Silaturahmi dan menjaga hak tetangga adalah dua pilar utama dalam kehidupan sosial seorang Muslim. Keduanya tidak sekadar anjuran moral, tetapi termasuk bagian penting dari ajaran Islam yang berdampak langsung pada keberkahan hidup dan kerukunan masyarakat. Imam an-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab memberikan penjelasan yang kaya tentang bagaimana seorang Muslim harus bersikap kepada kerabat dan tetangganya.
Di tengah arus modernisasi, ketika relasi sosial kian renggang, kajian fiqih klasik seperti Al-Majmu’ menjadi oase. Ia mengingatkan bahwa hubungan dengan sesama bukan sekadar urusan duniawi, melainkan ibadah yang bernilai ukhrawi. Dengan memelihara silaturahmi dan hak tetangga, seorang Muslim menjalankan perintah Allah sekaligus meneladani akhlak Rasulullah ﷺ.
Silaturahmi dalam Al-Qur’an dan Hadis
Allah ﷻ berfirman:
وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ
“Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi.” (QS. An-Nisa’: 1)
Hadis Rasulullah ﷺ menegaskan:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung silaturahmi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kedua dalil ini menunjukkan bahwa silaturahmi bukan sekadar etika, melainkan kunci keberkahan hidup.
Pandangan Imam an-Nawawi tentang Silaturahmi
Dalam Al-Majmu’, Imam an-Nawawi menekankan bahwa menyambung hubungan kekerabatan hukumnya wajib. Bentuknya tidak terbatas pada kunjungan fisik, tetapi juga meliputi membantu kebutuhan, mendoakan kebaikan, dan menjaga komunikasi.
Imam an-Nawawi menulis:
وَصِلَةُ الرَّحِمِ وَاجِبَةٌ عَلَى قَدْرِ الْإِمْكَانِ
“Silaturahmi hukumnya wajib sesuai kadar kemampuan.” (Al-Majmu’, Juz 16)
Artinya, kewajiban ini bersifat fleksibel sesuai kondisi, namun tetap mengikat sebagai kewajiban syar’i.
Hak Tetangga dalam Perspektif Islam
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَا زَالَ جِبْرِيلُ يُوصِينِي بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ
“Jibril senantiasa mewasiatkan kepadaku tentang tetangga, hingga aku mengira bahwa tetangga akan mendapatkan warisan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan betapa besar hak tetangga dalam Islam. Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa hak tetangga meliputi menjaga kehormatan, tidak mengganggu, menolong ketika membutuhkan, hingga bersikap ramah dalam keseharian.
Penjelasan Imam an-Nawawi tentang Hak Tetangga
Dalam Al-Majmu’, beliau menekankan:
- Menyakiti tetangga termasuk dosa besar.
- Memberikan hadiah kecil pun bernilai besar jika dilakukan dengan niat ikhlas.
- Menjaga rahasia dan aib tetangga adalah kewajiban moral dan syar’i.
Imam an-Nawawi menulis:
حُقُوقُ الْجَارِ كَثِيرَةٌ وَمِنْهَا كَفُّ الْأَذَى وَالْمُعَاوَنَةُ وَالْمُوَاسَاةُ
“Hak tetangga itu banyak, di antaranya menahan diri dari menyakiti, memberi bantuan, dan berbagi rezeki.” (Al-Majmu’, Juz 15)
Dimensi Spiritual Silaturahmi dan Hak Tetangga
Imam an-Nawawi melihat bahwa hubungan sosial ini bukan semata-mata urusan dunia. Menyambung silaturahmi memperkuat iman, sementara menjaga hak tetangga menjadi cermin kesempurnaan akhlak. Dengan demikian, adab ini tidak hanya menjaga harmoni masyarakat, tetapi juga mengantarkan seorang Muslim menuju kedekatan dengan Allah.
Perbandingan dengan Kitab Syafi’iyah Lainnya
Jika dibandingkan dengan Fathul Qarib karya Abu Syuja, pembahasan silaturahmi dan hak tetangga dalam Al-Majmu’ jauh lebih detail. Fathul Qarib hanya menyinggung hak tetangga secara ringkas sebagai bagian dari akhlak seorang Muslim.
Sementara itu, Tuhfatul Muhtaj karya Ibnu Hajar al-Haitami memberikan penekanan pada konsekuensi dosa bagi yang merusak hubungan kekerabatan atau menyakiti tetangga. Sedangkan Imam an-Nawawi dalam Al-Majmu’ menyeimbangkan antara kewajiban, bentuk praktis, dan dimensi spiritual. Perbedaan gaya ini menunjukkan keluasan khazanah fiqih Syafi’i, yang tetap berakar pada dalil-dalil Al-Qur’an dan Sunnah.
Penutup
Dalam konteks modern, silaturahmi tidak harus dilakukan dengan kunjungan langsung. Imam an-Nawawi mengajarkan fleksibilitas, sehingga komunikasi melalui telepon, pesan singkat, atau media sosial pun dapat dihitung sebagai bentuk silaturahmi jika diniatkan dengan ikhlas.
Adapun menjaga hak tetangga, di era urbanisasi yang padat, bisa diwujudkan dengan tidak membuat kebisingan, menjaga kebersihan lingkungan bersama, dan saling menghormati perbedaan. Prinsip dasarnya sama: menghadirkan kenyamanan dan harmoni sosial.
Silaturahmi dan hak tetangga bukanlah hal kecil dalam Islam. Imam an-Nawawi melalui Al-Majmu’ mengingatkan bahwa menjaga hubungan kekerabatan dan menghormati tetangga adalah bagian dari iman. Ia bukan sekadar tradisi sosial, melainkan ibadah yang mengantarkan pada keridhaan Allah.
Di tengah kehidupan modern yang serba cepat, mari kita kembali menata relasi sosial. Menyambung silaturahmi dengan senyum, sapaan hangat, atau sekadar doa. Menjaga hak tetangga dengan menahan lisan, memberi bantuan, atau berbagi makanan sederhana. Semua itu bernilai besar di sisi Allah.
Seperti miqat yang menandai awal perjalanan haji, silaturahmi dan hak tetangga menandai kualitas perjalanan hidup kita di dunia. Jika relasi ini terjaga, maka kehidupan akan penuh berkah, hati akan lapang, dan doa-doa akan lebih mudah terangkat ke langit.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
