Surau.co. Dalam sejarah Islam klasik, Ḥayy ibn Yaqẓān karya Ibn Ṭufayl menjadi salah satu karya yang unik sekaligus monumental. Dari awal kisah, kita langsung dihadapkan pada gagasan tentang bagaimana seorang manusia bisa belajar eksperimen hanya dengan mengandalkan indera, akal, dan pengalaman tanpa bimbingan masyarakat. Frasa kunci “belajar eksperimen” menjadi sangat penting, karena melalui kisah ini Ibn Ṭufayl menunjukkan bahwa ilmu sejati lahir dari pengamatan dan refleksi yang mendalam.
Kitab ini tidak hanya berfungsi sebagai karya filsafat, tetapi juga sebagai jembatan antara rasionalitas dan spiritualitas. Bagi pembaca modern, Ḥayy ibn Yaqẓān memberi pesan bahwa ilmu tidak berhenti pada teori, tetapi harus dihidupi dalam praktik nyata.
Dari Kesunyian Pulau ke Penemuan Ilmu
Tokoh utama, Hayy, lahir dan tumbuh di sebuah pulau tanpa manusia lain. Kesendiriannya membuat ia lebih peka terhadap alam. Fenomena sehari-hari yang kita temui—seperti melihat binatang mati di jalan, merenungi bintang di langit, atau memperhatikan air hujan jatuh ke tanah—semua itu bagi Hayy menjadi pintu pengetahuan.
Ibn Ṭufayl menulis sebuah adegan penting ketika Hayy mencoba memahami kematian seekor rusa yang sangat dekat dengannya:
“ففتح جوفها، فرأى قلبها قد انشق، وعلم أن ذلك الذي كان يحركها قد فارقها”
“Ia membuka tubuh rusa itu, lalu melihat jantungnya telah terbelah, dan ia mengetahui bahwa sesuatu yang dahulu menggerakkannya telah meninggalkannya.”
Dari situ Hayy memahami bahwa ada sesuatu yang tak kasat mata, ruh, yang menjadi penggerak kehidupan. Inilah pelajaran eksperimen pertama yang menuntunnya pada pemahaman hakikat manusia.
Akal sebagai Jalan Bertemu Realitas
Setelah belajar dari pengalaman, Hayy tidak berhenti pada pengamatan inderawi. Ia terus merenung hingga sampai pada kesimpulan filosofis. Ibn Ṭufayl menegaskan:
“وكان لا يقنع بالظاهر حتى يجاوز إلى الباطن، ولا يقف عند المحسوس حتى يرتقي إلى المعقول”
“Ia tidak puas dengan yang lahiriah hingga melampaui ke batin, dan tidak berhenti pada yang indrawi hingga naik menuju yang rasional.”
Kutipan ini menunjukkan betapa akal, bila diasah dengan konsisten, dapat membawa manusia pada pemahaman yang lebih tinggi. Hayy belajar eksperimen secara alami, lalu menuntunnya untuk menemukan keteraturan yang lebih luas dalam ciptaan Allah.
Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam Al-Qur’an:
﴿سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ﴾ (QS. Fuṣṣilat: 53)
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah kebenaran.”
Pengalaman Hayy adalah ilustrasi nyata dari ayat ini: pengamatan terhadap alam dan diri akhirnya menyingkap hakikat Ilahi.
Dari Eksperimen ke Spiritualitas
Seiring bertambahnya usia, Hayy semakin dalam meneliti keteraturan alam. Ia melihat gerak bintang, siklus tumbuhan, dan harmoni ekosistem. Semua ini menuntunnya pada kesimpulan bahwa dunia ini pasti memiliki Pencipta yang Maha Mengatur. Ibn Ṭufayl menulis:
“فرأى أن هذا العالم كله لا يقوم بذاته، بل لا بد له من موجد أوجده ومدبر دبره”
“Maka ia melihat bahwa seluruh dunia ini tidak berdiri dengan sendirinya, melainkan pasti ada yang mengadakannya dan mengaturnya.”
Kesadaran ini mengubah Hayy dari seorang peneliti menjadi seorang sufi. Ia tidak hanya mengandalkan akal, tetapi juga merasakan kehadiran Allah melalui kontemplasi.
Al-Qur’an menegaskan prinsip ini:
﴿أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ﴾ (QS. Ar-Ra‘d: 28)
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”
Hayy akhirnya memahami bahwa tujuan eksperimen bukan hanya menguasai ilmu dunia, tetapi juga menemukan ketenteraman jiwa melalui pengenalan kepada Allah.
Pelajaran untuk Kehidupan Modern
Kisah Hayy terasa sangat relevan bagi manusia zaman sekarang. Di era banjir informasi, kita sering kali hanya menjadi penerima pasif. Padahal, pesan Ibn Ṭufayl jelas: jangan berhenti pada apa yang terlihat, tetapi lakukan pengujian, refleksi, dan kontemplasi.
Belajar eksperimen tidak selalu berarti membongkar mesin atau meneliti laboratorium. Dalam kehidupan sehari-hari, ia bisa berupa keberanian mencoba resep baru di dapur, menguji strategi usaha, atau bahkan mencari cara mendidik anak yang paling sesuai. Setiap kegagalan adalah pengalaman, dan setiap pengalaman mendekatkan kita pada kebijaksanaan.
Ibn Ṭufayl menulis dengan penuh makna:
“وكان كلما زاد تجربة ازداد علماً، وكلما ازداد علماً ازداد قرباً من الحق”
“Setiap kali bertambah pengalaman, ia bertambah ilmu, dan setiap kali bertambah ilmu, ia semakin dekat pada kebenaran.”
Bagi kita, kutipan ini menjadi pengingat bahwa ilmu sejati bukan sekadar hafalan, tetapi buah dari pengalaman hidup yang dihayati dengan sungguh-sungguh.
Penutup
Ḥayy ibn Yaqẓān adalah kisah filsafat sekaligus sufisme yang meneguhkan pentingnya belajar eksperimen dalam arti yang luas. Dari pengamatan alam hingga renungan spiritual, Ibn Ṭufayl menghadirkan gambaran tentang perjalanan intelektual manusia menuju Allah.
Pesan yang bisa kita tarik sederhana tetapi mendalam: ilmu dan iman bukanlah dua hal yang bertentangan. Sebaliknya, keduanya berjalan bersama. Eksperimen membawa kita pada pengetahuan, dan pengetahuan menuntun kita pada pengenalan yang lebih dalam terhadap Sang Pencipta.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
