Khazanah
Beranda » Berita » Etika Perniagaan Menurut Imam an-Nawawi dalam Al-Majmu’

Etika Perniagaan Menurut Imam an-Nawawi dalam Al-Majmu’

Etika perniagaan menurut Imam an-Nawawi dalam Al-Majmu’
Seorang pedagang Muslim tradisional di pasar dengan wajah tenang dan penuh senyum, suasana pasar klasik bercampur nuansa filosofis, cahaya lembut melambangkan keberkahan.

Setiap aktivitas manusia dalam Islam, termasuk urusan jual beli, tidak pernah lepas dari nilai ibadah. Imam an-Nawawi dalam Al-Majmu’ menegaskan bahwa perniagaan bukan hanya transaksi duniawi, melainkan juga cermin keimanan. Ia menempatkan prinsip kejujuran, keterbukaan, dan keadilan sebagai ruh dalam setiap akad. Artikel ini akan membahas etika perniagaan menurut Imam an-Nawawi, rujukan dalam Al-Majmu’, sekaligus mengaitkannya dengan kehidupan modern yang sarat tantangan bisnis.

Allah ﷻ menegaskan dalam Al-Qur’an:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa: 29)

Ayat ini menjadi pondasi penting dalam pembahasan Imam an-Nawawi, bahwa inti perniagaan adalah kerelaan, bukan paksaan atau tipu daya.

Hakikat Perniagaan dalam Islam Menurut Al-Majmu’

Dalam Al-Majmu’, Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa akad perniagaan harus memenuhi syarat sah, seperti adanya ijab qabul, kerelaan kedua belah pihak, serta barang yang halal dan jelas sifatnya. Ia menekankan bahwa keberkahan transaksi muncul jika pelaku bisnis menjunjung kejujuran.

Meredam Polarisasi Bangsa Melalui Esensi Bab “Mendamaikan Manusia”

Imam an-Nawawi menulis:

وَالشَّرْطُ أَنْ يَكُونَ الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ وَمَعْلُومِ الْمَبِيعِ وَالثَّمَنِ
“Syarat jual beli ialah adanya kerelaan, serta kejelasan barang yang dijual dan harga yang disepakati.” (Al-Majmu’)

Dari kutipan ini, terlihat bahwa Imam an-Nawawi mengutamakan aspek keterbukaan (transparansi). Ketidakjelasan (gharar) menjadi faktor yang membatalkan transaksi. Prinsip ini sangat relevan dengan dunia bisnis modern, di mana transparansi menjadi kunci kepercayaan konsumen.

Larangan Praktik Merugikan

Imam an-Nawawi secara tegas menolak praktik perniagaan yang merugikan salah satu pihak, seperti riba, penipuan, dan monopoli. Ia merujuk hadis Nabi ﷺ:

مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا
“Barang siapa menipu kami, maka ia bukan dari golongan kami.” (HR. Muslim)

Mengapa Allah Menolak Taubat Iblis?

Hadis ini dijadikan dalil oleh Imam an-Nawawi untuk mengharamkan segala bentuk manipulasi harga dan kualitas barang. Bagi beliau, bisnis yang sehat harus berdiri di atas asas kejujuran.

Prinsip Keadilan dalam Perniagaan

Keadilan menjadi unsur vital dalam setiap akad. Imam an-Nawawi menekankan agar tidak ada pihak yang dirugikan. Dalam Al-Majmu’, ia menyebutkan bahwa penjual wajib memberikan takaran yang benar, sementara pembeli harus membayar sesuai harga yang disepakati tanpa penundaan yang merugikan.

Dalilnya selaras dengan firman Allah ﷻ:

وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ
“Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil.” (QS. Al-An’am: 152)

Imam an-Nawawi menafsirkan ayat ini sebagai kewajiban moral setiap muslim yang berbisnis. Timbangan dan harga yang adil akan menjaga kepercayaan dan membawa keberkahan dalam rezeki.

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

Etika Penjual dan Pembeli

Imam an-Nawawi tidak hanya menekankan aspek hukum, tetapi juga aspek etika. Dalam Al-Majmu’, beliau menyarankan agar penjual tidak terlalu memuji barang secara berlebihan yang bisa menyesatkan pembeli. Sebaliknya, pembeli dianjurkan tidak merendahkan barang untuk menekan harga secara zalim.

Nabi ﷺ bersabda:

رَحِمَ اللَّهُ رَجُلًا سَمْحًا إِذَا بَاعَ، وَإِذَا اشْتَرَى، وَإِذَا اقْتَضَى
“Allah merahmati seseorang yang bersikap lapang ketika menjual, ketika membeli, dan ketika menagih hutang.” (HR. Bukhari)

Hadis ini menjadi dasar etika bisnis Islami: saling memudahkan, bukan menyulitkan.

Perbandingan dengan Fathul Wahhab

Jika dibandingkan dengan Fathul Wahhab karya Imam Zakariyya al-Anshari, terlihat perbedaan pendekatan. Al-Majmu’ menjabarkan masalah perniagaan dengan panjang lebar, penuh argumentasi, dan membahas banyak cabang masalah fiqih. Imam an-Nawawi menyertakan dalil Al-Qur’an, hadis, serta pendapat para ulama sebelumnya untuk memperkuat analisisnya.

Sementara itu, Fathul Wahhab cenderung lebih ringkas dan sistematis. Imam Zakariyya al-Anshari merumuskan hukum-hukum perniagaan secara padat, praktis, dan mudah dipahami pelajar. Ia tidak berpanjang-panjang dalam membahas dalil, tetapi lebih menekankan pada kesimpulan hukum yang dapat diamalkan langsung.

Meski berbeda gaya, keduanya tetap menekankan inti yang sama: kejujuran, keterbukaan, dan larangan praktik yang merugikan. Perbedaan ini justru melengkapi satu sama lain; Al-Majmu’ menjadi referensi akademik yang komprehensif, sedangkan Fathul Wahhab praktis sebagai panduan harian para santri dan pedagang.

Penutup

Etika perniagaan yang dirumuskan Imam an-Nawawi dalam Al-Majmu’ bukan sekadar aturan teknis, melainkan jalan menuju keberkahan hidup. Ia mengajarkan bahwa setiap transaksi harus disertai kejujuran, setiap akad harus dipenuhi dengan keadilan, dan setiap perniagaan harus berlandaskan kerelaan.

Dalam konteks bisnis kontemporer, pemikiran Imam an-Nawawi dalam Al-Majmu’ sangat aplikatif. Prinsip kejelasan akad bisa diterapkan pada kontrak bisnis digital, kejujuran berlaku dalam sistem pemasaran, dan keadilan menjadi pedoman dalam manajemen perusahaan.

Di tengah hiruk-pikuk bisnis modern, pesan Imam an-Nawawi tetap abadi: berdaganglah dengan hati yang bersih, karena keuntungan sejati bukan hanya laba materi, tetapi juga ridha Ilahi.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement