SURAU.CO. Nama Abu Hanifah, sosok yang dikenal sebagai Imam al-A’zhom (Imam Agung), tercatat jelas dalam sejarah Islam. Ia mendirikan mazhab Hanafi, salah satu dari empat mazhab besar yang hingga kini menjadi rujukan bagi jutaan umat Muslim di seluruh dunia.
Jika kita menengok perjalanan sejarah Islam, Abu Hanifah tampil sebagai figur istimewa. Ia meletakkan dasar mazhab Hanafi, mazhab yang sampai hari ini mengakar kuat di berbagai belahan dunia, terutama Asia Tengah, Turki, dan anak benua India. Kehadiran mazhab ini bukan hanya memperkaya khazanah hukum Islam, tetapi juga mengajarkan cara berpikir yang rasional, sistematis, dan terbuka terhadap perbedaan.
Awal Kehidupan: Dari Perdagangan ke Halaqah Ilmu
Abu Hanifah, bernama lengkap Nu’man bin Tsabit bin Zutha al-Kufi, lahir di Kufah pada tahun 80 H/699 M. Beliau berasal dari keluarga pedagang kaya. Ayahnya, Tsabit, adalah seorang penjual sutra ternama di Kufah. Sejak kecil, Abu Hanifah sudah akrab dengan dunia perdagangan. Namun, kecerdasan dan keingintahuannya mengantarkannya pada jalur yang berbeda.
Di sela-sela aktivitasnya, Abu Hanifah rajin mendatangi masjid untuk mengikuti diskusi para ulama. Beliau juga menghafal Al-Qur’an dengan cepat. Kecerdasan Abu Hanifah menarik perhatian para ulama senior, seperti Asy-Sya’bi. Mereka mendorongnya untuk lebih fokus pada ilmu agama daripada sekadar berdagang. Perubahan ini mengubah arah hidup Abu Hanifah: dari pasar menuju halaqah (lingkaran) keilmuan.
Perjalanan Intelektual: Guru dan Pengaruhnya
Abu Hanifah hidup pada masa yang dekat dengan generasi sahabat Nabi. Meskipun demikian, pendapat tentang apakah beliau meriwayatkan hadis langsung dari para sahabat masih diperdebatkan. Secara umum, Abu Hanifah termasuk dalam generasi tabi’ut tabi’in.
Beliau belajar dari banyak ulama besar pada masanya. Dalam bidang hadis, Abu Hanifah berguru pada Atha’ bin Abi Rabah, Nafi’ mantan budak Ibnu Umar, Qatadah bin Di’amah, dan lainnya. Namun, guru yang paling berpengaruh baginya adalah Hammad bin Abi Sulaiman. Selama 18 tahun, Abu Hanifah secara intensif mendalami ilmu fikih di majelis Hammad. Akhirnya, beliau mewarisi kedudukan gurunya sebagai pengajar di Kufah. Sanad keilmuan Abu Hanifah bersambung hingga Abdullah bin Mas’ud dan Ali bin Abi Thalib, yang merupakan pintu ilmu Nabi.
Metode Ahlur Ra’yi: Inovasi dalam Fikih
Abu Hanifah dikenal sebagai imam ahlur ra’yi, yaitu ulama yang menggunakan akal pikiran dan qiyas (analogi) dalam merumuskan hukum. Metode ini lahir dari kebutuhan untuk menjawab berbagai persoalan hukum yang muncul di Kufah, sebuah kota kosmopolitan dengan kompleksitas sosial yang tinggi.
Baginya, hukum harus mampu menjawab realitas tanpa kehilangan pijakan wahyu. Abu Hanifah berpegang pada al-Qur’an dan sunnah sebagai landasan utama. Beliau kemudian mengembangkan hukum melalui qiyas dan istihsan (pertimbangan maslahat). Melalui pendekatan ini, mazhab Hanafi lahir. Mazhab ini kemudian menyebar luas, mulai dari Irak hingga ke Asia Tengah, India, dan Turki Utsmani.
Murid-Murid Terkemuka: Pewaris Ilmu
Abu Hanifah tidak hanya meninggalkan warisan berupa metode fikih, tetapi juga menghasilkan murid-murid yang brilian. Di antara murid-muridnya yang paling terkenal adalah Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim. Abu Yusuf kemudian diangkat menjadi qadhi al-qudhat (hakim agung) pada masa pemerintahan Abbasiyah. Ada juga Muhammad bin Hasan al-Syaibani, seorang penyusun fikih yang juga menjadi guru Imam Syafi’i.
Melalui murid-murid inilah pandangan fikih Abu Hanifah terdokumentasikan, karena beliau sendiri tidak banyak menuliskan kitab. Karya-karya yang dinisbatkan kepada Abu Hanifah, seperti Al-Musnad dan Al-Kharaj, adalah himpunan yang disusun oleh murid-muridnya.
Kezuhudan dan Ketegasan: Penolakan Jabatan
Salah satu aspek penting dari karakter Abu Hanifah adalah kezuhudan dan ketegasan prinsip. Beliau menolak tawaran jabatan qadhi dari Khalifah Abu Ja’far al-Manshur. Alasannya adalah karena ia khawatir tidak mampu berlaku adil. Penolakan ini mengakibatkan beliau dipenjara.
Bahkan, ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau wafat di dalam penjara pada tahun 150 H. Meskipun demikian, sikap istiqamah (konsisten) beliau semakin mengangkat wibawa dan kehormatannya di mata umat.
Warisan Abadi: Pengaruh Mazhab Hanafi
Imam Syafi’i pernah memuji Abu Hanifah dengan mengatakan, “Orang-orang dalam fikih adalah keluarga Abu Hanifah.” Ungkapan ini menunjukkan betapa besar pengaruh Abu Hanifah dalam pengembangan ilmu fikih. Yazid bin Harun juga berkata, “Aku tidak melihat orang yang lebih cerdas daripada Abu Hanifah.”
Mazhab Hanafi yang dirintis oleh Abu Hanifah tetap hidup dan menjadi rujukan fikih bagi ratusan juta Muslim di seluruh dunia. Wafatnya Abu Hanifah di Baghdad pada tahun 150 H memang mengakhiri perjalanan hidup seorang imam agung. Tetapi ilmunya tetap abadi sepanjang zaman, terus menginspirasi dan membimbing umat Islam dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama.
Imam Abu Hanifah adalah teladan bagi umat Islam. Beliau mengajarkan bahwa ilmu harus selaras dengan akal dan realitas sosial. Mazhab Hanafi yang beliau dirikan menjadi bukti nyata akan kemampuan ilmu untuk terus berkembang. (kareemustofa)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
