti bagaimana manusia bertindak, berpikir, dan mencari makna hidup.
Jiwa yang Mencari Kesempurnaan
Al-Fārābī menekankan bahwa jiwa manusia selalu bergerak menuju kesempurnaan. Ia menulis:
«النفس بطبيعتها تسعى نحو الكمال، فإن عاقها عائق مرضت وضعفت»
“Jiwa secara alami berusaha menuju kesempurnaan; apabila terhalang, ia akan sakit dan melemah.”
Fenomena ini terasa dekat dengan kehidupan sehari-hari. Misalnya seorang siswa yang punya cita-cita besar, tetapi tekanan sosial membuatnya kehilangan semangat. Atau seorang pekerja yang ingin maju, namun beban hidup membuat jiwanya rapuh.
Dalam konteks ini, Al-Fārābī seakan mengingatkan kita bahwa merawat jiwa sama pentingnya dengan merawat tubuh. Jika jiwa terhalang oleh kesedihan, kecemasan, atau keputusasaan, ia bisa jatuh sakit. Maka, memahami jiwa menurut Al-Fārābī berarti mengakui bahwa manusia butuh ruang untuk tumbuh dan mendekati kesempurnaan.
Keseimbangan Jiwa dan Tubuh
Salah satu poin penting dalam Risāla fī al-Nafs adalah keterhubungan jiwa dan tubuh. Al-Fārābī menulis:
«اعتدال قوى النفس شرط لصحة الإنسان، كما أن اعتدال البدن شرط للعافية»
“Keseimbangan kekuatan jiwa adalah syarat kesehatan manusia, sebagaimana keseimbangan tubuh adalah syarat kebugaran.”
Pernyataan ini terasa sangat relevan di era modern. Banyak orang yang menjaga pola makan dan olahraga, namun melupakan kesehatan batinnya. Hasilnya, tubuh sehat tetapi hati resah. Sebaliknya, ketika jiwa tenteram, tubuh pun lebih mudah pulih dari sakit.
Al-Qur’an sendiri menegaskan pentingnya ketenangan batin sebagai rahmat Allah:
﴿أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ﴾ (الرعد: 28)
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra‘d: 28)
Ayat ini menggarisbawahi hubungan erat antara kesehatan spiritual dengan kondisi jiwa.
Jiwa, Ilmu, dan Kebahagiaan Sejati
Bagi Al-Fārābī, puncak kesempurnaan jiwa terletak pada ilmu dan kebijaksanaan. Ia menulis:
«من غذى النفس بالعلم والحكمة، فقد قواها ووجهها نحو السعادة»
“Barang siapa memberi makan jiwa dengan ilmu dan hikmah, maka ia telah menguatkannya dan menuntunnya menuju kebahagiaan.”
Pernyataan ini menekankan bahwa kebahagiaan sejati bukan berasal dari materi semata, melainkan dari kecukupan intelektual dan spiritual. Fenomena sehari-hari juga mendukung hal ini. Berapa banyak orang kaya yang hidupnya gelisah, sementara ada orang sederhana yang damai karena hatinya penuh ilmu dan hikmah.
Hadis Nabi Muhammad ﷺ juga mendukung hal ini:
«خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ»
“Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. al-Bukhārī)
Ilmu bukan sekadar informasi, tetapi cahaya yang menghidupkan jiwa.
Relevansi bagi Kehidupan Modern
Jika kita refleksikan, pemikiran Al-Fārābī tentang jiwa masih sangat relevan hari ini. Banyak masalah kesehatan mental di era modern yang pada dasarnya berkaitan dengan hilangnya keseimbangan jiwa: stres, depresi, kecemasan, atau bahkan alienasi sosial.
Memahami jiwa menurut Al-Fārābī berarti kembali pada prinsip-prinsip keseimbangan: merawat tubuh, menenangkan hati dengan zikir, serta memberi nutrisi pada jiwa lewat ilmu.
Dengan begitu, kita tidak hanya menjadi sehat secara lahir, tetapi juga kokoh secara batin.
Refleksi Penutup
Al-Fārābī melalui Risāla fī al-Nafs seakan memberi peta jalan bagi manusia: jiwa adalah pusat kehidupan, ia butuh keseimbangan, ia mencari kesempurnaan, dan puncaknya adalah ilmu yang membawa pada kebahagiaan.
Jika kita mampu merawat jiwa dengan hormat dan kasih sayang, maka manusia akan lebih kuat menghadapi cobaan hidup. Di sinilah dasar psikologi Islam klasik menunjukkan relevansinya hingga kini.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
