Dari Jalanan Desa Menuju Hiruk Pikuk Kota
Kita semua pasti pernah merasakan perbedaan suasana antara desa dan kota. Desa dengan sawah hijau, udara segar, dan masyarakat yang saling mengenal erat. Kota dengan gedung-gedung tinggi, jalan ramai, dan beragam profesi yang bertemu dalam satu ruang. Ibn Khaldūn, seorang sejarawan Muslim abad ke-14, sudah lama menyoroti perbedaan ini dalam Al-Muqaddimah. Ia menegaskan bahwa kota bukan sekadar kumpulan bangunan, melainkan pusat kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan kekuasaan.
Dalam kerangka pikir Ibn Khaldūn, urbanisasi—perpindahan manusia dari desa ke kota—adalah fenomena alami ketika masyarakat berkembang. Kota menjadi wadah di mana kreativitas, ekonomi, dan ilmu menemukan bentuknya. Namun, kota juga menyimpan potensi kemunduran jika tidak dikelola dengan adil.
Kota sebagai Manifestasi Peradaban
Ibn Khaldūn menulis dalam Al-Muqaddimah:
“إِذَا كَثُرَ الْعُمْرَانُ فِي الْمِصْرِ تَفَاوَتَتِ الْأَحْوَالُ وَظَهَرَتِ الصَّنَاعَاتُ وَنَمَتِ الْفُضُولُ“
“Apabila pembangunan banyak terjadi di sebuah kota, maka keadaan masyarakat beragam, berbagai keterampilan muncul, dan kelebihan harta pun berkembang.”
Kutipan ini menjelaskan bahwa kota adalah ruang lahirnya keragaman dan keahlian. Berbeda dengan desa yang fokus pada kebutuhan dasar, kota memungkinkan manusia menciptakan seni, ilmu, bahkan politik yang lebih kompleks.
Fenomena ini terasa hingga kini. Kota-kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta, atau Surabaya tidak hanya menjadi pusat ekonomi, tetapi juga pusat budaya, di mana ide-ide baru lahir dan menyebar.
Islam dan Makna Kehidupan Kota
Al-Qur’an banyak menyinggung tentang kota-kota besar, seperti Makkah, Madinah, atau kota-kota kaum terdahulu. Dalam QS. Al-Balad: 1-2, Allah berfirman:
“لَا أُقْسِمُ بِهَذَا الْبَلَدِ، وَأَنتَ حِلٌّ بِهَذَا الْبَلَدِ“
“Aku bersumpah dengan negeri (Makkah) ini. Dan engkau (Muhammad) bertempat di negeri ini.”
Ayat ini memberi pesan bahwa kota bisa menjadi simbol spiritual sekaligus sosial. Kota adalah tempat berkumpulnya manusia, tempat berlangsungnya ibadah, perdagangan, pendidikan, dan dakwah.
Urbanisasi dan Perubahan Watak Manusia
Ibn Khaldūn memperhatikan bahwa urbanisasi memengaruhi karakter manusia. Ia menulis:
“أَهْلُ الْحَضَرِ أَرَقُّ أَخْلَاقًا وَأَلْطَفُ طِبَاعًا لِمَا يَعْتَرِضُهُمْ مِنْ أَحْوَالِ الْمُدَارَاةِ وَالْمُعَاشَرَةِ“
“Penduduk kota lebih halus akhlaknya dan lebih lembut tabiatnya karena terbiasa dengan sikap saling menjaga dan pergaulan yang beragam.”
Di kota, manusia belajar sopan santun dalam berinteraksi dengan banyak pihak. Mereka berlatih kesabaran di tengah kemacetan, melatih toleransi dalam keragaman agama dan budaya, serta mengasah keterampilan komunikasi.
Namun, Ibn Khaldūn juga memberi catatan: urbanisasi bisa menimbulkan kemewahan berlebihan yang akhirnya melemahkan daya juang masyarakat. Ketika masyarakat kota terlalu sibuk mengejar gaya hidup mewah, mereka bisa kehilangan energi produktif yang dulu menjadi fondasi peradaban.
Kota sebagai Pusat Ilmu dan Seni
Tak bisa dipungkiri, lahirnya karya-karya besar sering berawal dari kota. Ibn Khaldūn sendiri, meskipun memahami kehidupan Badui, menulis Al-Muqaddimah di lingkungan kota yang kaya ilmu dan interaksi intelektual. Ia menulis:
“فِي الْأَمْصَارِ تَجْتَمِعُ الْفُنُونُ وَتَتَنَازَعُ الْأَفْكَارُ، فَيَظْهَرُ الْعِلْمُ وَتَنْبُتُ الْمَعَارِفُ“
“Di kota-kota, seni berkumpul dan gagasan saling bersaing, maka muncullah ilmu dan tumbuhlah pengetahuan.”
Contoh nyata bisa kita lihat pada kota Baghdad di masa Abbasiyah atau kota Cordoba di Andalusia. Kota menjadi magnet para cendekiawan, seniman, dan pedagang.
Hari ini pun sama, kota menjadi pusat universitas, museum, pusat riset, dan komunitas kreatif. Urbanisasi mendorong pertumbuhan ruang-ruang belajar yang tidak hanya formal, tetapi juga komunitas-komunitas kecil di kafe, ruang publik, hingga platform digital.
Bahaya Kemewahan yang Melemahkan
Meski begitu, Ibn Khaldūn tidak menutup mata pada sisi gelap kehidupan kota. Ia mengingatkan:
“إِذَا غَلَبَ التَّرَفُ عَلَى أَهْلِ الْمِصْرِ أَفْسَدَ أَخْلَاقَهُمْ وَضَعُفَتْ عُزُومُهُمْ“
“Apabila kemewahan menguasai penduduk kota, ia merusak akhlak mereka dan melemahkan tekad mereka.”
Kutipan ini terasa relevan dengan kondisi sekarang. Banyak kota besar di Indonesia menghadapi masalah konsumerisme, kesenjangan sosial, dan hilangnya solidaritas. Urbanisasi yang tidak diiringi dengan kesadaran moral bisa menjebak manusia dalam siklus kemewahan tanpa arah.
Refleksi: Belajar Menata Kota dengan Bijak
Kota adalah anugerah sekaligus ujian. Di satu sisi, ia menjadi pusat kebudayaan, ilmu, dan ekonomi. Di sisi lain, ia bisa menjadi sarang kesenjangan, keserakahan, dan dekadensi moral. Pesan Ibn Khaldūn tetap abadi: kota harus ditata dengan adil, seimbang antara pembangunan material dan spiritual.
Bagi Indonesia, pelajaran ini amat berharga. Urbanisasi tidak bisa dihentikan, tetapi bisa diarahkan. Kota harus menjadi ruang kolaborasi, bukan sekadar tempat menumpuk kemewahan. Jika kita mampu menjaga keseimbangan, kota-kota Indonesia akan benar-benar menjadi pusat kebudayaan yang melahirkan peradaban baru.
*Sugianto Al-Jawi
Budayawan Kontenporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
