Kisah
Beranda » Berita » Dihyah al-Kalbi: Sahabat Nabi yang Diserupai Malaikat Jibril

Dihyah al-Kalbi: Sahabat Nabi yang Diserupai Malaikat Jibril

Dihyah al-Kalbi: Sahabat Nabi yang Diserupai Malaikat Jibril
Ilustrasi Dihyah al-Kalbi

SURAU.CO – Dalam sejarah Islam, beberapa sahabat Nabi Muhammad SAW menonjol karena keistimewaan tertentu. Salah satunya adalah Dihyah bin Khalifah al-Kalbi RA. Umat ​​Islam mengenalnya sebagai sahabat yang wajah, perawakan, dan usianya menyerupai Malaikat Jibril AS ketika malaikat itu menampakkan diri dalam wujud manusia.

Dihyah al-Kalbi dan Penjelmaan Malaikat Jibril

Usai perang Khandaq, Rasulullah SAW dan para sahabat beristirahat. Saat itu Malaikat Jibril mendatangi Nabi dengan wujud manusia. Ia berkata, “Apakah kamu telah meletakkan senjata? Jangan demikian! Para malaikat sama sekali belum meletakkan senjata! Keluarlah kamu menuju Bani Quraizhah, dan perangilah mereka!” (Hepi Andi Bustomi, 101 Sahabat Nabi , Pustaka Al-Kautsar).

Penduduk sekitar melihat wujud manusia itu lalu mengira ia Dihyah bin Kalbi. Ketika Nabi SAW melewati Bani Ghanm, beliau bertanya kepada mereka tentang siapa yang baru saja lewat. Mereka menjawab, “Telah melewati kami, Dihyah bin Kalbi.” Padahal sebenarnya yang mereka lihat adalah Malaikat Jibril.

Kisah lain juga menyebutkan. Nabi SAW pernah duduk bersama Ummu Salamah RA ketika Malaikat Jibril datang dalam rupa seorang laki-laki. Setelah ia pergi, Ummu Salamah mengira tamu tersebut adalah Dihyah al-Kalbi, seorang panglima yang tampan dan berwibawa. Nabi SAW tersenyum lalu menjelaskan bahwa tamu itu sebenarnya Malaikat Jibril AS. Kesaksian-kesaksian itu menegaskan bahwa Malaikat Jibril memilih menyerupai Dihyah al-Kalbi RA ketika hadir dalam wujud manusia.

Misi Diplomatik ke Kaisar Romawi

Selain terkenal karena kesamaan wujud mirip dengan Malaikat Jibril, Dihyah al-Kalbi juga memegang peran penting dalam diplomasi Islam. Nabi Muhammad SAW menugaskan dirinya untuk membawa surat dakwah kepada Kaisar Romawi, Hiraqla (Herkules). Surat itu berisi ajakan untuk memeluk Islam, sebuah misi penuh risiko karena melibatkan penguasa adidaya kala itu.

Pasca Wafatnya Rasulullah: Sikap Abu Bakar Menghadapi Kemurtadan

Dihyah menyampaikan surat itu di hadapan Kaisar dan para pembesar Romawi. Pada saat yang sama, Abu Sufyan dan kafilah Quraisy yang sedang berdagang di Syam ikut hadir. Kaisar meminta Abu Sufyan menjelaskan pribadi Nabi Muhammad SAW. Meskipun Abu Sufyan masih memusuhi Islam, ia tidak berani berbohong karena banyak orang yang mengenalnya. Jawaban-jawaban Abu Sufyan justru memperkuat kebenaran kenabian Muhammad SAW.

Kaisar Hiraqla mulai merasakan kebenaran seruan Nabi SAW. Namun, dia memilih tetap ragu. Rasa kehilangan takut kekuasaan membuatnya menolak ajakan Islam, meski hatinya mengakui risalah tersebut.

Pertemuan dengan Uskup Ibnu Nathur

Dalam situasi itu, Hiraqla memanggil sahabatnya, seorang uskup besar di Iliya, Syam, bernama Ibnu Nathur. Masyarakat Romawi sangat menghormatinya dalam urusan agama. Dihyah al-Kalbi ikut menghadiri pertemuan itu.

Setelah mendengar penjelasan Kaisar dan Dihyah, sang Uskup membacakan beberapa ayat Injil yang menubuatkan kedatangan nabi terakhir. Ia meyakini kebenaran kenabian Muhammad SAW lalu memeluk Islam. Keputusan itu mengejutkan banyak pihak, termasuk Hiraqla. Berbeda dengan sahabatnya, Kaisar tetap menolak karena khawatir kehilangan kekuasaan jika menerima Islam.

Syahidnya Uskup Ibnu Nathur

Setelah masuk Islam, Ibnu Nathur sering berkomunikasi dengan Dihyah al-Kalbi. Ia meminta Dihyah mengajarkan Islam lebih dalam. Namun, masyarakat Romawi mulai curiga. Pada beberapa hari Ahad, ia tidak muncul untuk memberikan khutbah dan nasehat. Jamaahnya memberi peringatan hingga mereka mengancam akan membunuh jika ia terus menghilang.

Penaklukan Thabaristan (Bagian 2): Kemenangan di Era Umayyah

Ibnu Nathur akhirnya menulis surat lalu menitipkannya kepada Dihyah untuk disampaikan kepada Rasulullah SAW. Dalam surat itu, ia menegaskan keimanannya kepada Islam dan menyampaikan salam kepada Nabi. Setelah itu, ia menghadapi umatnya, bukan dengan pakaian kebesaran gereja, melainkan dengan pakaian putih sederhana. Ia lalu mengucapkan syahadat di hadapan mereka.

Orang-orang Romawi murka ketika mendengar syahadat itu. Mereka menolak keputusan uskup selama ini segani mereka. Dengan penuh amarah, mereka membunuh Ibnu Nathur di hadapan jamaahnya sendiri. Peristiwa tragis itu mencerminkan keberanian seorang tokoh gereja yang rela berkorban demi kebenaran Islam.

Laporan Dihyah kepada Nabi Muhammad SAW

Dihyah al-Kalbi menyaksikan langsung syahidnya Ibnu Nathur. Ia segera kembali kepada Nabi SAW, membawa surat dari sang uskup dan menceritakan seluruh peristiwa itu. Nabi Muhammad SAW menerima kabar tersebut dengan penuh haru. Beliau membaca surat dari Ibnu Nathur lalu mendoakan kebaikan serta keberkahan untuknya.

Doa Nabi SAW menjadi penghormatan terakhir bagi tokoh yang rela nyawanya demi kebenaran Islam. Sejak saat itu, umat Islam mengenang Ibnu Nathur sebagai salah satu tokoh non-Arab yang berani berkorban karena menerima risalah Nabi Muhammad SAW.

Referensi : Hepi Andi Bustomi, 101 Sahabat Nabi , Pustaka Al-Kautsar.

Penaklukan Thabaristan: Merebut Negeri Kapak Persia di Masa Utsmaniyah

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement