Khazanah
Beranda » Berita » Teori Siklus Kekuasaan: Dari Solidaritas ke Kemewahan hingga Kehancuran

Teori Siklus Kekuasaan: Dari Solidaritas ke Kemewahan hingga Kehancuran

Ilustrasi siklus kekuasaan Ibn Khaldun—solidaritas padang pasir menuju kemewahan istana.
Kontras visual antara kehidupan sederhana dan kemewahan istana yang rapuh, menggambarkan teori Ibn Khaldūn tentang siklus kekuasaan.

Kekuasaan sering kali dipandang sebagai puncak pencapaian manusia, tetapi Ibn Khaldūn dalam Al-Muqaddimah menunjukkan bahwa kekuasaan bukanlah garis lurus yang terus menanjak. Ada siklus yang pasti berulang: lahir dari solidaritas (asabiyyah), tumbuh dalam kekuatan, mencapai puncak dengan kemewahan, lalu melemah hingga runtuh. Teori siklus kekuasaan ini tidak hanya berlaku di masa lampau, melainkan juga relevan dalam membaca fenomena sosial-politik zaman sekarang.

Awal Mula Sebuah Dinasti: Solidaritas yang Mengikat

Setiap kekuasaan lahir dari kebersamaan. Ibn Khaldūn menyebut asabiyyah—ikatan solidaritas kelompok—sebagai motor utama berdirinya dinasti. Dalam kondisi sederhana, manusia bersatu karena menghadapi tantangan yang sama, misalnya hidup di padang pasir yang keras.

Ibn Khaldūn menulis:

العصبية هي السبب في الملك والدولة

Asabiyyah adalah sebab munculnya kerajaan dan negara.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Ikatan ini mirip dengan kebersamaan yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Bayangkan sebuah komunitas kecil di desa: mereka gotong royong membangun jembatan atau membersihkan sawah. Tanpa solidaritas, pekerjaan besar tak mungkin selesai. Demikian pula, dinasti pertama-tama berdiri karena kekompakan anggotanya.

Al-Qur’an pun mengisyaratkan pentingnya kebersamaan dalam membangun kekuatan:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا

“Berpeganglah kamu semuanya pada tali Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai.” (QS. Āli ‘Imrān [3]:103)

Pesan ini sejalan dengan teori Ibn Khaldūn: persatuan menjadi fondasi pertama tegaknya kekuasaan.

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

Dari Kesederhanaan ke Puncak Kekuatan

Ketika solidaritas terjaga, kelompok yang sederhana bisa tumbuh menjadi kekuatan besar. Ibn Khaldūn menggambarkan fase ini sebagai masa ketika pemimpin dan pengikut masih hidup dalam kesederhanaan, disiplin, dan keberanian.

Ia menulis:

إذا قوي أمر العصبية اتسع نطاق الدولة

Apabila kekuatan solidaritas menguat, maka wilayah kekuasaan pun meluas.

Fenomena ini mudah kita pahami bila melihat bangsa-bangsa yang berhasil bangkit dari kondisi tertekan. Mereka berjuang dengan disiplin, lalu secara bertahap menguasai wilayah yang lebih luas, membangun struktur pemerintahan, hingga akhirnya mencapai kejayaan.

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

Kemewahan yang Menggerus Kekuatan

Namun, kejayaan tak bertahan lama. Ibn Khaldūn dengan tajam menggambarkan bagaimana generasi penerus yang lahir dalam kemewahan menjadi malas, boros, dan kehilangan jiwa perjuangan.

Ia menulis:

الترف مؤذن بخراب العمران

Kemewahan adalah pertanda kehancuran peradaban.

Fenomena ini sangat manusiawi. Kita sering melihat keluarga yang sukses secara ekonomi, tetapi anak cucunya justru terjerat gaya hidup konsumtif dan jauh dari kerja keras yang dulu membangun kejayaan. Hal yang sama terjadi pada dinasti: awalnya kuat karena solidaritas, namun melemah karena kemewahan.

Dari Kemewahan Menuju Kehancuran

Tahap terakhir siklus kekuasaan adalah kehancuran. Dinasti yang sudah kehilangan solidaritas akan rentan terhadap serangan dari luar maupun pemberontakan dari dalam.

Ibn Khaldūn menulis:

الدولة إذا بلغت غايتها من الملك والترف هرمت وأخذت في الانقراض

Apabila sebuah dinasti telah mencapai puncak kekuasaan dan tenggelam dalam kemewahan, maka ia menjadi tua renta dan menuju kehancuran.

Seperti manusia yang menua, dinasti pun melemah dan kehilangan daya juang. Kekuasaan pun berpindah ke kelompok lain yang masih memiliki solidaritas kuat. Siklus kembali berulang.

Refleksi untuk Kehidupan Kita

Teori siklus kekuasaan Ibn Khaldūn bukan sekadar catatan sejarah, melainkan cermin kehidupan sosial kita. Dalam organisasi, keluarga, bahkan komunitas kecil, pola ini kerap terlihat. Dari semangat kebersamaan lahir kekuatan, namun kemewahan sering kali menjerumuskan pada kelemahan.

Islam sendiri mengingatkan manusia agar tidak terjebak pada kemewahan dunia. Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ، وَإِنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ

“Sesungguhnya dunia ini manis lagi hijau. Allah menjadikan kalian sebagai khalifah di dalamnya, lalu Dia melihat bagaimana kalian beramal.” (HR. Muslim)

Hadis ini mengingatkan bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan tujuan akhir.

Pelajaran untuk Zaman Kini

Dalam konteks modern, kita bisa melihat teori Ibn Khaldūn bekerja dalam politik, ekonomi, bahkan perusahaan besar. Startup yang lahir dari semangat kebersamaan tumbuh pesat, tetapi ketika manajemen mulai tenggelam dalam kemewahan dan kehilangan arah, mereka pun runtuh.

Bagi bangsa, pesan ini juga penting: jangan sampai solidaritas yang menjadi fondasi perjuangan bangsa hilang karena gaya hidup yang berlebihan. Mengelola kekuasaan berarti menjaga keseimbangan antara semangat perjuangan dan pengelolaan kemakmuran.

Penutup

Al-Muqaddimah memberi kita pemahaman mendalam tentang dinamika kekuasaan. Dari solidaritas lahirlah dinasti, dari dinasti lahir kemewahan, dari kemewahan datang kehancuran. Siklus ini bukan untuk ditakuti, tetapi untuk dijadikan pelajaran agar setiap generasi mampu menjaga semangat kebersamaan dan tidak larut dalam kemewahan yang melumpuhkan.

 

*Sugianto Al-Jawi

Budayawan Kontenporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement