Khazanah
Beranda » Berita » Islam yang Terasa Asing di Era Globalisasi

Islam yang Terasa Asing di Era Globalisasi

SURAU.CO. Di tengah derasnya arus globalisasi, kita sering menemukan kenyataan yang menyedihkan, bahwa Islam yang sejatinya membawa keselamatan dan rahmat bagi seluruh alam, justru sering dipandang asing, bahkan oleh sebagian umatnya sendiri. Padahal, agama bukan sekadar ritual atau identitas formal, melainkan fondasi hidup yang mengarahkan manusia agar tumbuh sebagai pribadi utuh, yang seimbang antara akal, jiwa, dan perilaku sosial.

Agama, khususnya Islam, bukan hanya mengatur ibadah vertikal antara hamba dengan Tuhannya, tetapi juga hubungan horizontal antar sesama manusia dan dengan alam semesta. Islam mengajarkan keselarasan, keseimbangan, dan keharmonisan dalam seluruh aspek kehidupan. Namun, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya global membuat masyarakat berubah dengan sangat cepat.

Teknologi komunikasi, transportasi, hingga media sosial membawa dampak luar biasa. Sayangnya, tidak sedikit generasi muda yang kehilangan arah. Mereka terjebak pada gaya hidup yang jauh dari nilai moral, norma agama, dan etika sosial. Fenomena seperti pergaulan bebas, pacaran ala budaya Barat, normalisasi seks bebas, serta kebiasaan mengumbar aurat di media sosial menjadi gejala nyata dari keterasingan Islam di era modern.

Islam yang Terasing di Tengah Umatnya

Jauh sebelum zaman ini datang, Rasulullah ﷺ sudah memberikan peringatan akan fenomena ini. Rasulullah ﷺ bersabda: “Islam itu bermula dalam keadaan asing, dan akan kembali menjadi asing sebagaimana awalnya. Maka berbahagialah orang-orang yang terasing.” (HR. Muslim no. 145)

Hadis ini seolah menggambarkan kondisi umat saat ini. Banyak orang menganggap hijab hanya untuk kalangan tertentu, dan shalat bukan merupakan kewajiban. Bahkan sebagian anak muda menilai orang yang rajin ibadah sebagai “alim” yang langka dan berbeda dari kebanyakan. Padahal, menutup aurat adalah kewajiban bagi setiap muslimah, sebagaimana Allah SWT perintahkan dalam Al-Quran.

Hidup Lambat (Slow Living) ala Rasulullah: Menemukan Ketenangan di Kitab Nawawi

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An-Nur : 31)

Dan shalat adalah tiang agama yang wajib bagi seluruh muslim, sebagaimana Allah SWT perintahkan dalam QS. Al-Baqarah ayat 43, “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku.”

Sheikh Ali Jaber (rahimahullah) pernah mengingatkan bahwa umat Islam zaman ini sering jauh dari ajarannya sendiri. Fenomena pacaran, gaya hidup kebarat-baratan, hingga budaya joget di media sosial memperlihatkan bahwa banyak generasi muda terhanyut oleh tren tanpa menimbang halal-haram. Hal ini bukan sekadar masalah moralitas, melainkan tanda lemahnya pendidikan agama yang seharusnya menjadi benteng utama.

Tantangan Globalisasi dan Pendidikan Islam

Perkembangan globalisasi membawa dua sisi dalam kehidupan yaitu peluang sekaligus tantangan. Di satu sisi, ia membuka akses ilmu, mempercepat kemajuan teknologi, dan memperluas jangkauan dakwah. Namun di sisi lain, ia melahirkan arus budaya sekuler yang mengikis nilai-nilai agama.

Pendidikan Islam pun menghadapi ujian berat. Alih-alih adaptif dan inovatif menyikapi perkembangan zaman, sebagian lembaga pendidikan justru masih terjebak pola lama. Akibatnya, pendidikan agama cenderung menjadi sebatas pengajaran spiritual, bukan sebagai panduan hidup yang membumi dan solutif menghadapi perkembangan zaman.

Riyadus Shalihin dan Fenomena FOMO: Mengapa Kita Takut Tertinggal?

Menurut A. Malik Fadjar, setidaknya ada tiga tantangan besar dalam menghadapi era globalisasi. Dalam era globalisasi kita harus mampu tetap mempertahankan capaian yang baik dari masa lalu agar tidak terus tergerus oleh perilaku negatif, mengantisipasi tantangan global, dan melakukan reformasi dan penyesuaian sistem pendidikan. Mengubah sistem pendidikan agama agar dapat mengikuti perkembangan zaman tanpa mengurangi nilai-nilainya, merupakan cara agar anak muda dapat menerima dan mengaplikasikan nilai agama dalam kehidupan sehari-hari

Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu.” Pesan ini menegaskan bahwa pendidikan Islam harus relevan dengan konteks zaman. Jika sistem pendidikan Islam gagal beradaptasi, maka generasi muslim akan tertinggal dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, sekaligus kehilangan identitas keislamannya.

Integrasi Ilmu dan Agama

Salah satu masalah terbesar saat ini adalah dikotomi ilmu. Banyak dari kita menganggap ilmu agama terpisah dari ilmu umum. Padahal, dalam tradisi Islam klasik, tidak ada pemisahan antara keduanya. Ulama seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, dan Al-Khawarizmi membuktikan bahwa seorang muslim bisa menjadi ahli agama sekaligus ilmuwan besar.

Al-Qur’an berulang kali mendorong manusia untuk berpikir, meneliti, dan belajar. Allah berfirman, “Katakanlah: Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS. Az-Zumar: 9)

Ayat ini menunjukkan bahwa Islam menempatkan ilmu sebagai pondasi kemuliaan. Namun, penguasaan ilmu tidak boleh dilepaskan dari nilai-nilai agama. Ilmu pengetahuan dan teknologi harus berjalan beriringan dengan akhlak, iman, dan ketakwaan. Jika ilmu dipisahkan dari agama, maka lahirlah generasi pintar secara intelektual, tetapi miskin moral. Dan inilah yang sering kita saksikan dalam fenomena dekadensi akhlak.

Urgensi Riyadhus Shalihin sebagai Pondasi Utama Pendidikan Karakter Bangsa

Strategi Menghadapi Globalisasi

Untuk memastikan Islam tidak semakin terasing di tengah derasnya arus globalisasi, umat Islam perlu menempuh langkah-langkah strategis yang nyata. Pertama, pendidikan agama harus diperkuat dengan pendekatan yang kontekstual sehingga mampu menjawab tantangan modern, bukan sekadar berhenti pada teori. Misalnya, ajaran Islam perlu dipraktikkan dalam isu-isu kontemporer seperti etika digital, penggunaan media sosial, hingga perkembangan bioteknologi, agar agama hadir sebagai panduan yang relevan dalam kehidupan sehari-hari.

Kedua, kurikulum pendidikan sebaiknya tidak lagi memisahkan ilmu agama dan ilmu umum, karena seorang muslim idealnya bisa menguasai teknologi modern tanpa kehilangan akhlak mulia. Dengan integrasi ini, akan lahir generasi ulul albab, yaitu pribadi yang berilmu luas, beriman kokoh, dan beramal saleh sebagaimana ditegaskan dalam QS. Ali Imran ayat 190-191.

Ketiga, memanfaatkan media sosial sebagai sarana dakwah, bukan lagi hanya berisikan konten-konten unfaedah. Umat Islam harus mengambil peran positif dalam ber-media sosial dengan memproduksi konten kreatif, edukatif, dan inspiratif, sehingga pesan kebaikan tersebar luas dan tidak kalah oleh dominasi budaya hedonis.

Keempat, lembaga pendidikan Islam seperti sekolah dan pesantren harus berani melakukan reformasi. Pembaruan tidak boleh ditakuti, asalkan tetap berpegang pada nilai dasar Islam. Model pembelajaran yang kritis, inovatif, dan relevan akan melahirkan generasi yang tidak hanya memahami ajaran agama, tetapi juga mampu bersaing di tingkat global.

Terakhir, peran keteladanan dari ulama, guru, dan orang tua menjadi faktor kunci. Pendidikan tidak hanya terjadi dalam ceramah di ruang kelas. Anak-anak belajar lebih efektif dari contoh nyata ketimbang sekadar nasihat. Oleh karena itu, ketika orang tua, guru, dan ulama menampilkan akhlak yang luhur, generasi muda akan lebih mudah meneladani nilai-nilai Islam dalam keseharian mereka.

Islam adalah Solusi, Bukan Penghalang

Kerap kali, Islam dituduh sebagai agama yang kaku, konservatif, bahkan menghambat kemajuan. Tuduhan ini lahir karena kegagalan sebagian umat dalam mempraktikkan Islam secara benar. Padahal, sejarah menunjukkan sebaliknya, kebangkitan peradaban Barat berakar pada tradisi ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh peradaban Islam.

Dengan kata lain, masalah kita bukan pada ajaran Islam, melainkan pada lemahnya penerapan nilai-nilainya di tengah tantangan zaman. Islam justru memberi arah agar modernisasi tidak melahirkan manusia yang kehilangan akhlak.

Era globalisasi adalah keniscayaan. Ia membawa tantangan sekaligus peluang. Namun, globalisasi tidak boleh menjadikan Islam semakin asing di tengah umatnya. Justru sebaliknya, inilah saatnya umat Islam menghidupkan kembali ajaran agamanya dengan pendekatan yang kontekstual, inovatif, dan membumi.

Reformasi pendidikan Islam harus mampu melahirkan generasi yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa tercerabut dari akar moralitas dan spiritualitasnya. Sebab, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ, “Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim no. 2699)

Jika umat Islam mampu mengintegrasikan ilmu, iman, dan amal dalam menghadapi arus globalisasi, maka Islam tidak lagi menjadi asing, tetapi justru tampil sebagai solusi bagi krisis moral dan kemanusiaan global.

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement