Khazanah
Beranda » Berita » Ibn Khaldūn dan Kritiknya terhadap Alkimia: Ilmu Harus Rasional

Ibn Khaldūn dan Kritiknya terhadap Alkimia: Ilmu Harus Rasional

Ibn Khaldūn menolak alkimia demi ilmu rasional.
Ilustrasi semi-realis tentang seorang pemikir Muslim yang menolak janji kosong alkimia, menekankan pentingnya ilmu rasional.

Ibn Khaldūn dalam Al-Muqaddimah bukan hanya dikenal sebagai bapak sosiologi dan filsafat sejarah, tetapi juga sebagai sosok kritis terhadap klaim-klaim ilmiah yang tidak rasional. Salah satunya adalah pandangannya tentang alkimia. Sejak awal, ia menegaskan bahwa ilmu harus berlandaskan akal sehat, pengalaman, dan prinsip yang dapat diuji, bukan pada ilusi atau janji kosong.

Bagi kita yang hidup di era modern, pandangan ini terasa sangat relevan. Fenomena “ilmu instan” sering muncul dalam bentuk ramuan cepat kaya, investasi bodong, hingga klaim pengobatan ajaib. Semua itu mirip dengan janji-janji alkimia yang pernah dikritik Ibn Khaldūn.

Mengapa Alkimia Dipertanyakan?

Alkimia pada zamannya diyakini sebagai ilmu yang mampu mengubah logam biasa menjadi emas. Banyak orang menghabiskan harta, tenaga, bahkan hidupnya demi mencari “rahasia emas”. Ibn Khaldūn melihat fenomena ini dengan tajam. Dalam Al-Muqaddimah, ia menulis:

إن الكيمياء ليست من العلوم الطبيعية ولا من العلوم الشرعية وإنما هي خرافة

Sesungguhnya alkimia bukanlah bagian dari ilmu alamiah dan bukan pula dari ilmu syar’i, melainkan hanyalah khurafat.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Ia memandang alkimia lebih dekat kepada ilusi ketimbang sains. Kritik ini menunjukkan keberanian Ibn Khaldūn untuk menolak sesuatu yang dianggap populer, tetapi tidak logis.

Rasionalitas sebagai Fondasi Ilmu

Ibn Khaldūn menekankan bahwa ilmu harus bersandar pada rasionalitas. Ia percaya bahwa pengetahuan tidak boleh keluar dari kerangka pengalaman dan akal sehat. Dalam Al-Muqaddimah, ia berkata:

العلم الحقيقي هو ما كان مبنيًا على البرهان والتجربة

Ilmu sejati adalah yang dibangun atas dasar bukti dan pengalaman.

Kalimat ini terasa sederhana, tetapi maknanya mendalam. Ilmu bukan sekadar hafalan atau keyakinan, melainkan sesuatu yang harus diuji dan diverifikasi.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Jika kita kaitkan dengan kehidupan sehari-hari, prinsip ini mengingatkan kita agar tidak mudah percaya pada informasi yang beredar di media sosial. Kita perlu memverifikasi, membandingkan, dan memastikan kebenarannya sebelum mempercayai atau menyebarkan.

Perspektif Religius tentang Kebenaran

Al-Qur’an pun mendorong manusia untuk menggunakan akal dalam memahami realitas. Allah berfirman:

﴿قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ (البقرة: 111)

“Katakanlah: Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu memang benar.” (QS. Al-Baqarah: 111)

Ayat ini selaras dengan kritik Ibn Khaldūn. Klaim tanpa bukti hanyalah janji kosong. Baik dalam agama maupun ilmu pengetahuan, bukti menjadi landasan kebenaran.

Meredam Polarisasi Bangsa Melalui Esensi Bab “Mendamaikan Manusia”

Bahaya Ilusi dan Kejatuhan Peradaban

Ibn Khaldūn memperingatkan bahwa kepercayaan buta pada alkimia bisa melemahkan masyarakat. Ia menulis:

الانشغال بالكيمياء يفسد الأموال والعقول

Kesibukan dengan alkimia merusak harta dan akal.

Artinya, orang yang terjebak dalam janji-janji palsu tidak hanya kehilangan materi, tetapi juga kejernihan berpikir. Mereka hidup dalam mimpi yang tidak pernah nyata.

Dalam konteks modern, kita bisa melihat bagaimana masyarakat bisa terjebak dalam investasi bodong, bisnis tipu-tipu, atau praktik pseudoscience. Semua itu adalah bentuk alkimia versi baru yang sama-sama menggerus akal sehat.

Ilmu Harus Membawa Manfaat

Menurut Ibn Khaldūn, ilmu sejati adalah yang memberi manfaat bagi manusia dan masyarakat. Ia menulis:

العلم إن لم يفد في المعاش والمعاد فهو عبث

Ilmu, jika tidak memberi manfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat, maka ia hanyalah kesia-siaan.

Kutipan ini memberi pesan moral: ilmu bukan hanya soal logika, tetapi juga soal tujuan. Pengetahuan yang baik adalah yang mendekatkan kita pada kemaslahatan, bukan yang menjerumuskan pada kesesatan.

Di sini Ibn Khaldūn menempatkan rasionalitas dan nilai religius dalam satu garis lurus. Ilmu yang rasional sekaligus harus bernilai etis dan bermanfaat.

Refleksi untuk Dunia Islam dan Kita

Dunia Islam pernah maju karena ilmu yang rasional, terbuka, dan kritis. Ketika para ilmuwan muslim meneliti dengan eksperimen, mereka melahirkan kemajuan dalam astronomi, kedokteran, dan matematika. Namun, ketika masyarakat lebih percaya pada ilusi seperti alkimia, kemajuan pun terhenti.

Kita pun perlu bercermin. Apakah hari ini kita lebih banyak mengandalkan bukti, atau masih terjebak dalam “alkimia modern”? Apakah kita mendidik generasi dengan rasionalitas, atau sekadar hafalan tanpa makna?

Hadis Nabi ﷺ juga memberi arahan:

اطلبوا العلم من المهد إلى اللحد

Tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga ke liang lahad. (HR. Baihaqi)

Hadis ini menekankan pentingnya ilmu sepanjang hidup, bukan ilmu semu, melainkan ilmu yang benar dan bermanfaat.

Penutup: Kritis, Rasional, dan Beriman

Kritik Ibn Khaldūn terhadap alkimia bukan sekadar perdebatan ilmiah abad pertengahan, melainkan pesan abadi: ilmu harus rasional, berbasis bukti, dan membawa manfaat. Tanpa itu, kita hanya mengulang kesalahan lama—mengejar ilusi emas yang tak pernah nyata.

Maka, jika ingin membangun peradaban yang kokoh, kita harus menghidupkan kembali semangat kritis Ibn Khaldūn: berpikir rasional, berpegang pada pengalaman, dan tetap menjaga nilai religius.

 

*Sugianto Al-Jawi

Budayawan Kontetporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement