Surau.co. Ketika membaca kitab Ḥayy ibn Yaqẓān karya Ibn Ṭufayl, kita seperti diajak masuk ke dunia yang asing, tetapi sekaligus akrab. Seorang anak kecil lahir di pulau terpencil, tanpa guru, tanpa masyarakat, tanpa kitab suci yang terbuka di hadapannya. Namun, dari sana ia belajar tentang tubuhnya, jiwa, alam semesta, dan bahkan tentang Tuhan. Pertanyaan sederhana muncul: bagaimana mungkin seorang anak pulau bisa menjelaskan hal yang begitu besar hanya dari pengalaman sehari-hari? Pertanyaan inilah yang membuat kisah ini selalu relevan, bahkan di era digital sekarang.
Meraba Tubuh dari Kehidupan Sehari-hari
Dalam kehidupan nyata, kita sering baru menyadari betapa rumitnya tubuh manusia saat sakit, lapar, atau lelah. Hayy ibn Yaqẓān pun memulai perjalanannya dari situ. Ia memperhatikan tubuh hewan, lalu tubuhnya sendiri. Ia menyadari ada sesuatu yang lebih halus dari sekadar daging dan tulang.
Ibn Ṭufayl menulis:
“فَرَأَى أَنَّ الْجَسَدَ إِذَا فَارَقَهُ ذَلِكَ الشَّيْءُ بَطَلَتْ قُوَّتُهُ وَفَسَدَتْ صُورَتُهُ”
“Ia melihat bahwa tubuh, ketika sesuatu itu meninggalkannya, kehilangan kekuatan dan rusak bentuknya.”
Dari pengamatan sederhana ini, Hayy menemukan konsep jiwa—bahwa ada ruh yang menggerakkan tubuh. Seperti kita yang kadang merenung, mengapa saat tidur tubuh tetap bernafas tanpa kita sadari, sementara ketika ajal datang, napas itu terhenti sama sekali.
Al-Qur’an pun menyentuh hal serupa:
اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا
(Allah memegang jiwa ketika matinya dan jiwa yang belum mati pada waktu tidurnya) – QS. Az-Zumar: 42.
Fenomena sederhana yang setiap hari kita alami—tidur, sakit, lelah—dapat menjadi jalan merenungkan rahasia jiwa.
Dari Alam Sekitar Menuju Langit
Anak pulau itu tak hanya berhenti pada tubuh. Ia mengamati burung, pohon, matahari, bulan, hingga bintang. Dari pola terbit dan terbenam, dari gerakan angin dan ombak, Hayy menemukan keteraturan.
Ibn Ṭufayl menuliskan:
“فَتَبَيَّنَ لَهُ أَنَّ الْعَالَمَ لَهُ نِظَامٌ مُحْكَمٌ وَتَدْبِيرٌ حَكِيمٌ”
“Maka jelas baginya bahwa alam memiliki sistem yang kokoh dan pengaturan yang bijaksana.”
Pengamatan ini membuatnya yakin bahwa di balik alam semesta ada Sang Pengatur. Sama halnya dengan kita yang melihat teknologi modern: ponsel, mobil listrik, atau satelit. Semua tidak mungkin hadir tanpa perancang. Maka, bagaimana mungkin alam raya ini tanpa Pencipta?
Nabi Muhammad SAW bersabda:
“إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ”
“Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan.” (HR. Muslim).
Keindahan alam yang disaksikan Hayy hanyalah cermin dari keindahan Sang Pencipta.
Mencari Tuhan Lewat Keheningan
Ada satu titik di mana Hayy merasa semua pengetahuan tentang tubuh dan alam belum cukup. Ia masuk ke dalam renungan yang lebih dalam. Ia berlatih mengasingkan diri, menenangkan pikiran, dan menyingkap tabir hati.
Ibn Ṭufayl menulis:
“فَكَانَ إِذَا اسْتَغْرَقَ فِي التَّفَكُّرِ أَحَسَّ بِشُهُودٍ لَا يُوصَفُ”
“Ketika ia tenggelam dalam perenungan, ia merasakan sebuah penyaksian yang tak terlukiskan.”
Inilah momen sufistik dari kisah itu. Seperti ketika seseorang shalat dengan khusyuk, atau duduk diam dalam dzikir hingga hatinya penuh cahaya. Pengalaman spiritual ini tidak datang dari buku atau guru, tetapi dari keheningan batin.
Al-Qur’an menegaskan:
وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
(Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya) – QS. Qaf: 16.
Kedekatan Tuhan bukanlah sesuatu yang jauh di langit, tetapi sangat intim, lebih dekat dari segala sesuatu.
Jiwa dan Tubuh dalam Keseimbangan
Dalam perjalanannya, Hayy juga menyadari tubuh bukan musuh bagi jiwa. Ia hanyalah kendaraan. Namun, jika terlalu mengikuti keinginan tubuh, jiwa akan tertutup. Jika tubuh dijaga dengan sederhana, jiwa bisa jernih.
Ibn Ṭufayl menulis:
“وَأَدْرَكَ أَنَّ انْصِرَافَهُ إِلَى الشَّهَوَاتِ يُظْلِمُ قَلْبَهُ وَيُبْعِدُهُ عَنِ الْحَقِّ”
“Ia menyadari bahwa berpaling kepada syahwat menggelapkan hati dan menjauhkannya dari kebenaran.”
Hal ini mirip dengan pesan Nabi SAW:
“مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ”
“Tidaklah manusia memenuhi wadah yang lebih buruk daripada perutnya.” (HR. Tirmidzi).
Keseimbangan antara jasmani dan rohani adalah inti dari perjalanan Hayy. Ia bukan menolak dunia, tetapi menempatkannya sesuai porsinya.
Relevansi Kisah Hayy ibn Yaqẓān Hari Ini
Di tengah derasnya arus informasi, kadang kita merasa tak bisa belajar tanpa guru atau sistem pendidikan formal. Kisah Hayy ibn Yaqẓān memberi pelajaran bahwa rasa ingin tahu, ketekunan, dan keheningan bisa menjadi jalan menuju pengetahuan.
Mungkin kita bukan anak pulau, tetapi kita semua punya “pulau” sendiri: ruang hening di hati, di mana kita bisa mengamati diri, alam, dan Tuhan. Dari sana lahir pemahaman yang bukan hanya intelektual, tetapi juga spiritual.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
