Perjalanan Hidup yang Membentuk Pandangan Besar
Frasa kunci “jejak intelektual Ibn Khaldūn” selalu muncul ketika kita membicarakan tokoh besar dalam sejarah Islam. Seorang anak kelahiran Tunis (1332 M), yang kemudian berkelana ke Kairo, meninggalkan karya agung al-Muqaddimah. Perjalanan panjangnya—dari politikus, diplomat, hingga ulama—menjadi fondasi bagi lahirnya teori sosial dan sejarah yang masih relevan hingga hari ini.
Dalam keseharian, kita sering lupa bahwa ide-ide besar tak lahir dari ruang hampa. Seperti seorang perajin yang mengasah kayu menjadi ukiran indah, begitu pula Ibn Khaldūn mengasah pikirannya lewat pengalaman hidup yang penuh dinamika.
Tunis: Tanah Kelahiran dan Fondasi Awal
Di Tunis, ia tumbuh dalam keluarga terdidik. Lingkungan ilmiah Afrika Utara memberinya dasar ilmu bahasa, fikih, dan filsafat. Ibn Khaldūn menulis dalam al-Muqaddimah:
“الْإِنْسَانُ مَدَنِيٌّ بِالطَّبْعِ، لَا بُدَّ لَهُ مِنَ الْاِجْتِمَاعِ“
“Manusia itu bersifat sosial secara alami, ia tidak mungkin hidup tanpa masyarakat.”
Kutipan ini lahir dari pengamatan mendalam sejak muda. Ia melihat bagaimana masyarakat Tunis saling bergantung, dari pasar hingga majelis ilmu. Dari sinilah benih-benih gagasan tentang ‘umran (peradaban) mulai tumbuh.
Andalusia dan Maghrib: Politik yang Mendidik
Jejak intelektual Ibn Khaldūn tak bisa dilepaskan dari keterlibatannya dalam politik. Ia pernah terjun dalam urusan pemerintahan di Granada dan Maghrib. Namun, perjalanan ini penuh intrik dan konflik, hingga membuatnya belajar tentang rapuhnya kekuasaan. Ia menulis dengan jujur dalam al-Muqaddimah:
“الْمُلْكُ إِذَا دَخَلَهُ الْعَجْزُ وَالتَّرَفُ أَدْبَرَ وَزَالَ“
“Jika kekuasaan telah dikuasai kelemahan dan kemewahan, maka ia akan mundur dan hilang.”
Fenomena ini terasa sangat nyata bahkan hingga kini. Kita bisa menyaksikan bagaimana kemewahan dan ketidakadilan bisa meruntuhkan suatu bangsa. Pandangan Ibn Khaldūn terasa seperti nasihat lintas zaman.
Kairo: Puncak Intelektual dan Warisan Abadi
Perjalanan akhirnya membawanya ke Kairo, pusat peradaban dunia Islam kala itu. Di sana, Ibn Khaldūn menemukan ketenangan untuk mengajar, menulis, dan merenung. Ia menempati posisi penting di Al-Azhar dan menghasilkan karya monumentalnya.
Dalam al-Muqaddimah ia menegaskan:
“التَّارِيخُ فِي ظَاهِرِهِ إِخْبَارٌ، وَفِي بَاطِنِهِ نَظَرٌ وَتَحْقِيقٌ“
“Sejarah pada lahiriahnya adalah kabar, namun pada batinnya adalah analisis dan penyelidikan.”
Kutipan ini menandai lahirnya metode ilmiah dalam studi sejarah. Bagi Ibn Khaldūn, menulis sejarah bukan hanya menumpuk cerita, melainkan menggali makna sosial, ekonomi, dan politik di balik peristiwa.
Spiritualitas dalam Jejak Intelektual
Meski sibuk dalam dunia politik dan ilmu pengetahuan, Ibn Khaldūn tidak meninggalkan spiritualitas. Ia menyadari bahwa perjalanan hidupnya hanyalah bagian dari takdir Allah. Firman Allah menguatkan hal ini:
وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ
“Di atas setiap orang yang berilmu, masih ada Yang Maha Mengetahui.” (QS. Yusuf: 76)
Ayat ini seakan menegaskan kerendahan hati seorang Ibn Khaldūn. Betapapun luas ilmunya, ia tetap menempatkan Allah sebagai sumber kebenaran tertinggi.
Pelajaran untuk Dunia Modern
Jejak intelektual Ibn Khaldūn masih terasa hingga zaman kita. Ia mengajarkan bahwa sejarah adalah cermin, ekonomi adalah tulang punggung peradaban, dan kekuasaan harus dijaga dari kerakusan. Dalam al-Muqaddimah, beliau menulis:
“اَلْعُمْرَانُ يَقُومُ عَلَى الْعَدْلِ، فَإِذَا فُقِدَ زَالَ“
“Peradaban berdiri di atas keadilan, jika keadilan hilang maka ia pun runtuh.”
Kalimat ini mengingatkan bahwa apa pun bentuk pembangunan modern—dari kota besar hingga desa digital—akan sia-sia jika tidak berdiri di atas asas keadilan.
Refleksi: Dari Pengembara Menjadi Guru Dunia
Jejak hidup Ibn Khaldūn, dari Tunis ke Kairo, adalah kisah seorang pengembara yang akhirnya menjadi guru dunia. Kita bisa belajar bahwa pengalaman pahit, kegagalan politik, bahkan pengasingan, dapat berubah menjadi mutiara pengetahuan jika direnungkan dengan jernih.
Hari ini, ketika kita membaca al-Muqaddimah, kita tidak hanya membaca sejarah abad pertengahan, tetapi juga menemukan cermin diri. Kita diajak untuk lebih kritis, adil, dan berani menata kehidupan bersama. Jejak intelektual Ibn Khaldūn bukan sekadar warisan, tetapi juga panduan moral untuk membangun peradaban yang lebih manusiawi.
*Sugianto Al-Jawi
Budayawan Kontenporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
