SURAU.CO-Zaid ibn al-Khaththab sahabat Nabi dari suku Quraisy keturunan Bani Adi. Ayahnya bernama al-Khaththab ibn Nufail dan ibunya bernama Asma binti Wahab al-Asadiyah. Ia bersaudara dengan seorang sahabat besar dan Khalifah Rasulullah yang kedua, Umar ibn al-Khaththab. Usianya lebih tua dari Umar dan lebih dahulu memeluk Islam. Ia sering dipanggil dengan sebutan Abu Abdurrahman.
Ketika berhijrah ke Madinah, Rasulullah mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar. Zaid dipersaudarakan dengan Ma’an ibn Adi, sahabat Anshar dari Bani al-Ajlan. Kedua sahabat itu syahid dalam Perang Yamamah, setelah mengerahkan segenap kemampuan dalam peperangan.
Menjadikan syahid sebagai impian
Mati sebagai syahid selalu menjadi impian Zaid. Saudaranya, Umar ibn al-Khaththab, melihat hal itu pada diri saudaranya saat Perang Uhud. Ketika itu, Zaid berjuang mati-matian tanpa mengenakan baju perang. Umar berkata, “Pakailah baju perangku.” Namun, Zaid menjawab, ”Aku sungguh menginginkan mati syahid sebagaimana kau pun menginginkannya.” Akhirnya, Umar pun menanggalkan baju perangnya.
Sebenarnya, Zaid dan Umar bukanlah saudara sekandung, tetapi kecemerlangan keduanya tak jauh berbeda. Harapan untuk mendapat syahid dalam Perang Uhud luput mereka dapatkan.
Zaid menerima ajaran Islam dan mengamalkannya sepenuh hati tanpa keraguan sedikit pun. Keberaniannya dalam setiap peperangan selalu dipandu oleh kecerdikan dan kecerdasan akal pikirnya.
Masuk dalam muhajirin gelombang pertama
Zaid termasuk dalam rombongan Muhajirin pertama yang tiba di Madinah. Saat Rasulullah tiba di Madinah, Zaid beserta kaum Muhajirin dan Anshar berbondong-bondong menyambut beliau. Saat itu, nyaris seluruh penduduk Madinah keluar rumah untuk menyambut kedatangan sang tamu agung.
Pada saat pembangunan Masjid Nabi, Zaid sangat aktif membantu pembangunan bersama kaum Muhajirin dan Anshar. Mereka bekerja bahu-membahu. Ketika masjid selesai dibangun dan siap digunakan, Zaid tak pernah absen mengikuti shalat jamaah di belakang Rasulullah. Begitu mendengar panggilan shalat, ia langsung datang ke masjid. Ia pun selalu menghadiri majelis Rasulullah bersama para sahabat lain untuk mendengarkan nasihat dan tuntunan beliau tentang agama.
Ketika tiba seruan jihad, Zaid lekas menyambutnya. Ia segera bergabung dengan pasukan muslim seraya tak lupa membawa senjata dan peralatan perang lainnya.
Hanya menghadapi tiga jenis musuh
Saat perang berkecamuk, Zaid bertarung dengan gagah berani. Di hadapannya hanya ada tiga jenis musuh: yang berusaha membunuh Zaid, yang lari dari hadapannya, atau yang mati terbunuh akibat tebasan pedang Zaid. Perawakannya yang jangkung membuatnya lebih mudah mengayunkan pedang ke musuh, sedangkan pedang musuh sulit menjangkau tubuhnya. Karena itu, siapa pun yang berhadapan dengannya, lebih baik merelakan harta perangnya menjadi ghanimah (rampasan perang) daripada menjadi sasaran sabetan pedangnya.
Bersama saudaranya Umar ibn al-Khaththab, Zaid ikut menyaksikan dahsyatnya Perang Badar. Pada saat itu, kaum muslim tercengang, nyaris tak percaya melihat beberapa pemuka Quraisy tumbang berkalang tanah dan darah mereka membasahi bumi Badar. Semua itu terjadi berkat pertolongan Allah dan kesungguhan kaum muslim.
Ketika terjadi Perang Uhud, Zaid termasuk di antara pasukan yang bertahan di tempatnya. Tak terlintas sedikit pun dalam pikirannya keinginan untuk meninggalkan medan perang. Ia heran melihat pasukan pemanah kaum muslim berani melanggar perintah Rasulullah. Mereka meninggalkan posisi di puncak bukit, padahal mereka dilarang meninggalkannya, apa pun yang terjadi. Ia juga heran melihat sebagian pasukan Muslim meninggalkan medan perang. Sungguh pemandangan yang membuatnya miris.
Menjemput syahid pada perang Yamamah
Ketika perang Yamamah pecah demi melawan Nabi palsu, Zaid kembali ke medan jihad. Saat bertarung tiba-tiba ia diserang dari belakang oleh Abu Maryam al-Hunaifi. Sabetan pedang Abu Maryam mengantarkan Zaid pada cita-cita tertingginya–syahid di medan perang.
Usai Perang Yamamah, Abu Maryam al-Hunaifi menyatakan masuk Islam dan bertemu dengan Umar saat beliau menjadi Khalifah. Saat itu, Abu Maryam berkata, “Allah telah memuliakan Zaid melalui tanganku.” Maksudnya, ia telah membunuh Zaid sehingga ia masuk surga karena mati sebagai syahid. Seandainya saat itu ia yang terbunuh, tentu ia masuk neraka karena mati sebagai kafir.(St.Diyar)
Referensi:Muhammad Raji Hasan Kinas, Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi, 2012
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
