Khazanah
Beranda » Berita » Geografi dan Iklim: Bagaimana Alam Membentuk Watak Manusia

Geografi dan Iklim: Bagaimana Alam Membentuk Watak Manusia

pengaruh geografi dan iklim terhadap watak manusia menurut Ibn Khaldun
Lukisan digital yang memperlihatkan tiga lanskap berbeda (gunung, gurun, kota) dengan manusia beraktivitas, simbol pengaruh geografi dan iklim terhadap karakter.

Setiap hari kita merasakan langsung bagaimana alam memengaruhi suasana hati kita. Saat hujan turun deras, banyak orang merasa tenang dan memilih berdiam di rumah. Di siang terik, kita lebih mudah tersulut emosi, sementara udara sejuk pegunungan membuat pikiran terasa lapang. Ibn Khaldūn dalam Al-Muqaddimah jauh sebelum era sains modern sudah menyinggung hal ini. Ia menyatakan bahwa geografi dan iklim bukan hanya memengaruhi kesehatan tubuh, tetapi juga membentuk watak, budaya, hingga peradaban manusia.

Fenomena ini masih relevan hingga hari ini. Bukankah kita sering berkata, “Orang pesisir itu keras, orang gunung lebih teduh, orang kota sibuk dan cepat”? Ungkapan sederhana itu mengingatkan pada teori Ibn Khaldūn tentang hubungan erat antara lingkungan fisik dan karakter sosial.

Alam Sebagai Guru yang Diam-diam Mendidik

Bagi Ibn Khaldūn, manusia adalah makhluk sosial yang dibentuk bukan hanya oleh pendidikan formal, tetapi juga oleh tempat ia berpijak. Ia menulis:

إِنَّ تَغَيُّرَ الأَحْوَالِ فِي الأَقْطَارِ يُغَيِّرُ أَخْلَاقَ النَّاسِ وَطِبَاعَهُمْ

“Sesungguhnya perubahan keadaan di suatu wilayah akan mengubah akhlak dan tabiat manusia.” (Al-Muqaddimah)

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Kalimat ini menjelaskan betapa iklim panas, dingin, kering, atau lembap membentuk karakter manusia. Orang yang tinggal di daerah tandus, misalnya, cenderung hidup sederhana, keras, dan kuat menahan lapar. Sebaliknya, masyarakat yang tinggal di tanah subur lebih mudah hidup makmur, namun terkadang melahirkan sikap malas karena segalanya tersedia.

Alam seakan mendidik kita dengan caranya sendiri. Ia tidak berbicara, tetapi pelajarannya nyata dalam keseharian.

Hubungan Geografi dengan Solidaritas Sosial

Dalam keseharian, kita bisa melihat bagaimana desa di lereng gunung atau daerah pedalaman lebih kuat ikatan sosialnya dibandingkan kota besar. Ibn Khaldūn menyebut fenomena ini sebagai ‘ashabiyyah (solidaritas kelompok).

العَصَبِيَّةُ تَكُونُ أَقْوَى فِي البَوَادِي لِشِدَّةِ الاِعْتِمَادِ بَيْنَهُمْ

“Solidaritas lebih kuat di daerah pedalaman karena mereka sangat bergantung satu sama lain.” (Al-Muqaddimah)

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Di kota besar yang penuh kemewahan, orang cenderung individualis karena kebutuhan bisa dipenuhi lewat pasar, uang, atau teknologi. Namun di pedesaan, terutama yang kondisi alamnya keras, manusia terpaksa bekerja sama untuk bertahan hidup. Itulah sebabnya, menurut Ibn Khaldūn, peradaban besar selalu lahir dari kelompok dengan solidaritas tinggi sebelum akhirnya melemah ketika mereka larut dalam kenyamanan.

Iklim dan Perbedaan Watak Antarbangsa

Ibn Khaldūn juga berani mengaitkan iklim dengan keragaman bangsa. Baginya, orang yang hidup di iklim panas biasanya memiliki energi lebih, tetapi juga cepat marah. Sebaliknya, mereka yang hidup di iklim dingin lebih lambat, tenang, dan terkadang kurang bersemangat.

أَهْلُ المَنَاطِقِ الحَارَّةِ يَكُونُونَ أَكْثَرَ حِدَّةً وَنَشَاطًا، وَأَهْلُ البَارِدَةِ أَكْثَرُ هُدُوءًا وَسُكُونًا

“Penduduk daerah panas lebih cepat marah dan bersemangat, sementara penduduk daerah dingin lebih tenang dan lamban.” (Al-Muqaddimah)

Pernyataan ini mungkin terdengar generalisasi, tetapi menarik bila kita refleksikan. Misalnya, bangsa-bangsa di Eropa Utara yang hidup di iklim dingin terkenal teliti, teratur, dan sabar, sementara bangsa di iklim tropis lebih ekspresif, hangat, dan penuh energi.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Alam dan Spiritualitas Manusia

Al-Qur’an juga mengingatkan bahwa alam adalah tanda-tanda kebesaran Allah yang membentuk manusia. Allah berfirman:

وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلَائِفَ الْأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ

“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian yang lain dalam derajat.” (QS. Al-An‘ām: 165)

Ayat ini menegaskan bahwa perbedaan keadaan manusia, termasuk yang dipengaruhi iklim dan geografi, adalah bagian dari sunnatullah. Dari perbedaan itu lahir keragaman budaya, peradaban, bahkan cara beribadah.

Ibn Khaldūn pun menyadari dimensi spiritual ini. Ia menulis:

الأَرْضُ وَمَا فِيهَا مَظَاهِرُ لِقُدْرَةِ اللهِ وَتَأْثِيرِهِ فِي أَخْلَاقِ البَشَرِ

“Bumi dan segala isinya adalah tanda kekuasaan Allah yang berpengaruh pada akhlak manusia.” (Al-Muqaddimah)

Dengan kata lain, mempelajari hubungan manusia dengan alam bukan sekadar analisis ilmiah, tetapi juga refleksi spiritual.

Relevansi bagi Kehidupan Kita Hari Ini

Kita hidup di era modern dengan teknologi pendingin ruangan, transportasi cepat, dan pasar global yang membuat jarak seakan hilang. Namun, pengaruh geografi dan iklim masih terasa nyata. Orang Jakarta dengan ritme kota yang cepat tentu berbeda dengan orang di pedesaan Jawa Tengah yang tenang. Begitu juga orang Papua yang tumbuh dengan alam liar berbeda dari orang Madura yang terbiasa hidup di tanah keras.

Refleksi Ibn Khaldūn seakan mengingatkan kita untuk tidak meremehkan peran alam dalam membentuk watak manusia. Bahkan ketika kita hidup di dunia digital, akar identitas tetap bertaut dengan tanah tempat kita berpijak.

Penutup: Kembali Mendengar Bisikan Alam

Melalui Al-Muqaddimah, Ibn Khaldūn memberi kita kaca untuk bercermin. Ia mengajarkan bahwa watak manusia bukan hanya hasil didikan guru atau tradisi keluarga, tetapi juga buah dari iklim, geografi, dan kondisi lingkungan.

Alam yang panas atau dingin, subur atau tandus, pantai atau gunung, semuanya menorehkan warna dalam jiwa kita. Maka, menghargai perbedaan karakter manusia berarti juga menghargai keragaman ciptaan Allah.

Dan pada akhirnya, sebagaimana firman-Nya:

وَمِنْ آيَاتِهِ اخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ

“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah perbedaan bahasa dan warna kulitmu.” (QS. Ar-Rūm: 22)

Alam membentuk kita, tetapi kita pula yang diberi amanah untuk menjaga alam. Itulah keseimbangan yang harus terus dirawat.

 

*Sugianto Al-Jawi

Budayawan Kontenporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement