Solidaritas sosial atau ‘ashabiyyah adalah salah satu gagasan paling terkenal dari Ibn Khaldūn dalam Kitab Al-Muqaddimah. Sejak paragraf pertama, penting untuk menegaskan bahwa solidaritas bukan sekadar rasa kebersamaan, melainkan sumber kekuatan yang mampu membentuk peradaban, menegakkan kekuasaan, dan sekaligus menjatuhkannya.
Fenomena ini dapat kita temui dalam kehidupan sehari-hari: dari komunitas kecil seperti keluarga, kelompok pengajian, hingga negara besar. Tanpa solidaritas, institusi runtuh. Dengan solidaritas yang kuat, sebuah kelompok kecil bisa menumbangkan kekuatan besar.
Solidaritas dalam Pandangan Ibn Khaldūn
Ibn Khaldūn menegaskan dalam Al-Muqaddimah:
“العصبية هي الرابطة التي تجمع القلوب وتؤلف الجماعات وتجعلها قادرة على دفع العدوان“
‘Ashabiyyah adalah ikatan yang menyatukan hati, membentuk kelompok, dan membuat mereka mampu menolak serangan.
Di sini jelas terlihat, menurut Ibn Khaldūn, bahwa kekuasaan politik lahir bukan semata dari kekuatan militer atau ekonomi, tetapi dari kesatuan hati.
Jika kita perhatikan, masyarakat modern pun masih hidup dengan prinsip ini. Lihatlah bagaimana solidaritas warga ketika bencana datang: mereka saling membantu, menggalang dana, dan berbagi tenaga. Ikatan inilah yang menjadi inti kekuatan sosial.
Kekuasaan yang Lahir dari Rasa Kebersamaan
Solidaritas menurut Ibn Khaldūn bukanlah sesuatu yang statis. Ia berkembang seiring kebutuhan manusia untuk mempertahankan diri. Dalam Al-Muqaddimah, ia berkata:
“الملك لا يحصل إلا بالعصبية“
Kekuasaan tidak akan tercapai kecuali dengan solidaritas.
Pernyataan ini menegaskan bahwa sebuah pemerintahan atau kerajaan mustahil berdiri tanpa dukungan kuat dari kelompok sosial yang merasa memiliki kepentingan bersama.
Jika kita tarik ke zaman sekarang, seorang pemimpin politik tidak akan kuat hanya dengan modal finansial atau popularitas. Ia butuh komunitas yang loyal, kelompok yang percaya, serta jejaring yang mendukung.
Pelajaran dari Kehidupan Sehari-hari
Cobalah kita bayangkan sebuah tim kecil di kantor atau sekolah. Bila semua anggota saling bersaing egois, pekerjaan akan tersendat. Namun, jika ada rasa kebersamaan, tim tersebut bisa bekerja lebih efektif daripada tim besar yang tidak solid.
Inilah yang dimaksud Ibn Khaldūn: kekuatan kolektif selalu mengungguli kekuatan individu. Bahkan, sejarah menunjukkan bahwa kelompok-kelompok nomaden yang solid mampu menumbangkan kerajaan besar yang mapan.
Landasan Religius: Persaudaraan dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an menegaskan pentingnya persaudaraan:
﴿إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ﴾ (الحجرات: 10)
“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara.” (QS. Al-Ḥujurāt: 10)
Ayat ini sejalan dengan pandangan Ibn Khaldūn bahwa kebersamaan menjadi fondasi kekuatan umat. Tanpa persaudaraan, iman menjadi kering dan kekuasaan kehilangan makna.
Solidaritas yang disebut Ibn Khaldūn bukan sekadar soal politik, melainkan nilai kemanusiaan yang dalam. Dengan rasa kebersamaan, kita bisa membangun keadilan sosial dan menghindari penindasan.
Siklus Naik Turunnya Kekuasaan
Ibn Khaldūn juga menjelaskan bahwa solidaritas memiliki siklus. Awalnya kuat, kemudian melemah seiring munculnya kemewahan, ego, dan kepentingan pribadi.
Dalam Al-Muqaddimah, ia menulis:
“إذا ضعفت العصبية ذهبت الدولة“
Jika solidaritas melemah, maka runtuhlah negara.
Pelajaran ini terasa relevan hingga kini. Kita sering menyaksikan organisasi, perusahaan, bahkan negara bubar karena konflik internal. Mereka mungkin kaya dan berkuasa, tetapi tanpa ikatan hati, semua akan runtuh.
Refleksi untuk Dunia Islam
Ibn Khaldūn hidup pada abad ke-14, namun gagasannya terasa sangat segar. Dunia Islam hari ini menghadapi tantangan besar, dari perpecahan internal hingga tekanan global. Jika kita kembali pada semangat ‘ashabiyyah yang sehat—yaitu solidaritas berbasis iman, nilai, dan kepentingan bersama—maka kebangkitan akan mungkin terjadi.
Hadis Nabi ﷺ juga menegaskan makna persaudaraan:
“المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضًا“
Seorang mukmin bagi mukmin lainnya seperti bangunan yang saling menguatkan satu sama lain. (HR. Bukhari-Muslim)
Hadis ini seakan menjadi penutup atas gagasan Ibn Khaldūn: kekuatan sejati lahir dari kebersamaan, bukan dari egoisme.
Penutup: Solidaritas Sebagai Energi Peradaban
Solidaritas bukan hanya kata indah dalam buku sejarah, tetapi sebuah energi sosial yang bisa kita rasakan di sekitar kita. Dari komunitas kecil hingga bangsa besar, rasa kebersamaan menentukan arah peradaban.
Ibn Khaldūn mengingatkan kita bahwa kekuasaan bukan sekadar alat politik, melainkan buah dari kebersamaan manusia. Jika solidaritas dijaga, peradaban akan tegak. Jika ia pudar, maka sejarah akan berulang: jatuhnya kekuasaan demi kekuasaan.
*Sugianto Al-Jawi
Budayawan Kontenporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
