Pendidikan
Beranda » Berita » Moderasi Beragama dalam Pendidikan Islam: Jawaban atas Tantangan Sosial Kekinian

Moderasi Beragama dalam Pendidikan Islam: Jawaban atas Tantangan Sosial Kekinian

Moderasi beragama
Ilustrasi moderasi beragama dalam pendidika Islam. Foto: perplexity

SURAU.CO. Kita hidup di era globalisasi yang penuh warna. Berbagai budaya bertemu, informasi melesat tanpa batas, dan perubahan sosial berjalan begitu cepat. Dunia terasa semakin sempit karena interaksi lintas negara, agama, dan budaya bisa terjadi setiap saat lewat layar gawai. Di satu sisi, kondisi ini membuka peluang besar untuk saling belajar dan berkolaborasi. Namun di sisi lain, ia juga menghadirkan tantangan serius, terutama dalam pendidikan menjaga identitas keagamaan agar tetap otentik sekaligus relevan dengan zaman.

Dalam konteks Islam, salah satu jawaban yang sering muncul adalah moderasi beragama. Konsep ini bukan hal baru, karena sejak awal Islam hadir di muka bumi, telah mengarahkan umatnya untuk menjadi “ummatan wasathan” yaitu umat pertengahan.

Allah ﷻ berfirman: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) sebagai umat yang wasath (pertengahan/adil/terbaik), agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (QS. Al-Baqarah: 143)

Ayat ini menegaskan bahwa keseimbangan, toleransi, dan keadilan adalah ciri khas umat Islam. Maka, ketika pendidikan Islam dihadapkan pada tantangan modern, moderasi beragama hadir sebagai jembatan. Ia menjaga keaslian ajaran sekaligus membuatnya kontekstual dengan kehidupan sosial yang semakin plural.

Relevansi Moderasi dalam Pendidikan Islam

Pendidikan Islam tidak cukup hanya menyampaikan dogma atau hafalan ajaran. Ia harus menjadi jalan untuk membentuk pribadi yang beriman sekaligus bijak dalam hidup bermasyarakat. Dalam kondisi sosial yang plural, pendekatan moderasi menjadi sangat relevan.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Kementerian Agama RI dalam Buku Pedoman Pendidikan Islam Moderat (2020) menegaskan bahwa pendidikan agama harus mengajarkan sikap toleran, menghargai keberagaman, dan terbuka terhadap dialog lintas budaya. Ini sejalan dengan sabda Rasulullah ﷺ, “Sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan.” (HR. Baihaqi)

Sebagai contoh, beberapa sekolah di Indonesia mulai mengintegrasikan kurikulum yang tidak hanya mengajarkan fikih dan akidah, tetapi juga etika sosial lintas agama. Misalnya, siswa diajak mengikuti kegiatan sosial bersama pelajar dari latar belakang berbeda. Dari sini, mereka belajar bahwa menghormati perbedaan bukan berarti melemahkan iman, melainkan meneguhkan nilai Islam sebagai rahmat bagi semesta (rahmatan lil ‘alamin).

Pendidikan Islam moderat semacam ini tidak hanya melahirkan generasi yang taat beribadah, tetapi juga membentuk pribadi yang siap menghadapi tantangan zaman dengan sikap inklusif dan bijaksana.

Peran Guru Agama sebagai Garda Terdepan

Tidak bisa dipungkiri, guru adalah aktor utama dalam pendidikan. Bagi siswa, guru bukan sekadar penyampai ilmu, tetapi juga teladan hidup. Maka, peran guru agama sangat vital dalam mewujudkan moderasi beragama. Guru agama menempati posisi strategis sebagai garda terdepan dalam membentuk cara pandang dan sikap keberagamaan peserta didik.

Seorang guru agama yang memahami urgensi moderasi akan berusaha menanamkan nilai inklusif, toleran, dan bijak dalam menyikapi perbedaan. Misalnya, ia mengajak siswa berdialog dengan tokoh lintas agama atau terlibat dalam kegiatan sosial yang melibatkan berbagai kelompok masyarakat. Melalui interaksi semacam ini, siswa tidak hanya mengenal konsep toleransi dari buku, tetapi juga mengalami langsung bagaimana hidup berdampingan dengan perbedaan. Pengalaman nyata semacam ini jauh lebih kuat dalam menanamkan kesadaran dibanding teori semata.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad, no. 8952). Artinya, pendidikan Islam yang baik tidak cukup mengajarkan syariat, tetapi juga menumbuhkan akhlak luhur, termasuk sikap toleransi dan keterbukaan terhadap sesama. Dengan demikian siswa tumbuh menjadi generasi yang beriman sekaligus beradab.

Dalam konteks masyarakat modern yang sarat dengan tantangan pluralitas, guru agama berperan penting membimbing siswa agar mampu bersikap arif, tidak mudah terprovokasi, serta tidak terjebak dalam sikap fanatisme sempit. Mereka harus menjadi agen perubahan yang mendorong peserta didik untuk melihat keragaman sebagai sunnatullah. Sebagaimana firman Allah SWT, “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)

Dengan demikian, guru agama adalah penjaga keseimbangan dalam menguatkan keimanan sekaligus menumbuhkan keterbukaan. Ketika peran ini dijalankan dengan kesungguhan, mereka bukan hanya mendidik generasi taat beribadah, tetapi juga membentuk pribadi yang mampu hidup harmonis dalam masyarakat global yang majemuk.

Moderasi sebagai Solusi Sosial Kekinian

Walaupun konsep moderasi beragama terdengar indah, penerapannya tidak selalu mudah. Salah satu hambatan utama adalah masih adanya kelompok yang memegang interpretasi agama secara kaku, bahkan menolak dialog.

Studi yang dipublikasikan di ResearchGate (2022) menyebutkan bahwa resistensi terhadap moderasi bisa berkurang bila kurikulum pendidikan agama melibatkan dialog, diskusi kritis, dan kegiatan interaktif. Dengan kata lain, pendidikan agama tidak boleh hanya satu arah, tetapi harus membuka ruang bagi pertukaran gagasan.

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Dialog antaragama bukan untuk mencampuradukkan akidah, melainkan untuk menumbuhkan saling pengertian. Menghargai perbedaan bukan berarti kehilangan jati diri. Dengan dialog dan keterbukaan, siswa menjadi lebih empati, lebih terbuka, dan tidak mudah terjebak dalam sikap eksklusif. Dengan kreativitas, pendidikan Islam bisa menghadirkan moderasi secara nyata, bukan hanya sebagai jargon.

Mengapa moderasi beragama begitu penting dalam pendidikan Islam saat ini? Jawabannya karena kita menghadapi banyak masalah sosial: intoleransi, polarisasi politik, hingga radikalisme. Semua ini dapat mengancam keutuhan bangsa jika tidak diimbangi dengan sikap bijak.

Moderasi beragama menjadi filter agar umat Islam tidak terjebak dalam ekstremisme, baik yang terlalu keras (ghuluw) maupun yang terlalu longgar (tasahul). Nabi ﷺ sudah memperingatkan, “Jauhilah oleh kalian sikap berlebih-lebihan dalam agama, karena binasanya orang-orang sebelum kalian adalah karena sikap berlebih-lebihan dalam agama.” (HR. Ahmad, no. 2803)

Dengan pendidikan Islam yang moderat, kita bisa mencetak generasi yang kuat imannya, luas wawasannya, dan santun dalam bermasyarakat. Mereka bukan hanya pandai beribadah, tetapi juga mampu menjadi agen perdamaian di tengah keberagaman.

Pendidikan Islam yang Membumi dan Mencerahkan

Moderasi beragama dalam pendidikan Islam bukan sekadar wacana akademik, melainkan kebutuhan nyata di tengah masyarakat global yang plural. Ia relevan untuk menjawab tantangan kekinian, mulai dari interaksi antarbudaya hingga maraknya sikap intoleransi.

Guru agama berperan besar sebagai teladan, sementara kurikulum yang inovatif dapat memperkuat nilai-nilai moderasi di kelas. Meski tantangan selalu ada, dengan pendekatan dialogis dan kreatifitas, moderasi beragama bisa benar-benar dihidupkan dalam pendidikan Islam. Dengan demikian, kelas bukan hanya menjadi ruang transfer ilmu, tetapi juga menjadi laboratorium hidup, di mana sikap keberagamaan yang inklusif dapat dipraktikkan.

Mewujudkan integrasi antara ilmu agama dan ilmu umum penting agar siswa tumbuh sebagai pribadi yang tidak hanya cerdas spiritual, tetapi juga kompeten dalam bidang sains, teknologi, dan sosial. Pendidikan Islam yang moderat harus mampu menjelaskan bagaimana ajaran agama berhubungan dengan isu-isu kontemporer. Mulai dari etika digital, ekologi, hingga hubungan antaragama. Dengan kurikulum yang relevan, siswa tidak lagi melihat Islam sebagai ajaran yang terpisah dari realitas sosial, melainkan sebagai sumber inspirasi dan solusi.

Masih banyak kalangan yang memandang moderasi beragama sebagai bentuk kompromi terhadap prinsip Islam. Padahal sejatinya ia merupakan ajaran yang justru berpijak pada keseimbangan. Prinsip inilah yang harus dihidupkan dalam pendidikan agar siswa tumbuh menjadi generasi yang kokoh dalam iman sekaligus bijak dalam menyikapi perbedaan.

Dengan pendekatan dialogis, pembelajaran kreatif, serta komitmen semua pihak, pendidikan Islam yang moderat akan benar-benar membumi. Ia tidak hanya melahirkan generasi muslim yang taat ibadah, tetapi juga generasi yang mampu menjadi agen perdamaian, penggerak perubahan, dan penebar cahaya di tengah masyarakat global yang beragam. Inilah wajah pendidikan Islam yang mencerahkan, tidak mengurung diri dalam dogma sempit. Akan tetapi hadir sebagai sumber hikmah yang menuntun manusia menuju peradaban yang lebih adil, damai, dan bermartabat.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement