Surau.co. Pertanyaan tentang hubungan akal dan wahyu bukan hanya wacana akademik, tetapi juga pergulatan batin banyak orang yang haus akan kebenaran. Ibn Ṭufayl dalam karyanya Ḥayy ibn Yaqẓān menampilkan sebuah kisah penuh simbol: seorang anak yang tumbuh di pulau terpencil, mendidik dirinya sendiri, hingga menemukan Tuhan lewat renungan dan observasi alam. Dari situ, ia seolah menunjukkan bahwa akal manusia mampu menyingkap kebenaran terdalam tanpa guru dan tanpa kitab. Namun, Ibn Ṭufayl tidak berhenti di situ. Justru lewat dialog dan perjumpaan Hayy dengan manusia lain, terlihat jelas bahwa wahyu tetaplah diperlukan.
Kisah ini menyapa kita dalam keseharian. Berapa banyak orang modern yang merasa cukup dengan rasionalitas, sains, dan logika? Mereka berkata, “Buktikan dengan data, jangan dengan iman.” Namun, sebagaimana Hayy menyadari, ada batas yang tidak bisa dilewati akal semata. Wahyu hadir bukan untuk mematikan akal, tetapi melengkapinya, mengarahkannya, dan menjembatani perbedaan kapasitas manusia.
Akal sebagai Jalan Pencarian Mandiri
Dalam Ḥayy ibn Yaqẓān, kita membaca bagaimana Hayy sejak kecil mengamati tubuh hewan, bintang-bintang, laut, hingga pergerakan bayangan. Ia mencari sebab dari setiap gejala. Dari pengalaman empiris, ia naik ke abstraksi: dari tubuh menuju jiwa, dari jiwa menuju prinsip yang mengatur, hingga akhirnya menemukan Tuhan yang menjadi sumber segala kehidupan. Ibn Ṭufayl menulis:
«فَفَكَّرَ فِي الْجِسْمِ وَتَأَمَّلَ فِي النَّفْسِ، فَوَجَدَ أَنَّ لِلْأَمْرِ سَبَبًا أَعْلَى لَا يَبْلُغُهُ الْحِسُّ»
“Ia merenung pada tubuh dan menimbang hakikat jiwa, hingga menyadari bahwa segala sesuatu pasti memiliki sebab yang lebih tinggi, yang tak dapat dijangkau oleh indra.”
Renungan ini mengingatkan kita pada firman Allah dalam Al-Qur’an:
﴿سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ﴾ (فصلت: ٥٣)
“Kami akan perlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan Kami) di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu benar.”
Akal manusia memang bisa sampai pada pengakuan terhadap Sang Pencipta. Tetapi apakah semua orang punya ketekunan seperti Hayy?
Keterbatasan Akal dan Perbedaan Kapasitas Manusia
Ibn Ṭufayl menegaskan bahwa akal memiliki batas. Tidak semua manusia mampu melakukan perjalanan filsafat yang panjang dan sunyi seperti Hayy. Kebanyakan orang hidup dalam kesibukan, emosi, dan keterbatasan pengetahuan. Karena itulah, wahyu dibutuhkan untuk memberikan petunjuk yang bisa dipahami secara luas.
«وَرَأَى أَنَّ النَّاسَ لَا يَسْتَطِيعُونَ أَنْ يَتَفَكَّرُوا كَتَفَكُّرِهِ، وَلَا يَقْدِرُونَ عَلَى مَا قَدَرَ عَلَيْهِ»
“Ia melihat bahwa manusia tidak mampu merenung sebagaimana dirinya, dan tak sanggup mencapai apa yang ia capai.”
Inilah titik di mana wahyu menjadi penting. Bagi segelintir orang, akal bisa menuntun pada kebenaran. Namun, bagi mayoritas, wahyu menjadi jembatan yang memudahkan mereka mendekat kepada Tuhan.
Wahyu sebagai Cahaya yang Menghidupkan
Dalam perjumpaannya dengan Absāl, seorang manusia beragama, Hayy menemukan harmoni. Absāl menjalankan ritual dan ibadah sesuai syariat. Awalnya Hayy menganggap simbol-simbol agama itu terlalu sederhana dibanding pengetahuan yang ia peroleh. Tetapi kemudian ia sadar: simbol justru menjadi jalan agar orang awam bisa terhubung dengan Yang Maha Tinggi.
«فَعَرَفَ أَنَّ الشَّرِيعَةَ هِيَ السَّبِيلُ لِمَنْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى الْفَلْسَفَةِ، وَهِيَ نُورٌ يَهْتَدِي بِهِ الْعَامَّةُ»
“Ia memahami bahwa syariat adalah jalan bagi mereka yang tak mampu menempuh filsafat, ia adalah cahaya yang menuntun orang banyak.”
Rasulullah ﷺ bersabda:
«إِنَّمَا مَثَلِي وَمَثَلُ مَا بَعَثَنِي اللهُ بِهِ كَمَثَلِ رَجُلٍ أَتَى قَوْمًا، فَقَالَ: يَا قَوْمِ إِنِّي رَأَيْتُ الْجَيْشَ بِعَيْنِي وَإِنِّي أَنَا النَّذِيرُ الْعُرْيَانُ، فَالنَّجَاءَ النَّجَاءَ» (رواه البخاري ومسلم)
“Perumpamaan aku dan apa yang Allah utus denganku, seperti seorang lelaki yang melihat musuh dengan matanya sendiri lalu berkata kepada kaumnya: Wahai kaumku, aku adalah pemberi peringatan yang nyata, maka selamatkanlah diri kalian.”
Wahyu adalah peringatan, sekaligus cahaya keselamatan.
Relevansi untuk Zaman Modern
Kisah Hayy ibn Yaqẓān memberi pelajaran berharga untuk dunia kita hari ini. Di era informasi, manusia sering mengandalkan logika dan teknologi. Ada yang merasa agama tak lagi perlu karena akal bisa menjelaskan banyak hal. Tetapi apakah akal bisa menjawab semua pertanyaan? Bagaimana dengan makna hidup, tujuan akhir, dan rahasia kematian?
Ibn Ṭufayl memberi jawaban halus: akal bisa sampai ke pintu kebenaran, tetapi wahyu yang membimbing agar pintu itu terbuka untuk semua. Bayangkan jika hanya sedikit orang seperti Hayy yang bisa mencapai Tuhan lewat filsafat, maka jutaan orang lain akan tersesat tanpa petunjuk. Wahyu turun agar jalan menuju Tuhan terbuka lebar.
«فَوَجَدَ أَنَّ الْجَمَاعَةَ لَا يَسْتَغْنُونَ عَنِ الشَّرِيعَةِ، وَلَا سَبِيلَ لَهُمْ إِلَّا بِهَا»
“Ia mendapati bahwa masyarakat tak bisa lepas dari syariat, dan tak ada jalan bagi mereka kecuali dengannya.”
Refleksi ini mengingatkan kita bahwa akal dan wahyu bukan dua hal yang saling meniadakan, melainkan saling melengkapi.
Penutup: Jalan Tengah antara Akal dan Wahyu
Maka, mengapa wahyu masih dibutuhkan jika akal bisa menemukan kebenaran? Karena kebenaran bukan hanya milik segelintir orang yang mampu berpikir mendalam, melainkan hak seluruh manusia. Wahyu menjadi cahaya kolektif, membimbing mereka yang tak sempat merenung panjang, sekaligus mengokohkan penemuan orang-orang seperti Hayy.
Dalam kehidupan kita sehari-hari, terkadang kita menemukan kebenaran kecil lewat pengalaman: saat melihat langit malam, saat merasakan sakit, atau saat menyaksikan kelahiran. Semua itu bisa menuntun pada renungan. Tetapi wahyu hadir untuk memastikan bahwa renungan itu tidak menyimpang. Ia bukan pengganti akal, melainkan penuntun yang memastikan perjalanan menuju Tuhan tetap berada di jalan yang benar.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
