Khazanah
Beranda » Berita » Ketika Pajak Membunuh Kreativitas: Peringatan Ibn Khaldūn

Ketika Pajak Membunuh Kreativitas: Peringatan Ibn Khaldūn

Kreativitas rakyat yang tertekan beban pajak menurut Ibn Khaldun
Ilustrasi kontras antara rakyat kecil yang berkarya dengan penuh kesederhanaan, namun bayangan beban pajak menekan semangat mereka.

Pajak, Kreativitas, dan Kehidupan Sehari-Hari

Hampir setiap orang di Indonesia memiliki cerita tentang pajak—dari pemilik warung kecil yang kaget dengan pungutan daerah, hingga wirausahawan yang harus menyesuaikan harga produknya karena beban pajak. Kita sering menganggap pajak sebagai kewajiban yang tidak bisa ditawar, padahal ada sisi lain yang jarang dibahas: bagaimana pajak bisa memengaruhi daya cipta dan semangat kerja manusia.

Ibn Khaldūn, dalam Al-Muqaddimah, jauh sebelum konsep ekonomi modern lahir, sudah menyinggung hal ini dengan tajam. Ia menyadari bahwa ketika beban pajak terlalu berat, masyarakat justru kehilangan gairah untuk berproduksi. Akibatnya, kreativitas yang seharusnya menjadi motor peradaban perlahan mati.

Hikmah dari Pemikiran Ibn Khaldūn

Dalam salah satu bagian Al-Muqaddimah, Ibn Khaldūn menulis:

إِذَا كَثُرَتْ الْجِبَايَةُ أَثْقَلَتْ كَواهِلَ النَّاسِ وَمَنَعَتْهُمُ الْكَسْبَ

“Apabila pungutan pajak terlalu banyak, maka itu akan membebani masyarakat dan menghalangi mereka untuk berusaha.”

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Kutipan ini terasa sangat relevan. Bayangkan seorang pengrajin batik di Pekalongan yang semestinya bisa mengembangkan motif baru. Namun karena pajak dan pungutan berlapis, modalnya habis hanya untuk menutup kewajiban. Kreativitas yang mestinya lahir dari kebebasan pun tercekik oleh beban administrasi.

Antara Kebutuhan Negara dan Beban Rakyat

Tentu pajak tidak bisa dihapuskan, karena negara membutuhkan dana untuk infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Dalam Al-Qur’an, kita diajarkan pentingnya keseimbangan. Allah berfirman:

وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ (QS. Al-An‘ām: 141)

“Tunaikanlah haknya (zakat) pada hari memetik hasilnya.”

Ayat ini mengingatkan bahwa pungutan harus ada, tetapi dengan kadar yang adil. Bukan sekadar menarik sebanyak-banyaknya, melainkan mempertimbangkan keberlangsungan hidup masyarakat.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Ibn Khaldūn memahami hal ini. Ia menegaskan bahwa di awal suatu pemerintahan, pajak biasanya ringan, sehingga rakyat bersemangat bekerja. Namun ketika negara semakin besar dan boros, pajak diperberat. Inilah titik di mana ekonomi perlahan lumpuh.

Siklus Sejarah yang Terulang

Dalam Al-Muqaddimah, Ibn Khaldūn menuliskan:

كُلَّمَا زِيدَ فِي الْجِبَايَةِ فِي آخِرِ الْمُلْكِ نَقَصَتْ جُمُوعُهَا

“Semakin tinggi pajak di masa akhir kekuasaan, semakin sedikit pemasukan yang diperoleh.”

Pernyataan ini menunjukkan sebuah siklus. Pada awalnya, rakyat produktif karena pajak ringan. Negara pun makmur. Tetapi lama kelamaan, penguasa tergoda untuk menaikkan pajak. Akhirnya, rakyat kehilangan semangat, produksi menurun, dan pendapatan negara justru menyusut.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Fenomena ini tidak asing. Kita melihatnya di banyak peradaban: Romawi, Abbasiyah, hingga kerajaan-kerajaan Jawa. Ketika pajak digunakan secara bijak, rakyat tumbuh. Sebaliknya, ketika pajak berlebihan, peradaban runtuh.

Perspektif Kehidupan Modern

Bagaimana dengan Indonesia hari ini? Misalnya, seorang petani kopi di Toraja yang ingin mengekspor produknya harus melalui rantai birokrasi yang panjang. Pajak ekspor, biaya izin, hingga pungutan tidak resmi membuat harga produk melonjak. Akhirnya, kopi yang seharusnya bisa mendunia justru kalah saing di pasar global.

Ibn Khaldūn mengingatkan bahwa beban pajak berlebihan bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga soal jiwa. Dalam Al-Muqaddimah, ia menulis:

إِذَا ثَقُلَ الْمَالُ عَلَى النَّاسِ قَطَعَ عَنْهُمُ الْجِدَّ فِي الْعَمَلِ

“Apabila harta terlalu dipaksa diambil dari manusia, mereka kehilangan kesungguhan dalam bekerja.”

Kutipan ini mengajarkan bahwa kreativitas lahir dari ruang kebebasan, bukan dari tekanan. Orang yang terus-menerus diperas tidak akan lagi berpikir tentang inovasi, melainkan hanya bertahan hidup.

Menghubungkan dengan Spirit Religius

Islam selalu menekankan keseimbangan antara hak negara dan hak rakyat. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda:

إِنَّ لِسَيِّدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ (HR. Bukhari)

“Sesungguhnya Tuhanmu memiliki hak atasmu, keluargamu memiliki hak atasmu, tubuhmu pun memiliki hak atasmu. Maka berikanlah setiap yang berhak akan haknya.”

Hadis ini memberi kita kerangka: keadilan bukan hanya di atas kertas, tetapi juga dalam praktik kehidupan. Negara memiliki hak pajak, tetapi rakyat pun memiliki hak untuk hidup layak dan kreatif.

Pelajaran untuk Indonesia

Dari pemikiran Ibn Khaldūn, kita bisa menarik beberapa pelajaran praktis:

Pajak seharusnya mendorong produktivitas, bukan mematikannya.

Negara harus bijak: mengambil secukupnya, bukan sebanyak-banyaknya.

Kreativitas masyarakat adalah aset bangsa yang lebih berharga daripada pemasukan sesaat.

Maka, ketika pemerintah menyusun kebijakan pajak, yang seharusnya dipikirkan bukan hanya target angka, tetapi juga dampaknya pada semangat masyarakat. Pajak yang terlalu berat bisa jadi bumerang: bukannya meningkatkan pendapatan negara, justru mengurangi potensi ekonomi.

Penutup: Suara Masa Lalu untuk Hari Ini

Ibn Khaldūn menutup refleksinya dengan kalimat yang masih terasa hidup hingga kini:

إِنَّ الظُّلْمَ مُؤْذِنٌ بِخَرَابِ الْعُمْرَانِ

“Sesungguhnya kezaliman adalah tanda hancurnya peradaban.”

Memaksa rakyat dengan pajak berlebihan adalah bentuk kezaliman. Ia bukan hanya merugikan individu, tetapi juga meruntuhkan fondasi peradaban. Indonesia hari ini memiliki kesempatan besar untuk belajar dari sejarah. Jika ingin bangsa ini tumbuh kreatif dan sejahtera, maka kebijakan pajak harus dirancang dengan bijak, adil, dan penuh empati.

 

*Sugianto Al-Jawi 

Budayawan Kontenporer Tulungagung 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement