Khazanah
Beranda » Berita » Nomaden vs. Sedentary: Siapa yang Lebih Kuat?

Nomaden vs. Sedentary: Siapa yang Lebih Kuat?

Perbedaan masyarakat nomaden dan sedentary menurut Ibn Khaldūn
Dua kelompok manusia dengan latar berbeda—desa tandus dan kota bercahaya—melambangkan dinamika nomaden dan sedentary.

Dalam Al-Muqaddimah, Ibn Khaldūn menyoroti dinamika sosial yang menarik: pertentangan dan keterkaitan antara masyarakat nomaden (badui) dan sedentary (perkotaan). Ia tidak hanya menggambarkan perbedaan gaya hidup, tetapi juga menyingkap rahasia kekuatan dan kelemahan masing-masing. Analisis ini bukan sekadar catatan sejarah, melainkan cermin yang masih relevan hari ini, ketika kita menyaksikan benturan antara kesederhanaan desa dengan kemewahan kota.

Ibn Khaldūn menjelaskan bahwa masyarakat badui lebih kuat dalam hal solidaritas, keberanian, dan ketahanan fisik, sedangkan masyarakat kota unggul dalam peradaban, seni, dan kemewahan. Namun, di balik keunggulan itu, masing-masing menyimpan kerentanan. Pertanyaan klasik pun lahir: siapa yang lebih kuat, nomaden atau sedentary?

Kesederhanaan yang Menempa Karakter

Di banyak daerah pedesaan Indonesia, kita bisa melihat anak-anak berlari tanpa alas kaki, membantu orang tua di sawah, atau menyeberangi sungai demi sekolah. Pemandangan ini menggambarkan ketahanan yang dibentuk oleh kehidupan sederhana. Ibn Khaldūn menilai, gaya hidup badui mendidik manusia menjadi tangguh.

Ia menulis dalam Al-Muqaddimah:

البداوة أصل العمران، وما كان من الحضارة ففرع عنها

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

(Kehidupan badui adalah asal mula peradaban, sedangkan kehidupan kota hanyalah cabangnya.)

Menurutnya, kekuatan masyarakat badui berasal dari kedekatan mereka dengan alam, hidup tanpa kemewahan, dan terbiasa menghadapi kesulitan. Kesederhanaan justru menjadi sumber daya tahan sosial.

Kemewahan Kota dan Kerentanan Moral

Sebaliknya, masyarakat sedentary atau perkotaan digambarkan hidup dalam kenyamanan, penuh fasilitas, dan terikat oleh berbagai kemewahan. Namun, kenyamanan itu sering membuat mereka kehilangan ketangguhan.

Ibn Khaldūn menegaskan:

أهل الحضر أقرب إلى الترف والدعة، وأبعد عن الشدة والبأس
(Penduduk kota lebih dekat kepada kemewahan dan kenyamanan, serta jauh dari kekuatan dan keberanian.)

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Fenomena ini terasa nyata hingga sekarang. Banyak orang kota terbiasa dengan transportasi instan, makanan cepat saji, hingga layanan digital. Semua praktis, tetapi membuat tubuh dan jiwa kurang terlatih menghadapi kesulitan.

Solidaritas Sosial sebagai Sumber Kekuatan

Kekuatan utama masyarakat badui menurut Ibn Khaldūn adalah ‘ashabiyyah (solidaritas sosial). Rasa kebersamaan ini menjadikan mereka berani menghadapi tantangan bersama, bahkan mampu menggulingkan kerajaan besar.

Ia menulis:

العصبية هي التي تنشئ الملك والدولة

(Solidaritas sosial adalah yang melahirkan kekuasaan dan negara.)

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Solidaritas ini lahir dari kebutuhan hidup bersama dalam kondisi keras. Sementara di kota, individualisme lebih menonjol, membuat masyarakatnya rentan tercerai-berai ketika menghadapi krisis.

Pandangan Al-Qur’an tentang Kekuatan dan Kesabaran

Al-Qur’an mengingatkan pentingnya kesabaran sebagai sumber kekuatan. Allah berfirman:

وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ (QS. Al-Anfāl: 46)

(Dan bersabarlah, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.)

Ayat ini selaras dengan analisis Ibn Khaldūn. Masyarakat badui lebih terlatih dalam kesabaran menghadapi kerasnya hidup, sementara masyarakat kota sering mudah goyah ketika kenyamanan mereka terganggu.

Dinamika Kekuatan: Siapa yang Bertahan Lama?

Meskipun badui kuat dalam fisik dan solidaritas, mereka sering kalah dalam mempertahankan kekuasaan. Mengapa? Karena ketika mereka berhasil menaklukkan kota dan merasakan kemewahan, kekuatan mereka perlahan hilang. Siklus ini berulang dalam sejarah: bangsa kuat lahir dari kesederhanaan, lalu melemah setelah terbuai oleh kenyamanan.

Ibn Khaldūn menulis dengan tajam:

إذا تغلبت البداوة على الحضارة، ضعف أمرها وانهارت قوتها

(Ketika kehidupan badui menguasai peradaban kota, kekuatannya perlahan melemah dan hancur.)

Seolah ia ingin berkata: kekuatan sejati bukan hanya ada pada fisik atau kemewahan, melainkan pada kemampuan menjaga nilai-nilai dasar meski hidup dalam peradaban maju.

Refleksi untuk Dunia Modern

Hari ini, masyarakat modern menghadapi dilema yang sama. Teknologi dan kota besar memberi kenyamanan luar biasa, tetapi juga mengikis daya tahan hidup. Sebaliknya, masyarakat desa masih menyimpan kekuatan solidaritas dan ketangguhan, meski sering dianggap “tertinggal”.

Pelajaran Ibn Khaldūn relevan: kekuatan masyarakat terletak pada keseimbangan antara kesederhanaan yang menempa jiwa dan kemajuan yang memudahkan hidup. Tanpa itu, baik badui maupun kota akan rapuh.

Penutup: Jawaban Ibn Khaldūn

Jadi, siapa yang lebih kuat, nomaden atau sedentary? Jawaban Ibn Khaldūn jelas: masyarakat badui lebih kuat secara fisik dan sosial, tetapi masyarakat kota lebih maju dalam budaya dan ilmu. Namun, keduanya bisa melemah jika kehilangan keseimbangan.

Kita bisa belajar dari siklus sejarah ini. Jika ingin membangun bangsa yang kuat, masyarakat modern perlu merawat nilai solidaritas, kesabaran, dan kesederhanaan, meski hidup di tengah peradaban yang serba maju. Dengan begitu, kita tidak sekadar menjadi penghuni kota yang nyaman, tetapi juga pewaris nilai-nilai ketangguhan badui.

 

*Sugianto Al-Jawi 

Budayawan Kontenporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement