Surau.co. Hayy ibn Yaqẓān adalah sebuah kisah klasik dari Ibn Ṭufayl yang tetap terasa segar hingga kini. Dalam cerita itu, seorang anak tumbuh sendirian di pulau terpencil tanpa guru, tanpa kitab, tanpa sekolah formal. Namun lewat perenungan dan pengamatan, ia mampu menemukan pengetahuan tentang alam, jiwa, bahkan Tuhan. Fenomena ini memberi kita inspirasi tentang belajar mandiri atau autodidak, sesuatu yang sangat relevan di era modern ketika akses pengetahuan terbuka begitu luas melalui teknologi digital.
Sejak paragraf pertama ini kita sudah melihat pentingnya menekankan bahwa Hayy ibn Yaqẓān adalah inspirasi belajar mandiri. Kita hidup di zaman di mana setiap orang bisa mengakses ribuan buku, video, atau kursus daring hanya dengan ponsel. Tetapi apakah semua orang memiliki daya tahan dan ketekunan seperti Hayy? Kisah Ibn Ṭufayl memberi gambaran mendalam tentang proses pendidikan diri, sekaligus keterbatasannya.
Belajar dari Keingintahuan Seorang Anak Pulau
Kita bisa membayangkan seorang anak kecil yang penuh rasa ingin tahu. Hayy tidak diam saja ketika melihat burung, hewan, atau gejala alam. Ia membedah tubuh seekor rusa yang mati untuk memahami rahasia kehidupan. Dari situ, ia mulai menyadari adanya jiwa yang membuat makhluk hidup bergerak. Ibn Ṭufayl menuliskan:
«فَتَأَمَّلَ فِي أَعْضَائِهَا وَوَجَدَ أَنَّ الْحَيَاةَ كَانَتْ تَتَوَقَّفُ عَلَى شَيْءٍ لَا يُرَى بِالْعَيْنِ»
“Ia merenungi anggota tubuh rusa itu dan mendapati bahwa kehidupan bergantung pada sesuatu yang tak terlihat oleh mata.”
Kutipan ini memberi pelajaran bahwa belajar mandiri dimulai dari rasa ingin tahu. Sama seperti anak-anak yang sering bertanya tanpa henti, Hayy menunjukkan bahwa pengetahuan lahir dari keberanian untuk mempertanyakan dan meneliti.
Akal dan Renungan sebagai Guru
Berada sendirian di pulau tidak membuat Hayy terhenti. Ia menjadikan akalnya sebagai guru, dan pengalamannya sebagai bahan pelajaran. Ia memandang bintang, mengamati siklus musim, hingga menyadari keteraturan kosmos. Dari keteraturan itu, ia menyimpulkan adanya Zat yang mengatur segala sesuatu. Ibn Ṭufayl menggambarkan:
«فَرَأَى أَنَّ الْكَوْنَ كُلَّهُ مُنْظَمٌ عَلَى نِظَامٍ دَقِيقٍ، وَأَنَّ وَرَاءَهُ مُدَبِّرًا حَكِيمًا»
“Ia melihat bahwa seluruh alam tersusun dalam keteraturan yang teliti, dan di baliknya pasti ada Pengatur yang Maha Bijaksana.”
Renungan Hayy mengingatkan kita pada firman Allah dalam Al-Qur’an:
﴿إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ﴾ (آل عمران: 190)
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.”
Akal, bila digunakan dengan sungguh-sungguh, dapat menjadi jembatan untuk memahami kebenaran.
Pentingnya Konsistensi dalam Belajar Mandiri
Belajar mandiri tidak cukup dengan semangat sesaat. Hayy menunjukkan teladan konsistensi. Tahun demi tahun ia terus mengamati, merenung, dan memperbaiki pemahamannya. Ibn Ṭufayl menulis:
«وَدَامَ عَلَى التَّفَكُّرِ سِنِينَ طَوِيلَةً، حَتَّى انْكَشَفَ لَهُ مَا لَمْ يَكُنْ يَخْطُرُ بِبَالِهِ»
“Ia terus-menerus merenung selama bertahun-tahun, hingga tersingkap baginya sesuatu yang sebelumnya tak pernah terlintas dalam benaknya.”
Ketekunan inilah yang membedakan antara belajar sekadar mengumpulkan informasi dan belajar yang menghasilkan kebijaksanaan. Di zaman modern, kita sering cepat berpindah dari satu informasi ke informasi lain tanpa pendalaman. Hayy mengajarkan bahwa belajar mandiri sejati membutuhkan fokus dan kesabaran panjang.
Keterbatasan Belajar Mandiri Tanpa Komunitas
Meski Hayy berhasil menemukan banyak kebenaran, Ibn Ṭufayl tidak menutup mata pada keterbatasannya. Ketika Hayy akhirnya bertemu dengan manusia lain, ia menyadari bahwa tidak semua orang mampu menempuh jalan filsafat dan renungan. Karena itu, agama dengan wahyu dan simbol-simbolnya tetap diperlukan agar masyarakat luas mendapat petunjuk. Ibn Ṭufayl menuliskan:
«وَعَلِمَ أَنَّ الْعَامَّةَ لَا يَسْتَطِيعُونَ مَا اسْتَطَاعَ، وَأَنَّ الشَّرِيعَةَ أَقْرَبُ لَهُمْ إِلَى الْحَقِّ»
“Ia memahami bahwa orang kebanyakan tidak mampu menempuh apa yang ia tempuh, dan bahwa syariat lebih dekat bagi mereka menuju kebenaran.”
Pelajaran ini penting di era sekarang. Belajar mandiri memang membuka peluang besar, tetapi komunitas, guru, dan tradisi tetap diperlukan untuk menjaga arah agar tidak tersesat.
Inspirasi Hayy untuk Generasi Digital
Di era modern, kita punya kelebihan dibanding Hayy. Kita tidak hidup di pulau terpencil, melainkan di tengah lautan informasi. Namun, justru di tengah derasnya informasi, kita bisa kehilangan arah. Belajar mandiri ala Hayy memberi inspirasi agar kita tidak hanya menjadi konsumen informasi, tetapi juga peneliti, perenung, dan pencari makna.
Kisah ini juga mendorong kita untuk memanfaatkan teknologi bukan sekadar hiburan, tetapi sebagai sarana mengasah akal dan memperkaya jiwa. Jika Hayy bisa menemukan Tuhan hanya dengan mengamati alam, mengapa kita yang memiliki begitu banyak sumber belajar justru malas untuk berpikir mendalam?
Penutup: Menyatukan Akal, Wahyu, dan Komunitas
Hayy ibn Yaqẓān adalah simbol perjalanan manusia dalam belajar mandiri. Ia menunjukkan bahwa akal mampu menuntun pada kebenaran, tetapi wahyu dan komunitas tetap penting agar kebenaran itu bisa dibagikan dan dijalani bersama. Di zaman modern, inspirasi Hayy relevan untuk membangun generasi yang kritis, konsisten, dan tetap berakar pada nilai-nilai ilahiah.
Belajar mandiri bukan sekadar mengumpulkan informasi, melainkan perjalanan menemukan makna. Dan sebagaimana Hayy mengajarkan, perjalanan itu menuntut kesabaran, keterbukaan, dan kerendahan hati.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
