Sejak zaman dahulu, Ibn Khaldūn melalui karya monumentalnya Al-Muqaddimah sudah menyinggung fenomena siklus kehidupan dinasti. Menurutnya, sebuah kekuasaan lahir dengan penuh ketegasan, berkembang menuju kejayaan, lalu perlahan melemah hingga runtuh. Frasa kunci “siklus kehidupan dinasti” bukan hanya cocok untuk menggambarkan kerajaan masa lalu, tetapi juga relevan untuk memahami kondisi politik, ekonomi, dan sosial bangsa modern.
Dinasti dan Pola Kehidupan yang Berulang
Bayangkan sebuah keluarga kecil yang baru merintis usaha. Generasi pertama bekerja keras, hidup sederhana, dan menanggung segala tantangan. Usaha berkembang karena mereka disiplin. Generasi kedua menikmati hasil jerih payah pendahulunya, lalu memperluas bisnis dengan gaya hidup yang lebih nyaman. Hingga tiba generasi ketiga, di mana kemewahan sering membuat mereka terlena, lupa akan semangat perjuangan. Pola ini persis dengan analisis Ibn Khaldūn tentang dinasti dan kekuasaan.
Dalam Al-Muqaddimah, ia menulis:
“الملك لا يستقيم إلا بالعصبية، فإذا فنيت العصبية فني الملك“
“Kekuasaan tidak akan tegak tanpa solidaritas (‘ashabiyyah). Jika solidaritas hancur, maka kekuasaan pun runtuh.”
Solidaritas yang lahir di awal menjadi fondasi tegaknya dinasti. Namun, ketika kenyamanan menggantikan semangat perjuangan, kekuasaan itu mulai rapuh.
Tiga Generasi: Dari Tegas Menuju Lemah
Ibn Khaldūn menjelaskan bahwa siklus dinasti biasanya hanya bertahan sekitar tiga generasi. Generasi pertama keras, disiplin, dan penuh keberanian. Generasi kedua hidup dalam kelapangan, namun masih membawa semangat perjuangan. Sedangkan generasi ketiga menikmati kemewahan, kehilangan disiplin, hingga akhirnya melemah.
Ia menulis:
“الجيل الأول يعرف الشظف والخشونة، والثاني يعرف الترف والرفاه، والثالث يفسد فيه الملك ويضمحل“
“Generasi pertama mengenal kesederhanaan dan kekerasan hidup, generasi kedua mengenal kemewahan, sedangkan pada generasi ketiga kekuasaan rusak dan lenyap.”
Bukankah kita sering melihat pola serupa dalam keluarga, organisasi, atau bahkan negara modern?
Cermin Kehidupan di Zaman Kini
Fenomena ini bukan sekadar teori sejarah. Kita bisa melihatnya pada perusahaan keluarga, partai politik, atau bahkan negara yang semula berdiri tegas, lalu perlahan kehilangan semangat perjuangan karena nyaman dengan kekuasaan.
Al-Qur’an sendiri mengingatkan tentang sunnatullah dalam perjalanan bangsa:
“وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ“ (QS. Āli ‘Imrān: 140)
“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia.”
Seakan Allah menegaskan bahwa setiap kekuasaan memiliki waktunya, dan hanya bangsa yang menjaga moral serta solidaritas yang bisa bertahan lebih lama.
Kemewahan sebagai Awal Keruntuhan
Dalam bab tentang kemewahan, Ibn Khaldūn menulis dengan tajam:
“إذا استكثر الملك من النعيم والترف، ضعف سلطانه، وتلاشت قوته“
“Apabila penguasa berlebihan dalam kenikmatan dan kemewahan, kekuasaannya melemah dan kekuatannya sirna.”
Kita pun sering melihatnya dalam kehidupan sehari-hari. Seorang pemimpin yang awalnya dekat dengan rakyat, lambat laun mulai sibuk menikmati fasilitas. Jarak dengan rakyat semakin lebar, hingga kekuasaan kehilangan akar dukungannya.
Refleksi untuk Kita Semua
Pola siklus kehidupan dinasti memberi pelajaran penting: semangat perjuangan tidak boleh hilang meski dalam kondisi mapan. Solidaritas harus terus dirawat, dan keadilan menjadi pijakan agar kekuasaan tidak mudah runtuh.
Rasulullah ﷺ pernah mengingatkan dalam sebuah hadis:
“إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوْا الظَّالِمَ فَلَمْ يَأْخُذُوا عَلَى يَدَيْهِ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللَّهُ بِعِقَابٍ“ (HR. Abū Dāwūd)
“Apabila manusia melihat kezaliman, namun mereka tidak mencegahnya, niscaya Allah akan menimpakan azab kepada mereka semua.”
Artinya, menjaga kekuasaan tetap adil bukan hanya tugas pemimpin, tetapi juga rakyat yang berani mengingatkan.
Menjaga Semangat Generasi Pertama
Agar tidak jatuh dalam siklus tiga generasi Ibn Khaldūn, kita harus menjaga nilai-nilai sederhana yang diwariskan generasi awal. Semangat kerja keras, solidaritas, dan kesadaran akan pentingnya keadilan harus ditanamkan terus-menerus.
Sebagaimana Ibn Khaldūn menulis:
“العصبية إذا استمرت، استمر الملك“
“Selama solidaritas terus dijaga, kekuasaan pun akan tetap bertahan.”
Ini bukan hanya untuk dinasti, tetapi juga organisasi, komunitas, bahkan keluarga kita sendiri.
Penutup
Siklus kehidupan dinasti ala Ibn Khaldūn adalah cermin sejarah sekaligus pelajaran untuk masa kini. Tiga generasi mungkin cukup untuk membuat kekuasaan runtuh jika semangat perjuangan tidak diwariskan. Karena itu, menjaga nilai kesederhanaan, solidaritas, dan keadilan adalah kunci agar bangsa, keluarga, atau organisasi tetap bertahan melewati zaman.
*Sugianto Al-Jawi
Budayawan Kontenporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
