Ketika mendengar kata sejarah, banyak orang langsung teringat pada hafalan tahun, tokoh, atau peristiwa. Namun, Ibn Khaldūn dalam karya besarnya Al-Muqaddimah mengajarkan bahwa sejarah bukan sekadar catatan masa lalu, melainkan ilmu yang memadukan politik, ekonomi, dan dinamika sosial. Dengan pendekatan kritis dan analitis, ia menghadirkan warisan besar yang relevan hingga kini.
Sejak paragraf awal bukunya, Ibn Khaldūn menegaskan bahwa sejarah adalah cabang ilmu yang sarat hikmah. Tidak hanya mencatat, tetapi juga menjelaskan mengapa suatu peradaban lahir, berkembang, lalu runtuh. Ia menulis:
“إن التاريخ في ظاهره لا يزيد عن أخبار عن الأيام والدول والسوابق من القرون الأولى، وفي باطنه نظر وتحقيق وتعليل للكائنات ومبادئها دقيق.”
Sejarah pada lahiriahnya tidak lebih dari berita tentang hari-hari, negara, dan peristiwa masa lalu. Namun pada batinnya, sejarah adalah kajian, penyelidikan, dan penjelasan mendalam tentang sebab-sebab kejadian.
Sejarah Bukan Sekadar Mengingat, tetapi Memahami
Kutipan tersebut mengingatkan kita bahwa membaca sejarah tanpa analisis sama seperti menonton film tanpa memahami alur. Sejarah, menurut Ibn Khaldūn, harus dipahami dengan mencari pola. Mengapa suatu kerajaan makmur, lalu hancur? Mengapa masyarakat tertentu mampu menciptakan peradaban, sementara yang lain tetap tertinggal?
Fenomena ini masih bisa kita lihat hari ini. Sebuah perusahaan startup, misalnya, bisa berkembang cepat dengan semangat kebersamaan, tetapi bisa runtuh ketika keserakahan mengambil alih. Prinsip yang sama berlaku pada bangsa dan negara.
Politik sebagai Fondasi Kekuasaan
Selain sejarah, Al-Muqaddimah menyoroti politik sebagai faktor penting dalam keberlangsungan masyarakat. Ibn Khaldūn menekankan bahwa kekuasaan lahir dari solidaritas (‘ashabiyyah) dan kepercayaan rakyat. Tanpa itu, negara akan rapuh.
Ia menulis:
“الملك لا يحصل إلا بالعصبية، وإذا ذهبت العصبية ذهب الملك.”
Kekuasaan tidak akan tercapai kecuali dengan solidaritas. Jika solidaritas hilang, maka kekuasaan pun lenyap.
Kalimat ini sederhana, tetapi sangat relevan. Politik yang hanya berorientasi pada kepentingan segelintir orang pasti berumur pendek. Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa melihat contoh kecilnya: organisasi yang retak karena kehilangan semangat kebersamaan akan sulit bertahan.
Al-Qur’an juga menekankan pentingnya persatuan. Allah berfirman:
﴿وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا﴾ (آل عمران: 103)
“Berpeganglah kamu semua pada tali Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai.” (QS. Ali ‘Imran: 103)
Ayat ini menguatkan pandangan Ibn Khaldūn bahwa kekuatan politik sejati hanya lahir dari kebersamaan, bukan dari perpecahan.
Ekonomi sebagai Denyut Peradaban
Tak kalah penting, Al-Muqaddimah juga mengulas soal ekonomi. Ibn Khaldūn memahami betul bahwa tanpa basis ekonomi yang sehat, negara tidak bisa bertahan. Ia menghubungkan kemakmuran dengan kerja keras, produksi, dan pembagian kerja.
“العمل هو أصل الكسب، والكسب أصل الغنى.”
Kerja adalah asal dari penghasilan, dan penghasilan adalah asal dari kekayaan.
Pernyataan ini menegaskan bahwa kesejahteraan tidak lahir dari ilusi, tetapi dari kerja nyata. Hal ini bisa kita rasakan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, seorang petani yang dengan tekun mengolah tanah akan melihat hasil panennya, sementara orang yang hanya berharap tanpa bekerja tidak akan meraih apa-apa.
Konsep ini mirip dengan pesan Al-Qur’an:
﴿وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى﴾ (النجم: 39)
“Dan bahwa manusia tidak memperoleh selain dari apa yang telah diusahakannya.” (QS. An-Najm: 39)
Dengan demikian, Ibn Khaldūn memadukan antara rasionalitas ekonomi dan nilai spiritual Islam, menjadikan ilmunya komprehensif.
Hubungan Sejarah, Politik, dan Ekonomi
Menariknya, Ibn Khaldūn tidak melihat ketiga bidang ini—sejarah, politik, dan ekonomi—secara terpisah. Ia melihatnya sebagai satu kesatuan. Sejarah memberi pelajaran, politik mengatur kekuasaan, dan ekonomi menopang kehidupan. Jika salah satunya rapuh, maka peradaban akan goyah.
Dalam Al-Muqaddimah ia menulis:
“الدولة والملك لا يقومان إلا بالعمران، والعمران لا يقوم إلا بالمال، والمال لا يحصل إلا بالعمل.”
Negara dan kekuasaan tidak akan tegak tanpa peradaban. Peradaban tidak akan tegak tanpa harta, dan harta tidak akan terwujud tanpa kerja.
Inilah logika berantai Ibn Khaldūn: kerja → kekayaan → peradaban → kekuasaan. Sebuah teori yang terasa sederhana, tetapi sesungguhnya sangat kompleks dan aplikatif.
Relevansi untuk Dunia Modern
Warisan besar Al-Muqaddimah tetap relevan hingga hari ini. Politik yang sehat tidak bisa dipisahkan dari ekonomi yang adil, dan sejarah selalu memberikan pola tentang naik turunnya bangsa.
Di era globalisasi, kita sering melihat negara yang kuat secara ekonomi juga memiliki pengaruh politik besar. Sebaliknya, negara yang ekonominya lemah mudah terombang-ambing dalam percaturan internasional.
Pelajaran dari Ibn Khaldūn jelas: jangan memisahkan sejarah dari politik dan ekonomi. Ketiganya adalah satu kesatuan yang harus dipelajari dengan hati-hati.
Penutup: Hikmah Abadi dari Al-Muqaddimah
Ibn Khaldūn mengajarkan bahwa sejarah bukan hafalan, politik bukan intrik belaka, dan ekonomi bukan sekadar angka. Semua itu adalah denyut kehidupan masyarakat yang saling terhubung.
Dengan membaca Al-Muqaddimah, kita diajak untuk lebih kritis melihat dunia: memahami masa lalu, merancang masa depan, dan hidup lebih bijak di masa kini.
*Sugianto Al-Jawi
Budayawan Kontrenporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
