Surau.co. Ketika kita membicarakan pendidikan, bayangan pertama yang muncul biasanya adalah ruang kelas, guru yang menjelaskan, dan murid yang mencatat. Namun, Ibn Ṭufayl dalam karyanya yang terkenal, Ḥayy ibn Yaqẓān, justru menghadirkan pertanyaan mendalam: apakah pengetahuan bisa dicapai tanpa guru, hanya dengan perenungan dan pengalaman hidup? Pertanyaan ini masih relevan hingga hari ini, terutama di era digital ketika orang bisa belajar mandiri melalui buku, video, atau pengalaman sehari-hari.
Kisah Ḥayy ibn Yaqẓān bukan sekadar fiksi filosofis, melainkan refleksi atas potensi akal manusia yang diberikan Allah. Ia menggambarkan bagaimana seorang manusia bisa tumbuh tanpa pendidikan formal, tanpa guru, bahkan tanpa masyarakat, namun tetap menemukan kebenaran hakiki melalui pencarian diri.
Belajar dari Kehidupan Sehari-hari
Bayangkan seorang anak kecil yang setiap hari bertanya tentang segala sesuatu: mengapa hujan turun, kenapa matahari panas, atau mengapa kita harus makan. Pertanyaan-pertanyaan polos itu adalah bentuk pendidikan diri yang alami. Inilah yang terjadi pada tokoh Hayy dalam kisah Ibn Ṭufayl.
Sejak kecil, Hayy hidup di sebuah pulau terpencil tanpa manusia lain. Ia hanya ditemani oleh seekor rusa yang menjadi pengasuhnya. Dari situ, ia belajar tentang kasih sayang, kebutuhan jasmani, dan keteraturan alam. Ia menatap langit, memerhatikan bintang, hingga akhirnya merenungkan siapa Pencipta di balik semua itu.
Dalam kitabnya, Ibn Ṭufayl menulis:
«فَكَانَ يَنْظُرُ فِي الْمَخْلُوقَاتِ وَيَتَأَمَّلُ فِي الْكَوَائِنِ، حَتَّى انْكَشَفَ لَهُ بَابُ الْحِكْمَةِ»
“Ia memandang ciptaan-ciptaan dan merenungi segala kejadian, hingga terbukalah baginya pintu kebijaksanaan.”
Kutipan ini mengingatkan kita bahwa tanda-tanda kebesaran Allah terbentang di alam semesta. Pendidikan sejati tak selalu lahir dari buku atau ceramah, tapi juga dari keberanian merenungi fenomena sehari-hari.
Pengetahuan sebagai Cahaya Ilahi
Al-Qur’an sendiri menyebutkan bahwa Allah telah menanamkan potensi ilmu dalam diri manusia sejak awal penciptaan:
﴿وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا﴾ (QS. Al-Baqarah: 31)
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya.”
Ayat ini menegaskan bahwa manusia memiliki bekal pengetahuan bawaan yang bisa dikembangkan. Hayy ibn Yaqẓān adalah contoh literer tentang bagaimana manusia, melalui fitrah dan akalnya, mampu menemukan kebenaran walau tanpa guru.
Ibn Ṭufayl menggambarkan saat Hayy menyadari adanya Pencipta:
«فَتَفَكَّرَ فِي نَفْسِهِ وَقَالَ: لَا بُدَّ لِهَذَا النِّظَامِ مِنْ مُنَظِّمٍ»
“Ia merenung dalam dirinya dan berkata: Pasti bagi keteraturan ini ada yang menata.”
Refleksi ini sederhana, tetapi sangat mendalam. Ia mengajarkan kita bahwa pengetahuan tertinggi bukan hanya soal menguasai fakta, melainkan mengenal siapa di balik keteraturan semesta.
Dari Alam ke Makrifat
Hayy tak berhenti pada pengetahuan inderawi. Ia naik tingkat, dari mengamati alam, meneliti hewan, hingga mengupas tubuh rusa yang mati. Dari sana, ia menyadari bahwa kehidupan bukan hanya jasad, melainkan ada ruh yang memberi hidup.
Dalam kitab itu dikatakan:
«فَعَرَفَ أَنَّ الْحَيَاةَ سِرٌّ يَكْمُنُ فِي الْجَسَدِ، فَإِذَا زَالَ عَنْهُ زَالَتْ حَرَكَتُهُ»
“Ia memahami bahwa kehidupan adalah rahasia yang tersembunyi dalam jasad; bila ia pergi, hilanglah gerakan tubuh.”
Pengetahuan ini membuat Hayy terus mencari sumber kehidupan itu, hingga akhirnya sampai pada kesadaran akan Allah sebagai asal segala kehidupan.
Hal ini sejalan dengan sabda Nabi ﷺ:
«مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ»
“Barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.” (HR. Al-Baihaqi)
Dengan mengenali diri, Hayy menemukan Tuhan. Dengan mengamati tubuh, alam, dan jiwa, ia melangkah menuju makrifat.
Relevansi untuk Dunia Modern
Kisah ini terasa sangat dekat dengan kondisi kita hari ini. Di zaman internet, banyak orang belajar secara autodidak: dari desain grafis, pemrograman, hingga tafsir Al-Qur’an. Namun, kisah Ibn Ṭufayl juga memberi peringatan: belajar mandiri harus dibarengi dengan ketulusan mencari kebenaran, bukan sekadar menumpuk informasi.
Ketika Hayy akhirnya bertemu dengan seorang manusia bernama Absal yang datang ke pulau itu, ia sadar bahwa kebenaran yang ditemukannya sejalan dengan wahyu. Dengan kata lain, akal yang murni dan wahyu yang suci tak akan bertentangan.
Sebagaimana ditulis Ibn Ṭufayl:
«فَوَجَدَ أَنَّ مَا بَلَغَ إِلَيْهِ عَقْلُهُ يُوَافِقُ مَا جَاءَتْ بِهِ الشَّرِيعَةُ»
“Ia mendapati bahwa apa yang dicapai oleh akalnya selaras dengan apa yang dibawa syariat.”
Pesan ini amat penting: pendidikan diri memang bisa mengantarkan pada kebenaran, tetapi wahyu adalah penuntun yang memastikan manusia tidak tersesat.
Penutup: Menjadi Murid Sejati Kehidupan
Dari Ḥayy ibn Yaqẓān, kita belajar bahwa pendidikan sejati adalah gabungan antara akal, pengalaman hidup, dan petunjuk wahyu. Belajar mandiri itu mulia, tapi tetap perlu diarahkan agar sampai pada kebenaran hakiki.
Di dunia modern, kita bisa mengambil semangat Hayy: keberanian merenung, kesabaran belajar dari alam, dan ketekunan mencari jawaban. Namun, jangan lupa mengaitkan pengetahuan itu dengan Al-Qur’an dan ajaran Rasulullah ﷺ, agar jalan kita lurus dan penuh cahaya.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
