Islam bukan hanya agama ritual, tetapi juga agama yang mengatur interaksi sosial dan ekonomi. Dua konsep penting dalam fiqih muamalah adalah syirkah (kerja sama usaha) dan mudharabah (bagi hasil). Imam an-Nawawi melalui kitab monumentalnya, Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, membahas secara rinci kedua akad ini dengan penekanan pada prinsip keadilan, kesalingan, dan tanggung jawab.
Artikel ini akan mengupas bagaimana Imam an-Nawawi menjelaskan syirkah dan mudharabah, dilengkapi dalil Al-Qur’an dan hadits, serta perbandingan dengan penjelasan Fathul Mu’in. Dengan pemahaman ini, umat Islam dapat menata urusan ekonomi sesuai syariat dan menghindari praktik yang merugikan salah satu pihak.
Landasan Syariah Syirkah dan Mudharabah
Al-Qur’an memberi ruang untuk kerja sama ekonomi. Allah SWT berfirman:
“فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ”
“…maka mereka berserikat dalam sepertiga (harta warisan itu).” (QS. An-Nisa: 12)
Ayat ini menyinggung konsep syirkah dalam konteks warisan, tetapi menunjukkan bahwa prinsip kebersamaan dalam kepemilikan diakui syariat.
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
“إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ: أَنَا ثَالِثُ الشَّرِيكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ، فَإِذَا خَانَ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا.”
“Sesungguhnya Allah berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang berserikat, selama salah satunya tidak mengkhianati yang lain. Jika salah satunya berkhianat, maka Aku keluar dari keduanya.” (HR. Abu Dawud)
Hadits ini menegaskan nilai spiritual dalam akad syirkah: keberkahan hadir jika ada kejujuran dan keadilan.
Definisi Syirkah Menurut Imam an-Nawawi
Imam an-Nawawi menjelaskan syirkah sebagai akad kerja sama antara dua pihak atau lebih dalam modal, keuntungan, atau tenaga untuk tujuan usaha halal. Dalam Al-Majmu’, beliau membagi syirkah menjadi beberapa jenis:
- Syirkah ‘Inan: kerja sama dengan modal berbeda, keuntungan dibagi sesuai kesepakatan.
- Syirkah Abdan: kerja sama berbasis tenaga, misalnya dua tukang bekerja sama lalu hasil dibagi.
- Syirkah Mufawadhah: kerja sama menyeluruh, baik modal maupun tenaga sama rata.
- Syirkah Wujuh: kerja sama berbasis reputasi atau kepercayaan dalam membeli barang secara kredit lalu menjualnya kembali.
Imam an-Nawawi menekankan bahwa setiap bentuk syirkah harus berdasarkan ridha, kejelasan akad, dan pembagian keuntungan yang adil.
Definisi Mudharabah Menurut Imam an-Nawawi
Mudharabah menurut Imam an-Nawawi adalah akad kerja sama antara pemilik modal (shahibul mal) dan pengelola usaha (mudharib), di mana keuntungan dibagi sesuai kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung pemilik modal kecuali akibat kelalaian pengelola.
Beliau menegaskan:
“الْمُضَارَبَةُ جَائِزَةٌ بِإِجْمَاعِ الْعُلَمَاءِ عَلَى أَصْلِهَا، وَإِنَّمَا اخْتَلَفُوا فِي فُرُوعِهَا.”
“Mudharabah hukumnya boleh berdasarkan ijma’ ulama pada asalnya, hanya saja mereka berbeda pendapat dalam cabang-cabangnya.”
Ini menunjukkan bahwa mudharabah merupakan instrumen ekonomi yang diakui syariat sejak masa awal Islam.
Rukun dan Syarat Syirkah
Imam an-Nawawi menyebutkan rukun syirkah sebagai berikut:
- Para pihak: minimal dua orang yang cakap hukum.
- Objek akad: modal, tenaga, atau reputasi yang jelas.
- Ijab dan qabul: kesepakatan lisan atau tertulis.
- Tujuan usaha: harus halal.
Syarat pentingnya: modal harus jelas, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan proporsional, dan tidak boleh ada pihak yang dirugikan.
Rukun dan Syarat Mudharabah
Rukun mudharabah menurut Imam an-Nawawi adalah:
- Pemilik modal dan pengelola: keduanya harus baligh, berakal, dan ridha.
- Modal: berupa uang tunai yang jelas jumlahnya.
- Akad: ijab dan qabul yang menunjukkan kerelaan.
- Keuntungan: dibagi sesuai nisbah yang disepakati, bukan nominal tetap.
Beliau menekankan bahwa syarat keadilan harus ditegakkan. Jika pemilik modal meminta keuntungan dalam bentuk angka tertentu, akad menjadi batal karena tidak sesuai syariat.
Hikmah Syirkah dan Mudharabah
Menurut Imam an-Nawawi, kedua akad ini mengandung hikmah besar:
- Menumbuhkan kerja sama dan kepercayaan dalam masyarakat.
- Memberi kesempatan bagi orang yang punya modal tapi tidak punya keahlian, serta bagi yang punya keahlian tapi tidak punya modal.
- Menumbuhkan ekonomi umat tanpa praktik riba.
- Menjaga prinsip keadilan, karena kerugian tidak dibebankan pada pengelola kecuali akibat kelalaiannya.
Perbandingan Al-Majmu’ dan Fathul Mu’in
Imam an-Nawawi dalam Al-Majmu’ membahas syirkah dan mudharabah dengan detail akademis. Beliau menguraikan jenis-jenis syirkah, rukun, syarat, dan perbedaan pendapat ulama dalam cabang-cabang masalah. Kitab ini menjadi ensiklopedia fiqih yang kaya rujukan.
Sedangkan Fathul Mu’in menampilkan penjelasan yang lebih ringkas dan praktis. Kitab ini menekankan aspek amaliah, misalnya syarat sah mudharabah dan syirkah yang paling banyak dipraktikkan di masyarakat, tanpa terlalu luas mengurai khilafiyah ulama.
Perbedaan ini membuat Al-Majmu’ sangat cocok bagi peneliti dan santri tingkat lanjut, sementara Fathul Mu’in lebih mudah dipahami kalangan awam yang ingin langsung mengamalkan fiqih muamalah dalam keseharian.
Penutup
Syirkah dan mudharabah adalah dua akad yang memperlihatkan kebijaksanaan syariat Islam dalam mengatur ekonomi umat. Imam an-Nawawi melalui Al-Majmu’ menekankan pentingnya kejelasan akad, kejujuran, dan keadilan agar usaha mendatangkan keberkahan.
Konsep syirkah dan mudharabah masih sangat relevan. Banyak lembaga keuangan syariah menggunakan akad mudharabah untuk pembiayaan usaha mikro dan menengah. Syirkah pun berkembang dalam bentuk koperasi syariah, joint venture, hingga usaha patungan.
Prinsip yang ditegaskan Imam an-Nawawi, yaitu kejelasan akad, keadilan dalam keuntungan, dan kejujuran dalam pengelolaan, tetap menjadi ruh yang menjaga keberkahan usaha
Di era modern, kedua akad ini tetap relevan. Saat dunia terjebak dalam sistem riba, syirkah dan mudharabah hadir sebagai alternatif yang sehat dan bermartabat.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
