Surau.co. Kisah Ḥayy ibn Yaqẓān karya Ibn Ṭufayl adalah salah satu karya filsafat Islam yang unik. Ia tidak hanya berbicara tentang perjalanan seorang manusia memahami tubuh, jiwa, dan alam semesta, tetapi juga tentang bagaimana akal bertemu dengan agama. Bagian yang menarik adalah ketika Hayy bertemu dengan Absāl, seorang tokoh dari luar pulau yang mewakili sisi religius masyarakat. Dari pertemuan itu lahirlah percakapan panjang tentang manusia, akal, dan simbol-simbol agama. Pertanyaan yang mereka bahas terasa dekat dengan kehidupan sehari-hari: apakah agama hanya simbol, atau ada sesuatu yang lebih dalam di baliknya?
Pertemuan Dua Dunia: Alam dan Agama
Bayangkan seseorang yang hidup di hutan sejak kecil. Ia belajar dari bintang, laut, dan hewan. Semua pengetahuan lahir dari pengamatan dan pengalaman. Itulah Hayy. Sebaliknya, Absāl hidup dalam masyarakat, terbiasa dengan doa, ibadah, dan aturan agama. Ketika mereka bertemu, terjadi semacam “tabrakan” antara pengalaman alamiah dan ajaran simbolis.
Ibn Ṭufayl menggambarkan momen itu dengan kalimat:
“فَفَتَحَ اللَّهُ بَيْنَهُمَا بَابًا مِنَ الْمُوَافَقَةِ وَالْأُنْسِ”
“Allah membukakan di antara keduanya pintu kesesuaian dan rasa kedekatan.”
Pertemuan ini mengingatkan kita bahwa meski jalan hidup berbeda, ada titik temu antara pencarian akal dan ajaran agama. Seperti dua orang dari latar berbeda yang tiba-tiba menemukan bahwa mereka berbicara tentang hal yang sama dengan bahasa yang berbeda.
Akal yang Jernih dan Hati yang Tertuntun
Hayy mencoba menjelaskan hasil perenungannya tentang Tuhan kepada Absāl. Ia sampai pada kesimpulan bahwa di balik alam yang indah ini ada Sang Pencipta yang Mahatinggi. Absāl terkejut, karena pengetahuan itu seolah-olah sesuai dengan ajaran agamanya, hanya saja tanpa kitab atau guru.
Ibn Ṭufayl menulis:
“فَوَجَدَ مَا عِنْدَهُ مِنَ الْمَعْرِفَةِ مُطَابِقًا لِمَا جَاءَتْ بِهِ الرُّسُلُ”
“Ia mendapati pengetahuannya sesuai dengan apa yang dibawa para rasul.”
Dalam kehidupan sehari-hari, kita juga sering melihat hal yang sama. Ada orang yang sampai pada kesadaran spiritual melalui filsafat, sains, atau seni, lalu merasa sejalan dengan apa yang diajarkan agama sejak lama. Hal ini menunjukkan bahwa akal yang jernih dan hati yang terbuka tidak akan bertentangan dengan wahyu.
Al-Qur’an sendiri mengajak manusia untuk menggunakan akal:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
(Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang berakal) – QS. Ali Imran: 190.
Simbol Agama sebagai Jalan bagi Banyak Orang
Namun, tidak semua orang bisa mencapai pengetahuan mendalam seperti Hayy. Absāl menjelaskan bahwa masyarakat membutuhkan simbol, aturan, dan ritual agar bisa berjalan menuju Tuhan. Tanpa itu, banyak orang akan tersesat dalam hawa nafsu.
Ibn Ṭufayl menulis:
“فَهَذِهِ الشَّرَائِعُ مَثَلٌ لِمَنْ لَا يَقْدِرُ عَلَى الْحَقَائِقِ”
“Syariat-syariat itu adalah perumpamaan bagi mereka yang tidak mampu memahami hakikat.”
Di sini terlihat kebijaksanaan Islam: agama tidak hanya untuk para filsuf atau sufi, tetapi juga untuk masyarakat umum. Simbol dan aturan adalah jembatan, bukan penghalang. Kita bisa mengibaratkannya seperti rambu lalu lintas: sederhana, kadang terlihat kaku, tetapi tanpanya jalanan akan kacau.
Keseimbangan antara Pencarian Individu dan Kehidupan Sosial
Hayy sempat mencoba mengajarkan apa yang ia pahami secara langsung kepada masyarakat. Namun, yang terjadi justru kebingungan. Banyak yang tidak sanggup menerima penjelasan filosofisnya. Akhirnya ia sadar, tidak semua orang bisa menempuh jalan yang sama.
Ibn Ṭufayl menggambarkan kesadaran itu dengan kalimat:
“فَعَلِمَ أَنَّ الطَّرِيقَ الْأَفْضَلَ لِلْجُمْهُورِ هُوَ التَّمَسُّكُ بِالشَّرَائِعِ”
“Ia mengetahui bahwa jalan terbaik bagi kebanyakan orang adalah berpegang pada syariat.”
Pelajaran ini relevan dengan kehidupan modern. Ada orang yang belajar lewat filsafat, ada yang lewat agama, ada yang lewat pengalaman hidup. Kita tidak bisa memaksa semua orang untuk memakai kacamata yang sama. Keseimbangan antara kebebasan berpikir dan kebutuhan sosial menjadi kunci.
Rasulullah SAW pernah bersabda:
“إِنَّمَا بُعِثْتُ مُعَلِّمًا”
“Sesungguhnya aku diutus sebagai seorang guru.” (HR. Ibnu Majah).
Artinya, agama adalah pendidikan yang harus disampaikan sesuai tingkat pemahaman masing-masing orang.
Makna Dialog Hayy dan Absāl untuk Kita
Kisah dialog Hayy dan Absāl menyampaikan pesan mendalam: akal manusia bisa mencapai kebenaran, tetapi agama hadir sebagai jalan bersama. Bagi sebagian orang, filsafat menjadi tangga menuju iman. Bagi yang lain, simbol agama menjadi penopang hidup sehari-hari. Keduanya bukan untuk dipertentangkan, melainkan untuk saling melengkapi.
Hari ini, ketika banyak orang terjebak pada perdebatan antara “akal” dan “agama”, kisah ini mengingatkan bahwa keduanya bisa berjalan berdampingan. Simbol agama melindungi masyarakat, sementara akal yang murni membuka jalan bagi pencarian yang lebih dalam. Pada akhirnya, tujuan keduanya sama: mendekatkan manusia kepada Allah.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
