Khazanah
Beranda » Berita » Zaid ibn al-Khattab : Pemegang Panji Perang Penumpasan Nabi Palsu

Zaid ibn al-Khattab : Pemegang Panji Perang Penumpasan Nabi Palsu

Zaid ibn al-KhatTab : Pemegang Panji Perang Penumpasan Nabi Palsu
Ilustrasi pasukan muslim membawa panji menuju medan jihad.

SURAU.CO-Zaid ibn al-Khattab sahabat Nabi dari suku Quraisy keturunan Bani Adi. Ayahnya bernama al-Khaththab ibn Nufail dan ibunya bernama Asma binti Wahab al-Asadiyah. Ia bersaudara dengan seorang sahabat besar dan Khalifah Rasulullah yang kedua, Umar ibn al-Khattab. Usianya lebih tua dari Umar dan lebih dahulu memeluk Islam. Ia sering dipanggil dengan sebutan Abu Abdurrahman.

Pengkhianatan al Rajjal

Banyak peperangan yang Zaid ikut berjihad bersama Rasulullah. Suatu ketika, datang seorang laki-laki dari Yamamah bernama al-Rajjal ibn Unfuwah (atau lebih dikenal dengan panggilan Nihar) menghadap Rasulullah, lalu menyatakan masuk Islam. Ia juga menghafal beberapa ayat Al-Qur’an dan ajaran Islam. Setelah itu, ia meminta izin kepada Nabi untuk kembali ke Yamamah. Beliau pun mengizinkannya.

Namun, setelah Rasulullah wafat, al-Rajjal berkhianat dengan melanggar janji yang telah dibuatnya di hadapan Rasulullah. Ia mendatangi Khalifah Abu Bakar dan mengatakan bahwa penduduk Yamamah telah menjadi pengikut Musailamah dan mengakui kenabiannya. Kemudian, ia minta agar diutus kepada penduduk Yamamah agar dapat melihat langsung kesesatan mereka.

Khalifah Abu Bakar pun memberinya izin. Tapi, al-Rajjal malah berkhianat. Saat melihat banyak orang menjadi pengikut Musailamah, ia tergoda dan ingin meraih kedudukan di sisi Musailamah. Maka, saat tiba di Yamamah, ia menemui Bani Hunaifah dan mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah bersabda bahwa beliau berbagi risalah dengan Musailamah. Akibat kabar dustanya itu, Bani Hunaifah semakin meyakini kebenaran Musailamah. Keberadaan al-Rajjal sangat merusak keimanan karena orang yang jelas-jelas kafir dapat dikenali oleh siapa pun dan dapat dihindari dengan mudah. Sementara, orang yang menyembunyikan kekafiran sulit untuk diketahui dan lebih berbahaya.

Propaganda makar

Al-Rajjal berhasil menyebarkan propaganda dan makar. Pengikut Musailamah bertambah banyak. Tentu saja Musailamah merasa senang. Tapi, Allah punya rencana lain. Mereka boleh saja berbuat makar, tetapi Allah adalah sebaik-baik pembuat makar sekaligus penghancur makar mereka.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Khalifah Abu Bakar menyadari masalah itu. Ia pun berencana menghentikan perkembangan kaum murtad dengan segenap kemampuannya sehingga Yamamah dapat kembali ke jalan yang benar seperti pada masa Rasulullah.

Khalifah Abu Bakar menyiapkan tentara yang besar untuk menyerang Musailamah dan mengubur segala fitnah-nya. Pasukan besar ini pun berangkat menuju Yamamah dipimpin Khalid ibn al-Walid, Sang Pedang Allah. Bergabung di dalamnya banyak sahabat terkemuka, antara lain Abdullah ibn Umar dan pamannya, Zaid ibn al-Khattab, al-Barra ibn Malik, Tsabit ibn Qais, Abu Khudzaifah ibn Utbah, Salim maula Abi Khudzaifah, Abu Dujanah, Ummu Umarah al-Maziniyah dan putranya Abdullah ibn Zaid, dan juga Wahsyi ibn Harb—budak yang membunuh Hamzah dalam Perang Uhud. Wahsyi ingin membunuh Musailamah sebagai tebusan atas kesalahannya di masa lalu. Sementara, Zaid ibn al-Khattab ingin menemukan al-Rajjal dan membunuhnya. Allah mewujudkan keinginannya itu.

Pemegang panji kaum muslim

Saat perang berkecamuk, Zaid memegang panji kaum muslim. Ketika melihat sebagian Muslim melarikan diri, ia berteriak, “Ya Allah, aku memohon maaf atas larinya para sahabatku dan aku membebaskan diri dari apa yang dilakukan Musailamah.”

Saat berpaling, Zaid melihat al-Rajjal sedang berdiri tak jauh dari tempatnya. Lekas ia mengejarnya. Mereka terlibat dalam duel hebat. Akhirnya, sang musuh Allah jatuh berkalang tanah.

Zaid ibn al-Khattab gugur

Setelah itu, Zaid kembali ke medan perang. Namun, tiba-tiba ia diserang dari belakang oleh Abu Maryam al-Hunaifi. Sabetan pedang Abu Maryam mengantarkan Zaid pada cita-cita tertingginya: syahid di medan perang. Melihat gugurnya Zaid ibn al-Khaththab, Salim maula Abi Khudzaifah mengambil alih bendera. Saat itu seseorang berujar kepada Salim, “Hai Salim, kami khawatir terjadi sesuatu padamu seperti yang terjadi pada orang sebelummu.” Salim menjawab, “Aku adalah pembaca Al-Qur’an yang buruk. Jadi, biarkan aku memperbaikinya.”

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Abu Maryam al-Hunaifi berislam

Usai Perang Yamamah, Abu Maryam al-Hunaifi menyatakan masuk Islam dan bertemu dengan Umar saat beliau menjadi Khalifah. Saat itu, Abu Maryam berkata, “Allah telah memuliakan Zaid melalui tanganku.” Maksudnya, ia telah membunuh Zaid sehingga ia masuk surga karena mati sebagai syahid. Seandainya saat itu ia yang terbunuh, tentu ia masuk neraka karena mati sebagai kafir.

Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa yang membunuh Zaid dalam Perang Yamamah adalah Salamah ibn Shabih yang tak lain adalah sepupu Abu Maryam. Abu Umar ibn Abdil Barr mengatakan dalam al-Isti’ab, “Aku lebih condong pada pendapat ini. Dan, sekalipun Abu Maryam yang membunuh Zaid, Umar r.a. tak akan menuntut apa pun.”

Perang Yamamah berlalu dan Musailamah berhasil dibunuh. Saat itu ada tiga orang yang berhasrat membunuhnya, yaitu Abu Dujanah, Abdullah ibn Zaid, dan Wahsyi ibn Harb.

Situasi serupa juga terjadi ketika kaum muslim berebut ingin membunuh al-Muhakkam ibn al-Thufail, pemimpin Yamamah dan orang kepercayaan Musailamah. Orang yang berhasil membunuhnya adalah Abdurrahman ibn Abu Bakar al-Shiddiq. Api fitnah di Yamamah dapat dipadamkan seiring dengan tewasnya pemimpin mereka. Dalam peristiwa itu gugur beberapa Muslim sebagai syahid, termasuk Tsabit ibn Qais, Abu Dujanah, Abu Khudzaifah ibn Utbah, Salim maula Abi Khudzaifah, Zaid ibn al-Khattab, dan lain-lain.

Kabar gugurnya Zaid ibn al-Khaththab sampai ke Umar

Saat mendengar kabar gugurnya Zaid, Amirul Mukminin Umar ibn al-Khaththab berkata kepada putranya, Abdullah ibn Umar, “Kenapa kamu tidak gugur sebelum Zaid? Ia gugur sedangkan kau masih hidup.” Abdullah ibn Umar menjawab, “Aku sendiri mengharapkan itu, tetapi terlambat. Allah menganugerahkan kesyahidan kepadanya.”

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Imam Sahal mengatakan bahwa Umar r.a. berkata, “Apa yang kaubawa, sementara Zaid telah gugur? Tidakkah kau malu memperlihatkan wajahmu kepadaku?!” Abdullah ibn Umar menjawab, “Ia telah memohon kesyahidan kepada Allah, kemudian Allah memberinya; aku sendiri berupaya mendapatkannya, tetapi Dia belum memberikannya kepadaku.”

Wangi tubuh Zaid ibn al-Khattab

Diceritakan bahwa jika Umar ibn al-Khattabmengingat saudaranya Zaid, ia akan berkata, “Tak bertiup angin dari timur kecuali aku mencium wangi (tubuh) Zaid.”

Tak mengherankan jika Umar selalu ingat saudaranya. Ketika Umar mendengar ratapan Mutammim ibn Naurah terhadap saudaranya Malik (yang telah wafat), ia berkata, “Seandainya aku dapat menggubah syair yang indah, niscaya kugubah syair untuk mengenang saudaraku seperti yang kaulakukan terhadap saudaramu.” Mutammim menjawab, “Seandainya kematian saudaraku sama seperti kematian saudaramu, tentu aku tidak akan berduka.” Umar r.a. berkata, “Tidak ada seorang pun yang menghiburku saat berduka seperti caramu menghiburku.”

(St.Diyar)

Referensi:Muhammad Raji Hasan Kinas, Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi, 2012

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement