SURAU.CO-Zaid ibn Haritsah ibn Syurahil adalah sahabat sekaligus sahaya Rasulullah yang kemudian dimerdekakan. Rasulullah sangat menyayanginya karena Zaid sejak kecil telah hidup bersama beliau. Ayahnya bernama Haritsah ibn Syurahil ibn Ka‘b dan ibunya bernama Su’da bint Tsa‘labah yang berasal dari daerah Thayy.
Zaid hidup di tengah keluarga Nabi saw. dan berada di bawah tanggungan beliau. Ketika mulai beranjak dewasa, tentu saja Zaid mulai berpikir tentang pernikahan. Namun, siapakah wanita beruntung yang akan menjadi pendampingnya? Rasulullah telah memilihkan untuknya seorang wanita keturunan Abdi Syam bernama Zainab binti Jahsy, yang tak lain merupakan putri bibi beliau, yaitu Umaymah binti Abdul Muthalib. Tetapi, apakah Zainab binti Jahsy mau dinikahi oleh Zaid?
Rasulullah menikahkan Zaid ibn Haritsah dengan Zainab
Timbul pergolakan dalam pikiran Zainab, bahkan sesungguhnya ia enggan menikah dengan Zaid. Ia menolak Zaid karena agama Islam baru tumbuh dan berkembang. Adat, sikap, dan perilaku Zainab masih banyak terpengaruhi masa lalu dan budaya kaumnya. Ia merasa dirinya sebagai putri bangsawan dari suku Quraisy yang terhormat, sedangkan Zaid hanyalah seorang mantan budak Bagaimana mungkin ia menerima lamaran dari seseorang yang lebih rendah posisi sosialnya?
Bagaimana bisa seorang sayidah menerima seorang bekas budak? Selain itu, pengetahuannya tentang ajaran Islam juga masih sedikit. Ia tidak tahu bahwa Islam datang untuk menghilangkan perbedaan di antara manusia. Islam mengajarkan, tak ada perbedaan antara Arab dan non-Arab, antara manusia yang berkulit putih atau pun yang berkulit hitam. Hanya ketakwaan yang membedakan mereka. Allah Swt. berfirman:
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.”
Mendapat penolakan dari Zainab
Rasulullah menyampaikan maksudnya kepada Zainab. Beliau bersabda, “Aku telah meridainya untukmu.” Namun, Zainab menolak dan berkata, “Tetapi aku tidak rida dinikahinya.” Rasulullah sama sekali tidak marah meskipun lamarannya untuk Zaid mendapat penolakan dari Zainab. Beliau tetap menanggapinya dengan bijak.
Sejatinya, setiap Muslim wajib menaati perintah Rasulullah saw., karena beliau adalah utusan Allah. Apa pun yang Rasulullah saw. perintahkan sesungguhnya merupakan perintah Allah, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Barang siapa yang menaati Rasul maka sungguh ia telah menaati Allah.”
Tidak lama setelah Zainab menolak lamaran Rasulullah saw. untuk Zaid, turun malaikat Jibril menyampaikan wahyu berkaitan dengan masalah ini. Allah berfirman: “Dan tidaklah bagi seorang mukmin laki-laki dan tidak (juga) mukmin perempuan jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara, mereka memilih urusan mereka sendiri. Dan, barang siapa bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya ia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.”
Turunnya ayat untuk Zainab
Ayat di atas mengandung dua ketetapan mendasar. Pertama, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara maka tidak boleh ada tawar menawar dan harus segera dilaksanakan. Kedua, tidak mematuhi perintah Allah dan Rasul termasuk tindak kesesatan yang nyata dan siapa pun pasti tak mau berdosa kepada Allah dan Rasul-Nya.
Ketika mendengar firman Allah itu dibacakan, Zainab paham bahwa ayat itu tertuju kepada dirinya. Maka, tak ada jalan lain baginya selain menaati segala perintah Allah dan Rasulullah. Zainab menyatakan kesediaannya menikah dengan Zaid.
Pertimbangan Rasulullah
Rasulullah sendiri memiliki pertimbangan tersendiri ketika memilihkan Zainab untuk Zaid. Beliau telah mengenal pribadi Zaid sejak masih anak-anak sehingga beliau mengetahui dengan jelas sifat dan kepribadiannya. Zaid memiliki sifat-sifat istimewa yang belum tentu dimiliki orang lain, seperti berbudi luhur, lembut dalam perbuatan dan perkataan, cerdas, dan penuh hikmah.
Di atas semua itu, Zaid merupakan kesayangan Rasulullah saw. sehingga kemuliaannya tentu tak akan bisa dibandingkan lelaki lain. Akhirnya, pernikahan keduanya dapat terlaksana.
Timbulnya masalah
Zaid mengira bahwa ia akan merasakan kebahagiaan setelah menikahi Zainab karena wanita itu dikenal lembut dan penuh cinta. Namun, kenyataan berbeda dengan harapannya. Ternyata Zainab setengah hati menerima Zaid sebagai suami. Ia tak memenuhi kewajibannya sebagai istri. Ia memiliki karakter yang keras sehingga kecintaan dan kelembutan Zaid sama sekali tak bisa menembus dinding hati Zainab. Maka, Zaid mengadukan keadaan rumah tangganya kepada Nabi saw. Ia ceritakan semua perlakuan Zainab kepadanya. Ia sampaikan pula bahwa Zainab tidak pernah menerima Zaid sebagai Muslim merdeka yang setara dengan Muslim lainnya. Ia tak pernah melupakan asal-usul Zaid sebagai budak yang Rasulullah merdekakan. Namun, Rasulullah meminta Zaid bersabar, dan ia pun menerima nasihat Nabi saw. meski terasa berat.
Zaid pulang ke rumah disertai rasa cemas. Ia khawatir, Zainab akan semakin membencinya karena mengadukan rumah tangganya kepada Nabi saw. Ternyata, setelah beberapa lama, sikap dan perilaku Zainab tak berubah. Maka, Zaid kembali menghadap kepada Rasulullah. Beliau bertanya, “Adakah sesuatu yang meragukanmu tentang dirinya?” Zaid menjawab jujur, “Tidak, wahai Rasulullah. Demi Allah, tidak ada keraguan sedikit pun terhadap dirinya, dan tak ada yang aku lihat selain kebaikan. Zainab merasa lebih tinggi dariku karena memang ia pantas merasa demikian.”
Berpisah dengan Zainab
Rasulullah saw. kembali menyuruh Zaid pulang ke rumahnya dan bersabar. Zaid mengikuti perintah beliau dan bergegas pulang ke rumahnya. Ia tetap bersabar meskipun istrinya tetap memperlakukannya secara tidak baik. Ia terus berusaha membujuk dan melembutkan hati Zainab. Sedikit pun tak terlintas dalam benaknya niat melanggar perintah Rasulullah meskipun upayanya untuk melembutkan hati istrinya tak pernah membuahkan hasil.
Selang beberapa saat, ia kembali menemui Rasulullah meminta persetujuan beliau untuk bercerai, karena apa yang ia alami sangat memungkinkannya mengambil jalan yang halal tetapi dibenci oleh Allah itu. Rasulullah memahami situasi dan kesulitan yang Zaid alami. Beliau memahami keadaan batin Zaid yang tersiksa akibat perlakuan istrinya. Akhirnya, beliau mengizinkan Zaid bercerai.
Zainab binti Jahsy sendiri adalah seorang mukminah yang taat beribadah, tetapi sering mengeluh. Hari-harinya selalu penuh dengan amal ibadah. Dan ia tekun menjalankan sunnah Rasulullah saw., termasuk shalat, puasa, juga membaca Al-Qur’an. Hanya saja, ia tidak mampu menyembunyikan rasa tidak sukanya kepada Zaid. Namun, kebaikan dan kemuliaan tidak mau beranjak dari kehidupan Zainab. Meskipun telah bercerai dari seorang laki-laki mulia, Zainab mendapatkan kemuliaan yang lebih besar.
Zaid ibn Haritsah melamarkan Zainab untuk Rasulullah
Ketika masa iddah-nya lewat, Rasulullah mengurus seseorang untuk melamarnya. Dan, sungguh mengesankan, Nabi saw. mengutus Zaid ibn Haritsah—orang kesayangan beliau dan mantan suami Zainab—melamarkan Zainab untuk beliau. Tentu saja Zainab merasa bahagia mendapat kehormatan tersebut. Ia bangga dan senang menjadi salah seorang istri Rasulullah saw. Saking bangganya, Zainab berujar kepada istri-istri beliau yang lain,
“Kalian dinikahkan oleh keluarga kalian, sedangkan aku dinikahkan oleh Allah dari atas tujuh lapis langit.”
Setelah bercerai dari Zainab, Zaid menikahi Ummu Kultsum binti Uqbah ibn Abu Mu’ith. Namun, perkawinan ini pun tidak berlangsung lama. Zaid bercerai lagi. Setelah itu, ia menikahi Ummu Ayman. Dari pernikahan ini ia mendapat seorang putra, yaitu Usamah ibn Zaid.
Memimpin pasukan dalam beberapa peperangan
Zaid termasuk sahabat yang mahir berkuda. Ia juga terkenal sebagai pemberani. Jika Rasulullah berperang, beliau selalu mengangkat Zaid sebagai pemimpin salah satu pasukan. Siti Aisyah pernah berkata,
“Tidaklah Rasulullah mengutus Zaid ibn Haritsah dalam satu peperangan kecil (sariyah) kecuali beliau mengangkatnya sebagai pemimpin pasukan. Seandainya beliau masih ada, pasti beliau akan meminta Zaid menggantikannya setelah beliau wafat.”
Zaid pernah memimpin pasukan dalam beberapa perang kecil (sariyah), yakni Perang al-Hajum, Perang al-Tharf, Perang al-‘Ish, dan Perang Husma. Rasulullah juga pernah menyiapkan satu pasukan berjumlah 3.000 tentara untuk menghadapi pasukan Romawi dalam Perang Muktah. Saat hendak melepas pasukan beliau bersabda, “Kalian harus menaati Zaid ibn Haritsah, jika terjadi sesuatu pada Zaid maka taatilah Ja‘far ibn Abi Thalib, jika terjadi sesuatu pada Ja‘far maka taatilah Abdullah ibn Rawahah.”
Mendengar ucapan Rasulullah, Ja‘far bertanya, “Wahai Rasulullah, kau lebih mengutamakan Zaid atas aku?” Beliau menjawab, “Berangkatlah, engkau tidak tahu mana yang terbaik.” Maka, berangkatlah pasukan tersebut dengan tiga orang pimpinan dan ketiganya gugur sebagai syahid dalam perang itu.(St.Diyar)
Referensi:Muhammad Raji Hasan Kinas, Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi, 2012
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
