Khazanah
Beranda » Berita » Peradaban Gurun vs. Kota: Pelajaran dari Al-Muqaddimah

Peradaban Gurun vs. Kota: Pelajaran dari Al-Muqaddimah

peradaban gurun vs kota menurut Ibn Khaldun
Sebuah ilustrasi yang menggambarkan kesederhanaan gurun dan kompleksitas kota, sesuai dengan analisis Al-Muqaddimah.

Perbincangan mengenai peradaban gurun dan kota selalu menarik, terlebih ketika kita meniliknya melalui kaca mata Ibn Khaldūn dalam karyanya yang monumental, Al-Muqaddimah. Sejak paragraf awal kitab ini, Ibn Khaldūn menegaskan bahwa dinamika masyarakat tidak pernah lepas dari kondisi lingkungan, kebiasaan hidup, serta ikatan sosial. Fenomena inilah yang membuat Al-Muqaddimah sering dianggap sebagai fondasi ilmu sosial pertama di dunia Islam.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa merasakan kontrasnya. Warga desa kerap dianggap lebih sederhana, solid, dan dekat dengan alam, sementara masyarakat kota terlihat lebih modern, kompleks, dan sering individualis. Ibn Khaldūn tidak hanya mencatat perbedaan ini, tetapi juga memberikan analisis mendalam mengenai bagaimana perbedaan tersebut menentukan lahir dan runtuhnya sebuah peradaban.

Kesederhanaan Gurun sebagai Sumber Kekuatan

Ibn Khaldūn menulis:

إن أهل البدو أقرب إلى الخير من أهل الحضر
“Sesungguhnya penduduk gurun lebih dekat pada kebaikan dibandingkan penduduk kota.”

Masyarakat gurun, menurutnya, memiliki daya tahan tinggi, solidaritas kuat (ʿaṣabiyyah), dan hidup dengan aturan sederhana. Kesulitan hidup membuat mereka terbiasa dengan perjuangan, sehingga keberanian dan loyalitas muncul secara alami. Inilah yang sering menjadi modal awal berdirinya sebuah dinasti.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Fenomena ini bisa kita lihat pada keluarga sederhana yang saling bahu-membahu ketika menghadapi masalah. Sementara di perkotaan, di mana segala kebutuhan relatif mudah terpenuhi, ikatan tersebut cenderung melemah.

Kelebihan dan Kerapuhan Kehidupan Kota

Ibn Khaldūn mengingatkan bahwa masyarakat kota cenderung lebih mapan, tetapi juga lebih rapuh:

إن الترف مؤذن بفساد العمران
“Sesungguhnya kemewahan adalah tanda kerusakan peradaban.”

Kota menawarkan kenyamanan, kemewahan, dan beragam fasilitas. Namun, pola hidup yang terlalu nyaman membuat warganya bergantung pada struktur kompleks dan melupakan ketahanan diri. Perlahan, solidaritas melemah dan moralitas terkikis oleh kesenangan duniawi.

Hal ini mengingatkan kita pada firman Allah dalam Al-Qur’an:

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

وَإِذَا أَرَدْنَا أَن نُّهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا (الإسراء: 16)

“Dan apabila Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu, tetapi mereka melakukan kedurhakaan, maka sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), lalu Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.”

Pesan Qur’ani ini selaras dengan pengamatan Ibn Khaldūn: kemewahan bisa menjadi awal kehancuran.

Perpindahan dari Gurun ke Kota

Ibn Khaldūn menjelaskan proses yang menarik:

إن الدول في أولها بداوة، ثم تنتهي إلى الحضارة

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

“Sesungguhnya negara pada awalnya bersifat sederhana (badawi), lalu berakhir pada peradaban kota (hadari).”

Dinasti besar biasanya lahir dari kekuatan ʿaṣabiyyah masyarakat gurun. Namun seiring berkembangnya peradaban, mereka bertransisi ke kehidupan kota. Pada tahap ini, ekonomi berkembang, ilmu pengetahuan maju, seni tumbuh, tetapi solidaritas sosial mulai melemah.

Fenomena ini dapat kita lihat pada sejarah Bani Umayyah, Abbasiyah, hingga kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Mereka lahir dari masyarakat tangguh, lalu berakhir dalam kemewahan yang akhirnya membawa kemunduran.

Kehidupan Kota dan Tantangan Moral

Menurut Ibn Khaldūn, masalah utama masyarakat kota adalah lemahnya ikatan sosial dan meningkatnya individualisme. Ia menulis:

إن الحضارة هي غاية العمران ونهاية لعمر الدولة

“Peradaban kota adalah puncak pembangunan sekaligus akhir dari umur sebuah negara.”

Kehidupan kota memang penuh keindahan, tetapi sekaligus rawan kehancuran jika tidak diimbangi dengan moralitas. Maka, Al-Qur’an selalu mengingatkan pentingnya keseimbangan dunia dan akhirat:

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا (القصص: 77)

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu lupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi.”

Pesan ini mengajarkan agar masyarakat kota tidak larut dalam kenikmatan, tetapi tetap menanamkan nilai spiritual.

Refleksi untuk Kehidupan Modern

Pelajaran Ibn Khaldūn tentang peradaban gurun dan kota masih sangat relevan. Hari ini, urbanisasi membawa banyak orang ke kota besar. Mereka mendapatkan akses pada teknologi, pendidikan, dan kenyamanan, tetapi juga menghadapi risiko keterasingan sosial, stres, hingga degradasi moral.

Sebaliknya, kehidupan sederhana di desa yang lebih dekat dengan nilai gotong-royong dan ketangguhan alam seolah menghadirkan “cadangan energi sosial” yang bisa menjadi modal penting.

Jika kita bisa menggabungkan keduanya—solidaritas dan kesederhanaan gurun dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kota—maka peradaban modern bisa lebih berkelanjutan.

Penutup: Menjaga Keseimbangan Peradaban

Al-Muqaddimah bukan sekadar kitab sejarah, melainkan cermin bagi perjalanan umat manusia. Ibn Khaldūn mengingatkan kita bahwa setiap peradaban memiliki siklus: lahir dari kesederhanaan, berkembang dalam kemajuan, lalu berakhir dalam kemewahan.

Dengan memahami siklus ini, kita diajak untuk lebih bijak menjalani hidup modern. Kemajuan kota tidak boleh membuat kita lupa pada akar solidaritas, ketangguhan, dan spiritualitas yang justru menjadi fondasi peradaban.

 

*Sugianto Al-Jai

Budayawan Kontenporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement