Khazanah
Beranda » Berita » Miqat Haji dan Umrah dalam Al-Majmu’: Menapak Jejak Ibadah yang Terikat Waktu dan Tempat

Miqat Haji dan Umrah dalam Al-Majmu’: Menapak Jejak Ibadah yang Terikat Waktu dan Tempat

Jamaah haji di miqat dengan pakaian ihram putih
Ilustrasi realistik—seorang jamaah haji berdiri di perbatasan miqat, mengenakan ihram putih, dengan latar padang pasir dan cahaya matahari terbit. Nuansa filosofis, menghadirkan simbol perjalanan spiritual.

Setiap ibadah memiliki batasan yang menegaskan kesuciannya. Haji dan umrah, sebagai dua ibadah agung dalam Islam, tidak bisa dilakukan sembarangan. Ada aturan tempat dan waktu yang menjadi syarat sah, yang disebut dengan miqat. Di dalam khazanah fikih, khususnya dalam Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab karya Imam an-Nawawi, pembahasan tentang miqat menjadi salah satu bagian penting. Kitab ini tidak hanya menguraikan hukum secara detail, tetapi juga menegaskan sisi spiritual dari keterikatan seorang muslim pada aturan Allah.

Tulisan ini akan membahas bagaimana Imam an-Nawawi mengurai masalah miqat haji dan umrah dalam Al-Majmu’. Saya akan mengajak Anda untuk memahami posisi miqat dalam syariat, dalil-dalil yang melandasinya, serta bagaimana pembahasan ini tetap relevan bagi umat Islam modern.

Apa Itu Miqat?

Secara bahasa, miqat (مِيْقَات) berarti batas waktu atau tempat. Dalam konteks haji dan umrah, miqat adalah batas yang ditetapkan syariat, di mana jamaah harus memulai ihram. Rasulullah ﷺ bersabda:

“وَقَّتَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ ذَا الْحُلَيْفَةِ، وَلِأَهْلِ الشَّامِ الْجُحْفَةَ، وَلِأَهْلِ نَجْدٍ قَرْنَ الْمَنَازِلِ، وَلِأَهْلِ الْيَمَنِ يَلَمْلَمَ”
“Rasulullah ﷺ telah menetapkan miqat bagi penduduk Madinah di Dzul Hulaifah, bagi penduduk Syam di Juhfah, bagi penduduk Najd di Qarnul Manazil, dan bagi penduduk Yaman di Yalamlam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menjadi dasar kuat bahwa miqat merupakan aturan syar’i yang tidak bisa ditinggalkan.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Miqat dalam Al-Majmu’

Imam an-Nawawi dalam Al-Majmu’ menegaskan bahwa seseorang yang melewati miqat tanpa ihram, padahal ia berniat haji atau umrah, maka ia wajib kembali ke miqat. Bila tidak, ia dikenai dam (denda berupa menyembelih hewan).

Beliau menulis:

“مَنْ مَرَّ عَلَى الْمِيقَاتِ وَهُوَ يُرِيدُ الْحَجَّ أَوْ الْعُمْرَةَ فَلَمْ يُحْرِمْ، وَجَبَ عَلَيْهِ الرُّجُوعُ، فَإِنْ لَمْ يَرْجِعْ فَعَلَيْهِ دَمٌ.”
“Barangsiapa melewati miqat dalam keadaan ingin berhaji atau umrah, tetapi ia tidak berihram, maka ia wajib kembali. Jika ia tidak kembali, maka wajib baginya membayar dam.”

Keterangan ini menunjukkan betapa seriusnya syariat dalam menjaga kesucian ibadah. Miqat bukan sekadar formalitas, melainkan simbol ketaatan penuh.

Jenis Miqat

  1. Miqat Zamani (Waktu)

Miqat zamani berkaitan dengan kapan seseorang boleh menunaikan haji. Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa waktu haji dimulai dari bulan Syawal, Dzulqa’dah, hingga sebagian Dzulhijjah. Barang siapa berihram di luar waktu ini, ihramnya sah tetapi tidak untuk haji.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

  1. Miqat Makani (Tempat)

Ada lima miqat makani utama:

  • Dzul Hulaifah: untuk jamaah dari Madinah.
  • Juhfah: untuk jamaah dari Syam.
  • Qarnul Manazil: untuk jamaah dari Najd.
  • Yalamlam: untuk jamaah dari Yaman.
  • Dzat ‘Irq: untuk jamaah dari Irak.

Imam an-Nawawi menekankan bahwa siapa pun yang melewati batas ini wajib ihram, meskipun ia bukan berasal dari wilayah tersebut, selama ia berniat ibadah.

Miqat sebagai Simbol Kepatuhan

Mengapa miqat begitu penting? Karena ia menjadi garis batas antara aktivitas duniawi dengan perjalanan spiritual. Begitu seseorang melintasi miqat dalam keadaan ihram, ia masuk ke dalam kondisi suci, meninggalkan larangan-larangan tertentu, dan sepenuhnya terikat aturan Allah.

Al-Qur’an menegaskan:

“الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ ۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ”
“Haji itu (dilaksanakan) pada bulan-bulan yang telah dimaklumi. Barang siapa yang menetapkan niat dalam bulan itu untuk mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan dalam haji.” (QS. Al-Baqarah: 197)

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Ayat ini menunjukkan bahwa sejak seseorang masuk ke miqat, ia sudah memasuki rangkaian ibadah yang menuntut kesucian lahir dan batin.

Perbandingan Al-Majmu’ dan Fathul Mu’in

Menarik bila kita membandingkan Al-Majmu’ dengan Fathul Mu’in karya Syekh Zainuddin al-Malibari. Keduanya sama-sama menjadi rujukan utama dalam fikih Syafi’i, namun pendekatan yang dipakai sedikit berbeda.

Dalam Al-Majmu’, Imam an-Nawawi sangat detail dalam menjelaskan dalil, pendapat ulama, hingga analisis hukum. Beliau bahkan mengutip berbagai mazhab untuk memperkuat argumen. Sedangkan Fathul Mu’in lebih ringkas, praktis, dan fokus pada kebutuhan santri serta masyarakat umum.

Jika Al-Majmu’ ibarat samudera luas yang menyajikan setiap sisi hukum, maka Fathul Mu’in seperti kompas praktis yang memandu langkah sehari-hari. Dalam pembahasan miqat, Fathul Mu’in menegaskan kewajiban ihram di miqat dengan gaya bahasa sederhana tanpa perdebatan panjang. Ini menunjukkan bahwa Al-Majmu’ dan Fathul Mu’in saling melengkapi: yang satu menyelami kedalaman teori, yang lain menghadirkan panduan praktis.

Penutup

Miqat bukan hanya soal garis imajiner di bumi, melainkan pintu gerbang menuju pengabdian. Dari Al-Majmu’, kita belajar bahwa setiap langkah menuju Baitullah harus dimulai dengan kepatuhan total. Tidak ada ruang tawar-menawar, sebab ibadah adalah wujud tunduk sepenuhnya pada Allah.

Bagi kita, miqat bisa menjadi simbol: batas ketika seseorang memilih meninggalkan kebiasaan lama, lalu memasuki ruang kesucian baru. Sama seperti jamaah yang menanggalkan pakaian duniawi untuk mengenakan kain ihram, kita pun bisa menjadikan hidup ini perjalanan menuju kesempurnaan iman.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement